Hulya Millicent harus terjebak dalam obsesi cinta seorang bos mafia. Dia bahkan tidak tahu kalau dirinya telah dinikahi oleh sang mafia semenjak usianya baru 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Mimpi Buruk
...•••Selamat Membaca•••...
Marchel memilih untuk ke markas setelah membelikan pakaian untuk Hulya, Louis mengabarkan ada sesuatu yang penting di markas.
“Bagaimana Louis? Kenapa kau sampai memanggilku ke sini?” tanya Marchel sambil membawa paper bag yang berisi pakaian Hulya.
“Ada yang menghentikan pengiriman barang kita Marchel, barang yang ada di pelabuhan juga ditangkap oleh agen FBI, mereka mulai menyelidiki bisnis ini,” jawab Alessandro Finley, orang kepercayaan Marchel yang mengurus bagian pengiriman barang dan keamanan markas.
“Pasti ada yang membocorkan transaksi kita, kau minta Justin untuk mencari tahu semua ini, di mana dia?” tanya Marchel sambil mengedarkan pandangan mencari Justin.
“Dia sedang di pelabuhan, kami akan berusaha semaksimal mungkin, kau tenang saja,” jawab Alessandro.
“Oke, kalau begitu aku harus kembali dulu, Hulya sendiri di hotel.” Alessandro mengerutkan keningnya begitu juga dengan Louis.
“Hulya? Bukannya kau sudah bercerai dengan istrimu dan dia bukannya sudah pergi ya?” tanya Louis yang sedari tadi hanya diam.
“Ya, aku memaksa dia ikut denganku, aku tidak ingin kehilangan dia dan sekarang aku menyekapnya di hotel.” Louis dan Alessandro saling bertatapan.
“Kau memang gila Marchel, kau sudah membuat dia menderita dan sekarang kau malah memaksa dia ikut denganmu,” sahut Louis.
“Sudahlah, ini bukan urusanmu dan jangan lupa kabari aku jika ada informasi baru.”
“Oke.”
Marchel kembali ke hotel, membawa makanan juga untuk Hulya karena sedari tadi mantan istrinya itu belum makan.
Saat baru masuk, Marchel melihat Hulya tengah tidur sambil memeluk guling, dengan handuk yang masih melilit tubuhnya, Marchel mengatur suhu ac agar tidak terlalu dingin lalu membuka handuk yang basah itu dari tubuh Hulya dengan perlahan.
Melihat tubuh polos itu, libido Marchel kembali naik tapi dengan cepat dia singkirkan hal kotor dari pikirannya. Mata Hulya sembab, hidungnya merah, dia yakin kalau tadi Hulya menangis.
Marchel membangunkannya, tapi wanita itu hanya bergeming sedikit lalu tidur kembali. Marchel membiarkan dia tidur lalu menyelimuti Hulya.
Marchel berdiri sambil menatap keindahan kota malam dari balkon kamar hotel, walaupun perasaannya tidak karuan, tapi ada sedikit rasa lega di hatinya ketika melihat Hulya tidur di dekatnya.
“Semoga hatimu kembali menjadi milikku Hulya,” lirih Marchel setelah menghembuskan asap rokoknya.
Marchel membalikkan tubuh dan membuka baju yang dia pakai, berbaring di samping Hulya dengan telanjang dada. Dia menatap Hulya yang tidur dengan wajah teduh, mencium kening Hulya lalu memejamkan mata sambil memeluk mantan istrinya tersebut.
Dalam ingatan Marchel kini berputar kenangan di mana dia selalu mengganggu Hulya saat matanya tidak bisa tidur sedangkan Hulya sudah terlelap.
“Sayang, jangan tidur dulu,” ujar Marchel, karena istrinya tidak bergeming, dia mencium-cium pipi Hulya dengan manja, berharap sang istri bangun.
Hulya yang ngantuk berat, tidak peduli dengan apa yang dilakukan suaminya. Marchel terus mencium bibir dan pipi Hulya secara bertubi-tubi, menempelkan pipinya ke pipi Hulya lalu menciuminya kembali.
Hulya tetap tak terganggu, karena keisengan Marchel sudah biasa baginya, jadi Hulya tetap lanjut tidur tanpa peduli.
Marchel tersenyum getir, setitik air mata mengalir di batang hidungnya lalu menetes ke bantal. Kenangan selama berumah tangga dengan Hulya adalah kenangan terindah baginya.
...***...
