"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Lina menoleh ke arah Sadewa dengan senyum yang dipaksakan. “Iya, Pak. Maaf."
Lina terdiam, tapi sorot matanya jelas tak menyukai kehadiran Syifa. Wanita berhijab itu tampak terlalu bersinar di antara karyawan lain. Dia juga merasa terganggu karena tatapan Sadewa hari ini tak pernah lepas dari wanita itu.
Lift berhenti di lantai enam, tempat divisi accounting berada. Hendri memberi isyarat kepada Syifa untuk keluar lebih dulu.
“Silakan, Bu Syifa,” ucapnya sopan.
Syifa menunduk sedikit. “Terima kasih, Pak Hendri.”
Langkahnya pasti, meskipun jantungnya masih berdetak kencang setelah insiden itu. Dia tahu, dunia kerja bukan tempat yang ramah bagi perempuan berhijab sepertinya—apalagi ketika dia datang dengan status tersembunyi sebagai istri sang CEO.
Setelah mengantar Syifa ke mejanya yang berada di dekat jendela, Hendri menjelaskan singkat mengenai sistem kerja di divisi itu. “Ini daftar tugas harian, dan ini adalah akun email serta data login kamu. Kalau butuh bantuan, kamu bisa tanya ke Mbak Indri di sebelah sana, atau langsung ke saya.”
Syifa tersenyum. “Baik, terima kasih banyak.”
Hendri meninggalkan ruangan, sementara Syifa mulai membiasakan diri dengan komputer dan dokumen yang ada di mejanya. Di sekelilingnya, beberapa staf melirik penasaran, sebagian dengan senyum ramah, sebagian lagi dengan tatapan dingin dan tidak suka.
Tak lama kemudian, Indri menghampirinya. “Hai, aku Indri. Senior accounting di sini. Selamat bergabung, ya.”
“Terima kasih, Mbak Indri.”
“Ngomong-ngomong, kamu lulusan mana?” tanya Indri sembari duduk di kursi sebelah.
“Universitas Negeri,” jawab Syifa singkat.
"Sebelumnya bekerja dimana?"
"Dulu hanya pernah magang di perusahaan saat kuliah. Setelah itu, aku tidak pernah bekerja lagi karena mengajar di ponpes."
"Kamu mengajar di ponpes. Wah, hebat sekali. Tapi kenapa kamu bekerja di sini?"
Syifa hanya tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin merasakan bekerja di tempat lain."
Mereka berdua tertawa kecil, membuat suasana sedikit mencair. Tapi belum lama mereka mengobrol, seseorang berdiri di depan meja Syifa. "Baru mulai bekerja kalian sudah mengobrol? Mbak Indri, beri dia pekerjaan."
Indri berdiri pelan, menatap Lina tanpa senyum. “Lina, orang baru harus diperkenalkan dulu lingkungan kerjanya. Itu bagian dari SOP juga, kan?”
“Iya, tapi di perusahaan ini tidak ada yang spesial. Apa kamu ada maksud tersembunyi dengan Pak Dewa. Aku lihat kamu mencuri pandang dengan Pak Dewa. Apa cara berpakaian kamu yang muslimah ini hanya sebagai kedok?"
Syifa menatap Lina dengan tenang. Dia tidak terpancing dengan perkataannya. “Aku tidak merasa spesial. Aku hanya ingin bekerja dengan baik sesuai kemampuanku.”
Lina tersenyum sinis. “Bagus, semoga kamu bisa bertahan di sini.”
Setelah Lina pergi, Indri melirik Syifa. “Sabar, ya. Lina memang kayak gitu. Suka merasa paling berkuasa, padahal dia hanya sekretaris Pak Dewa. Ya sudah, kamu mulai bekerja ya. Kalau ada yang tidak kamu mengerti, jangan sungkan bertanya padaku."
Syifa hanya mengangguk, lalu kembali menatap layar komputer. Di tangannya, mouse bergerak membuka dokumen laporan keuangan. "Dengan begini, aku mulai tahu, siapa saja orang terdekat Mas Dewa dan bagaimana Mas Dewa sebenarnya. Meskipun aku harus mempersiapkan hati karena sewaktu-waktu, mungkin aku bisa terluka."
Tanpa banyak bicara, Syifa langsung tenggelam dalam pekerjaannya. Jarinya bergerak di atas keyboard, wajahnya fokus memeriksa angka demi angka. Tak lama kemudian, Mbak Indri yang awalnya mengawasi diam-diam mulai penasaran.
