Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SRI SAKIT
Hari itu, warung bakso Karmin buka lebih siang dari biasanya, karena Karmin dan Sri menghabiskan waktu semalaman di rumah Mbah Samijan untuk mengasah kolor. Sepulang dari rumah dukun itu, Karmin pun langsung ke pasar di pagi buta untuk berbelanja aneka kebutuhan bakso yang biasanya ia persiapkan sedari sore atau malam hari sebelumnya.
"Wah ... belum buka, Min?" tanya seorang pelanggan dengan guratan wajah kecewa.
"Iya, Yuk. Ini baru pulang belanja dari pasar. Mungkin buka nanti setelah dzuhur sampai tengah malam lah." Karmin terkekeh.
[Yuk ; Mbak]
"Tumben, Min?"
"Anu, Sri sakit. Semalam dia demam. Dia masuk angin, minta dikerokin dan dipijitin terus. Jadinya banyak pekerjaan di dapur terbengkalai. Biasanya aku ke pasar jam tiga dan Sri memasak tetek bengek di dapur. Tapi ... berhubung Sri lagi sakit, yo wes, semuanya dikerjakan dengan santuy, hehehe." Karmin menurunkan beberapa barang belanjan dari cantolan di motornya.
"Kayaknya kemarin siang Sri sudah ke pasar deh, Min," kata tetangga sebelah.
"Iya, tapi persediaan daging yang dibeli oleh Sri kemarin juga sudah habis. Maklum, permintaan pembeli belakangan ini sangat ramai." Pria bertubuh kurus itu nampak senang.
"Iyo, Min. Baksomu enak, sih. Jadi laris." Seorang pelanggan juga menyahuti.
"Iya, hehehe. Siapa dulu yang membuat pentol? Karmin gitu lhoh."
"Walah, Sri sakit ya? Pasti kecapean tuh, Min. Dia seharian rempong, ngalor ngidul kayak setrikaan dan kitiran. Kamu seharusnya punya rewang yang bisa membantu di warung." Tumi, tetangga sebelah juga ikut berkomentar.
"Iya, kasihan Sri itu. Dia bekerja siang dan malam sampai minim istirahat, bahkan sampai sakit. Sebagai suami, kamu seharusnya peka dong, Min." Ijah, pelanggan yang biasanya membeli bakso titipan orang-orang di pabrik rokok itu pun juga ikut-ikutan memprotes Karmin.
"Hehehe, baik, baik. Nanti aku akan membicarakan hal ini dengan istriku. Mungkin kami memang butuh seorang rewang yang bisa membantu kami di warung ya? Nanti biar Sri fokus di dapur." Karmin mengiyakan saja kritik dan saran dari para pelanggannya yang begitu kecewa karena bakso dagangan Karmin belum buka hingga di jam 08.00 pagi. Biasanya, bakso kolor itu sudah siap dihidangkan di kala petang.
Sri memang sedang sakit. Dia nampak bermalas-malasan dibalik selimut setelah semalaman melayani Mbah Samijan yang menjh@@mah tubuhnya dengan barbar. Wanita itu merasakan seluruh tubuhnya begitu ngilu dan seluruh sendi-sendinya hampir merotol.
"Dek, makan dulu ya. Ini aku belikan bubur sumsum di pasar," kata Karmin seraya menyodorkan semangkok bubur sumsum ke hadapan istrinya. Wajah pria itu nampak hangat dan sangat sumringah.
Sri senang jika melihat sang suami begitu perhatian. Pasalnya, Karmin selama ini memang jarang memberikan perhatian kepada istrinya.
"Tumben perhatian?" Sri mendengkus. Dia memijit pinggangnya yang terasa linu. Dia masih berpura-pura sengit meskipun di dalam hatinya sedang bersorak senang atas perhatian sang suami.
"Dih, jangan marah-marah terus, dong. Nanti kurus, lho." Karmin menampakkan deretan gigi-giginya yang putih dan besar-besar.
"Bagus dong. Bukankah kamu suka tubuh mungil dan langsing? Kata Sulis begitu, kan?" Sri menyeringai, setengah menyindir.