Hulya terus berlari dalam gelapnya malam, di belakang, Marchel masih terus mengejar yang membuat Hulya begitu ketakutan.
Dor!!
Hulya terdiam, langkahnya terhenti lalu terkapar di tanah yang lembab tersebut. Satu peluru tepat mengenai punggungnya, Marchel berhasil mencapai Hulya, dia mengatur nafas lalu berjongkok di dekat tubuh mantan istrinya itu.
“Jika kau bukan takdirku, maka kau tidak akan pernah menjadi takdir siapapun sayang,” ujar Marchel sambil mengusap lembut wajah Hulya yang tengah menatapnya penuh rasa takut.
“Hulya bangun, hei, Hulya, bangun.” Marchel menggoyangkan tubuh Hulya karena wanita itu tengah menggigau tak jelas dalam tidur.
Hulya membuka matanya, keringat membasahi wajah cantik itu, nafasnya memburu karena mengalami mimpi buruk tadi. Hulya melirik ke samping lalu menjauh dari Marchel, tatapannya penuh dengan ketakutan saat ini, Hulya merapatkan selimut yang menutupi tubuh polosnya.
“Kenapa kau tidur di sampingku?” tanya Hulya ketakutan.
“Hanya ada satu kasur di sini, memang aku akan tidur di mana lagi? Sofa? Aku tidak mau.”
“K-kau tidak akan membunuhku kan, Marchel?” Marchel menautkan alisnya lalu menangkup wajah pucat Hulya.
“Hei, aku membawamu untuk ikut denganku supaya aku bisa melihatmu setiap hari, bukan untuk membunuhmu. Kenapa kau berpikir begitu?”
“Aku mimpi buruk tadi, aku mimpi, kau membunuhku,” jawab Hulya masih dengan nafas yang memburu.
“Aku akan membunuhmu jika kau berpaling pada pria lain, jika tidak ya aku tidak akan membunuhmu.” Hulya melotot, dia semakin takut pada Marchel dan tak lama, pria itu tersenyum lalu memeluk Hulya.
“Aku hanya bercanda Hulya, tidurlah.” Beberapa saat setelahnya, Hulya mulai merasa tenang.
“Aku lapar,” keluh Hulya lalu menatap wajah Marchel.
“Aku beli makanan tadi untukmu, tapi sekarang mungkin sudah dingin.”
“Tidak masalah, aku benar-benar lapar.”
“Oke, sebentar aku lihat dulu makanannya.”
Marchel beranjak dari kasur, dia memeriksa makanan tadi dan benar saja, sudah sangat dingin dan lembek. Tidak layak dikonsumsi lagi, Marchel melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 1 dini hari.
“Kita keluar saja ya, kamu pakai baju ini, tadi aku belikan baju tidur untukmu.”
“Memang makanannya kenapa?”
“Sudah tidak bisa di makan lagi, ayo.” Hulya mengangguk, dia mengenakan baju tidur yang dibelikan oleh Marchel.
Hulya mengeringkan rambutnya dengan handuk, Marchel melihatnya dengan penuh senyum, sangat cantik, itulah yang terbesit di hatinya saat melihat Hulya begitu.
Marchel mendekat dan memeluk Hulya dari belakang, terdiam, dia bisa merasakan pelukan Marchel penuh ketulusan dan kasih sayang, berbeda saat Marchel memeluknya ketika berhubungan badan tadi.
“Kau sangat cantik, selain itu, kau benar-benar istimewa bagiku. Tolong jangan pergi dariku lagi, aku hanya ingin kau tetap bersamaku, itu saja, aku bisa gila jika jauh darimu,” bisik Marchel di telinganya, sejenak wanita itu memejamkan mata lalu mengusap lembut pipi Marchel.
“Kalau kau memeluk aku begini, kapan kita perginya? Perutku lapar Marchel,” cakap Hulya dengan lembut.
“Oke, ayo.” Marchel tersenyum lalu mengenakan bajunya dan mereka keluar dari kamar hotel itu.
Berkeliling mencari makanan yang Hulya mau, karena sudah banyak yang tutup, Marchel memutuskan untuk ke supermarket yang buka selama 24 jam.
Sebenarnya masih ada beberapa cafe tapi Hulya tidak nyaman dan tidak mau.
Mereka membeli beberapa cemilan lalu mie instan cup, Hulya memakan mie instan itu di dalam mobil dengan lahap lalu meminum susu kemasan, setelah kenyang, Hulya memakan cemilan hingga habis, sampah makanan itu dia kumpulkan dan dibuang oleh Marchel ke tong sampah.