“Syifa, kamu mengerti format ini?” tanya Indri sambil mendekat.
“Ya, Mbak. Saya juga pernah pakai sistem ini waktu magang di perusahaan sebelumnya. Tapi saya menemukan data yang perlu dicek ulang. Ada selisih sepuluh juta antara laporan cashflow dan buku besar.”
Indri langsung menghampiri dan membaca penjelasan yang ditulis tangan oleh Syifa. Rinci, lengkap, dan tepat.
“Wah, ini bisa jadi kesalahan yang serius. Kamu cek satu-satu?”
Syifa mengangguk dengan senyum tipis. “Saya cocokkan dengan laporan vendor juga, dan bukti transfer.”
Indri terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Bagus.”
Tak lama, telepon berdering di meja Indri. Dia menjawab, lalu melirik ke arah Syifa. “Pak Sadewa mau kamu ke ruangannya.”
Syifa menatap Indri dan sedikit gugup. “Saya?”
“Ya. Mungkin Pak Dewa mau tahu progresmu.”
Syifa berdiri, merapikan bajunya, lalu berjalan ke ruangan Sadewa. Dia masuk ke dalam lift dan naik ke lantai delapan.
Setelah sampai di lantai itu, dia berjalan menuju ruangan Sadewa. Dia membawa map sebagai alasan jika sekretaris yang sekarang duduk di depan ruangan itu bertanya sesuatu.
Syifa mengetuk pintu ruangan Sadewa.
“Masuk,” terdengar suara bariton yang khas dari dalam.
Begitu pintu dibuka, Sadewa langsung berdiri dan tersenyum menatapnya.
Jantung Syifa berdebar kencang. Dia menutup pintu itu lalu berjalan pelan dan duduk di sofa yang berada tak jauh dari meja Sadewa. Matanya sempat tertumbuk pada Sadewa.
Sadewa berjalan ke arah sofa, duduk di sebelah Syifa. Mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Sadewa memiringkan badannya agar bisa melihat Syifa lebih dekat.
"Syifa, kamu tidak perlu terlalu serius bekerja," kata Sadewa.
"Tapi, aku ke sini memang ingin bekerja. Mas Dewa tidak perlu terlalu khawatir. Mas Dewa kerjakan saja apa yang biasanya Mas Dewa kerjakan. Aku bisa sendiri. Selama di sini, Mas Dewa adalah atasanku."
Sadewa menghela napas kecil, lalu perlahan meraih tangan Syifa dan menggenggamnya di atas pangkuannya. “Jika wanita lain yang menjadi istriku, mungkin mereka akan segera mengumumkan statusnya di depan umum, tapi kamu berbeda. Kamu justru ingin menyembunyikannya. Apa kamu malu bersamaku?" goda Sadewa yang membuat pipi Syifa kembali memerah.
"Tidak. Justru, aku takut akan membuat Mas Dewa malu."
"Malu? Syifa, kamu sangat cantik dan sempurna di mataku."
Syifa tak membalas kata manis itu, tapi yang jelas, jantungnya semakin melonjak tak karuan.
"Syifa, aku sudah menemukan dokter spesialis. Aku sudah membuat janji minggu depan, semoga saja dokter itu bisa mengoperasi telinga kamu." Sadewa semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Syifa.
"Benarkah? Tapi biayanya pasti sangat mahal."
"Kamu sudah menjadi istriku. Jangan memikirkan biaya apapun. Aku hanya ingin kamu bahagia."
Syifa tak sanggup lagi berkata-kata. Dia hanya bisa menatapnya. Sadewa terlihat sangat tulus.
Perlahan Sadewa mendekatkan wajahnya. Syifa menutup kedua matanya dan semakin mencengkeram tangan Sadewa yang menggenggamnya.
Sadewa tertawa melihat ekspresi Syifa. Dia urung melakukannya dan hanya mengusap puncak kepala Syifa. "Kamu kembali ke ruangan kamu. Makan siang nanti, kamu bisa makan di kantin. Semua karyawan makan di sana. Apa kamu mau aku temani?"
Belum sempat Syifa menjawab, ada suara ketukan pintu.
Syifa segera melepas genggaman tangan Sadewa dan berjalan menuju pintu untuk membuka pintu itu. Dia hanya menganggukkan kepalanya pada Lina lalu pergi begitu saja.
Lina mengernyitkan dahinya melihat ekspresi keduanya. Baru pertama kali ini dia melihat senyum yang tak biasa di wajah bosnya.
Apa ada sesuatu di antara mereka?
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