"Sudahlah, Sayang. Jangan ngomel-ngomel terus. Kamu masih marah ya soal semalam?" Karmin duduk di tepi ranjang dan mengelus rambut istrinya. Lembut dan penuh keintiman. Wanita mana yang tidak merasa Mak nyesss? Tapi Mak nyes di hati Sri itu seketika sirna.
Wanita itu menepis tangan suaminya dengan segera. Dia nampak sebal karena semalam Karmin melakukannya dengan kasar, bahkan sampai itunya Sri lecet dan beberapa titik pada tubuh wanita itu terasa ngilu.
"Itu kan memang syarat dari Mbah Samijan. Kita lakoni saja dengan dada lapang, Dek. Katanya pengen hidup enak dan bebas dari hutang, tooo?" Pria itu meraba wajah sang istri, lalu mencubit gemas dagu lancip terbelah dua itu.
"Kamu ini cantik, manis, hehehe. Ayo makanlah. Aku suapin. Jangan marah lagi yah," rayunya.
Sebagaimana hati seorang istri pada umumnya. Hati Sri selalu kembali meleleh jika bibir Karmin sudah bersua penuh manja. Dia menurut saja saat Karmin mulai menyuapinya dengan lembut dan hangat. Sesekali Karmin mengelus rambut Sri yang hitam legam berurai.
Gerakan tangan Karmin terhenti saat ia melihat leher istrinya merah-merah. Banyak bekas cuph@ang di leher wanitanya itu. Karmin menatap sesaat, kemudian dia membuang muka ke sembarang arah.
"Kenapa, Mas? Merah semua yo? Kamu sih ... mirip ikan cupang. Nyo—sor terus!" Sri mencebik.
"Iya, merah semua, Dek."
"Nanti kalau jaga warung ... pasti diledekin emak-emak pembeli bakso nih. Kan malu." Sri memijit pelan lehernya yang tak jenjang dan terbalut lipatan lemak gemoy-gemoy.
"Gosok pakai bawang putih. Konon katanya ... bawang putih itu ampuh untuk menghilangkan bekas cuph@ng." Karmin mengulum senyum. Sejurus kemudian, dia tertunduk dan berpura-pura mengaduk bubur sumsum di tangannya.
Pikirannya mulai berkelana jauh. Otak dan hati nuraninya mulai berisik di dalam sana.
"Apakah aku ini sudah gila? Aku telah menjadikan istriku tumbal secara tidak langsung," bisik hatinya.
"Tapi aku juga sudah tidak mencintai Sri lagi. Lihatlah badannya yang mirip dengan karung goni diisi gabah ini. Meluber bagai kudanil yang baru di-gelonggong air satu drum. Penampakan tubuh Sri yang mirip gapura kecamatan ini benar-benar membuatku enggan menyentuhnya." Dada Karmin bergemuruh.
"Tapi ... kenapa Mbah Samijan melakukannya dengan sangat kasar dan biii—nal? Semalam aku bahkan mendengar pria tua itu memekik lantang saat ia memakai Sri. Apakah sp*rm@nya sudah mengeras karena terlalu lama diperam? Kasihan Sri. Dia pasti kesakitan," tandasnya.
"Kok melamun, Mas?" Suara Sri mengagetkan lamunan Karmin.
"Eh, anu, Dek. Aku lagi mikirin omongan Tumi tadi. Dia menyuruhku mencari rewang, agar kamu tidak kelelahan." Karmin membenarkan posisi mangkok miring yang sedang ia pegang di tangannya.
"Ah, kayaknya kita masih belum terlalu butuh rewang, Mas." Sri mencebik.
"Tapi aku kasihan sama kamu, Dek. Kalau gak ada rewang, nanti kamu kelelahan." Tangan Karmin menyibak surai di wajah sang istri.
[Surai ; Poni, anak rambut]
"Sudahlah, ayo makan dulu." Pria itu kembali menyodorkan suapan bubur ke mulut istrinya.
"Aaahhh ...."
"Aaaeeemmmm ...."