Hulya menghela nafasnya, melihat Marchel saat ini seakan berbeda ketika melihat dia sedang cemburu ataupun emosi. Marchel seperti memiliki kepribadian ganda yang membuat Hulya selalu merasa takut.
Kalau dalam mode begini, Hulya nyaman dan bisa bermanja padanya.
“Masih lapar?” tanya Marchel sambil mengusap kepala Hulya.
“Untuk malam ini aku sudah kenyang, kita balik saja, aku ngantuk.” Marchel memasuki mobil lalu melaju ke hotel, jalanan tidak terlalu ramai.
Hulya menatap lurus ke depan, pikirannya sangat tidak karuan saat ini, dia ingin kembali pada Marchel tapi Marchel yang seperti ini, baik, perhatian dan lembut bukan Marchel yang bengis, kejam dan emosian.
“Sampai kapan aku akan kau siksa begini Marchel?” tanya Hulya memecah keheningan di antara mereka.
“Kenapa bertanya begitu?” tanya Marchel tanpa menoleh pada Hulya.
“Aku hanya ingin hidup bebas tanpa siksaan darimu.”
“Aku tidak akan menyiksamu lagi jika kau mau rujuk denganku, ayo kita rujuk Hulya, aku janji akan membahagiakan kamu.” Hulya menghembuskan nafasnya dengan kasar.
“Lupakan saja, aku tidak mau rujuk denganmu,” ketus wanita itu.
“Kalau begitu jangan tanyakan lagi kapan kau bisa hidup bebas, karena itu tidak akan pernah terjadi, kalau kau berada jauh dariku, itu akan membuka peluang bagi pria lain untuk mendekatimu, kau itu sangat cantik Hulya, tidak ada yang bisa menolak pesonamu, jadi jangan harap aku akan melepaskan mu, kau itu milikku,” tegas Marchel.
“Kau itu sangat egois,” balas Hulya.
“Atau aku menyiram wajahmu dengan air keras, bagaimana?” Hulya melotot pada Marchel.
“Kau sudah gila ya?”
“Kau itu sangat cantik, kalau aku merusak wajah cantikmu itu, tidak akan ada lagi pria yang mencintaimu dan hanya ada aku, aku akan menerima kamu apa adanya walau kau tidak cantik lagi,” tutur Marchel yang membuat Hulya semakin takut.
“Jangan aneh-aneh, kau sakit jiwa.” Marchel tersenyum lalu kembali fokus menatap jalanan.
Hulya menaikkan kakinya lalu memeluk kedua lututnya sambil menatap keluar jendela, memalingkan wajah dari Marchel, dia merasa sedikit menggigil sekarang karena ac di dalam mobil cukup dingin.
“Marchel,” panggil Hulya, yang dipanggil menoleh sebentar.
“Aku dingin.” Marchel melipirkan mobilnya lalu melihat ke bangku tengah, dia menyimpan selimut tipis di sana. Marchel memalutkan selimut pada Hulya seperti seorang bayi, dia mulai merasa hangat.
“Masih dingin?”
“Tidak terlalu.” Marchel kembali menghidupkan mesin mobilnya.
“Marchel.”
“Hm?” Marchel kembali menoleh pada Hulya.
“Cium aku.” Marchel mengangkat sebelah alisnya.
“Ada apa denganmu?”
“Aku merindukanmu.” Marchel tersenyum, dia mendekatkan wajahnya pada Hulya dan mencium bibir Hulya dengan lembut.
Beberapa saat mereka hanyut dalam ciuman mesra tersebut, Hulya dan Marchel memejamkan mata, dengan perlahan, ciuman itu terlepas lalu mata mereka saling menatap.
“Aku sangat mencintai dirimu yang seperti ini, Marchel. Aku merasa memiliki pelindung dan tempat bermanja, sampai detik ini, belum ada siapapun di hatiku selain kamu, aku sangat mencintaimu dan di saat yang sama aku juga takut padamu,” ungkap Hulya dengan isakan tangis yang dia coba tahan, Marchel menangkup wajah cantik itu lalu menciuminya.
“Aku juga tidak mengerti dengan diriku, Hulya. Aku hanya takut kehilanganmu, tetaplah bersamaku, aku akan membahagiakan kamu semampuku,” janji Marchel, Hulya meraih wajah suaminya lagi dan kembali mencium bibir tegas itu.
Praanggg!!!!
...•••BERSAMBUNG•••...