"Kamu tidur aja seharian ini. Aku akan meminta tolong Emak agar membantu di warung." Pria itu nampak sangat perhatian sekali.
"Jangan Emak, Mas. Kasihan. Emak sudah lelah berjualan di pasar. Lagi pula ... aku sudah mendingan, kok. Kalau cuma jagain warung, aku masih kuat," sahut Sri.
"Oh, tidak, tidak. Aku tidak akan membuat istriku ini semakin kelelahan. Kamu harus tidur dan beristirahat seharian. Aku tidak mau istriku ini jatuh sakit. Aku sedih kalau melihat kamu sakit, Dek," rayu si Karmin lagi.
"Dih, gombal." Sri mencubit perut suaminya.
"Si manis jembatan Ancol. Sri manis, minta ...? Minta apa hayoh?" Karmin terkekeh. "Minta apa hayoooh yang belakangnya tol tol tol," tandasnya.
"Minta botol." Sri terkekeh.
"Dih, kok botol? Yang lain dong." Karmin terkekeh lagi.
"Dih, kamu m**sum, Mas." Kedua netra Sri nampak berbinar-binar.
******
"Bang Karmin .... bakso dong., Bang. Aku pesan 50 bungkus buat acara makan-makan di pabrik, ya." Sulis datang dengan lirikannya yang selalu liar dan mampu menggugah hasrat Karmin yang selama ini tak pernah tersalurkan kepada istrinya.
"Wah, ada acara apa nih, Lis?"
"Ah, biasa. Lagi ada acara makan-makan rutin ajah, Bang Karmin. Kan habis gajian gituuhh." Janda itu mendesah.
"Oke, ditunggu ya. Ini isinya apa aja?"
"Komplit ajaaah. Pakai phentooolll yang besyaar. Jangan salah, yang besyar lho yaaaachh." Sulis kian menjadi-jadi dalam mengolah kata saat ia menyadari bahwa Sri tak ada di sana.
"Ke mana itu si gapura kecamatan?" Wanita itu terkekeh.
"Ada di dalam. Lagi gak enak badan."
"Kegedean badan sih, jadinya mudah gak enak badan, wakakaka." Sulis tergelak.
"Huussh!" Karmin berkedip-kedip agar Sulis memelankan ejekannya, khawatir jika Sri mendengar dan akan terjadi perang dunia ke-3.
"Ehhhmm, Bang Karmin ... apakah Abang tidak butuh karyawan atau pegawai di sini? Kulihat sampean keteteran kalau gak ada rekannya." Sulis melanjutkan.
"Aku mau kok bantuan Abang jualan. Tapi bisanya ya sepulang dari pabrik. Kalau Bang Karmin berkenan, aku juga siap diangkat menjadi anak buah sampean, Bang." Sulis berucap manja.
"Nanti akan aku musyawarahkan dengan Sri dulu ya, Lis." Pria itu menatap belahan dhadha Sulis yang nampak kokoh tak tertandingi. Karmin pun menelan ludah berulang kali.
"Gak usah bilang ke Sri lah, Bang. Langsung saja—"
"Langsung apa? Kenapa gak boleh bilang ke aku? Apa yang kalian bicarakan?" Sri muncul dengan tatapan nyalang.
"Eh, ada Sri? Duh, jangan salah paham, dong, hehehe. Aku hanya lagi melamar kerjaah ke suamimu," kata si Sulis dengan bibir mencebik.
Sri terdiam. Dia berjalan menghampiri Karmin dan Sulis yang sedang berdiri di depan gerobak.
"Ya ampun, Sri ...! Itu lehermu habis kena alergi makanan, apa habis digigit vampir? Hahahah." Sulis terkekeh saat melihatmu bekas cupang di leher Sri.
"Kamu pasti kebanyakan makan penthol, yeee?" cibirnya.
Merasa kepalang malu, Sri pun segera masuk lagi ke dalam rumahnya. Tadi, dia tergesa keluar saat mendengar suara Sulis dimanja-manjakan di hadapan Karmin.
"Sri, keluar, dong. Malu, ya? Heheheh." Sulis terus terkekeh.