Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 03. Bukan Tempatku Kembali
Erland berdiri di ambang pintu, mencoba meyakinkan.
“Benar, Nona. Mari ikut saya pulang ke Mansion,” ujarnya dengan senyum ramah.
“Saya dengar dari Nyonya, Nona gagal dalam ujian dan tidak diterima sekolah. Kalau Nona bersedia ikut ke Mansion, tuan akan mengurus hal-hal mengenai pendidikan nona agar bisa bersekolah kembali."
Kondisi kehidupan di Mansion juga baik." Ia melihat sekelilingnya dengan jijik. "Jauh lebih baik dari pada disini."
“Aku nggak mau ke sana,” ucap Vilya datar, tanpa ragu sedikit pun.
“Kamu hanya seorang kepala pelayan, tapi sikapmu udah begini. Jika aku kembali bersamamu, apakah mereka akan memperlakukanku dengan baik!"
Ekspresi wajahnya berubah sesaat. "Kamu terlalu banyak berpikir Nona."
“Kamu bisa pergi,” ucap Vilya, masih dingin.
“Aku nyaman di rumah ini. Tempat ini jauh lebih hangat dari pada bangunan megah yang isinya cuma kepalsuan.”
Erland tak menyangka ditolak mentah-mentah. Ia menoleh ke Rosalina, berharap wanita itu akan membujuk putrinya.
Perasaan Rosalina saat ini sedang berantakan. Dia benar-benar tidak rela berpisah dengan putrinya, tetapi seperti yang dikatakan Erland, putrinya akan memiliki kehidupan yang lebih baik kedepannya.
Namun sebelum ia sempat bicara, Vilya menyela. “Ma, kamu nggak perlu bujuk aku.”
Lalu tatapannya beralih tajam ke Erland. “Kamu bisa pergi. Aku mau istirahat.”
Tapi saat hendak menutup pintu, ia mendengar sesuatu—bukan dari mulut Erland, melainkan... dari pikirannya.
"Gadis ini menyebalkan. Disuruh pindah ke tempat layak malah mau tetap tinggal di lingkungan kotor kayak gini. Dia pikir dia siapa, hah?"
Vilya menatapnya. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya dingin dan tajam, seperti pisau.
Apa barusan... isi hatinya?
Apa aku bisa mendengar... pikiran orang?
Ia mencoba memancing lagi. “Mungkin... aku akan mempertimbangkan nya,” katanya pelan.
Pelayan Erland sangat senang dalam hatinya berkata, "Akan lebih baik jika kamu berpikir seperti itu! Aku tahu bahwa gadis ini tak mungkin bisa menahan diri. Trik murahan itu dipakai juga.”
Ia mendengarkan isi batin pelayan tersebut tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sangat kesal. Kemudian berkata, “Aku bukannya nggak mau,” ucapnya, tajam.
“Tapi setidaknya... keluarga itu tahu caranya menghargai. Kalau mereka sungguh peduli, kenapa yang dikirim hanya seorang pelayan? Bahkan tanpa satu pun kata permintaan maaf atau undangan yang pantas. Aku bukan barang yang bisa diseret begitu saja.”
Erland terdiam. Wajahnya memerah karena malu dan marah.
Akhirnya Erland mulai membanting pintu dan pergi.
"Vilya." Rosalina menatap putrinya yang temperamennya telah berubah drastis dan sedikit heran. Apakah ia masih anak perempuannya yang penurut dan tertutup?
"Ma." Melihat ekspresi, ia tahu bahwa saat ini ibu nya sedang bingung dengan sikapnya.
"Aku merasa tidak nyaman. Seorang ayah tiba-tiba pergi dan seseorang ingin memisahkan kita. Aku merasa sangat tidak nyaman."
"Mama mengerti." Rosalina juga merasakan apa yang dia rasakan dengan putrinya jadi dia mengulurkan tangan dan memeluknya. "Jika kamu tidak ingin kita berpisah, maka kita tidak akan berpisah."
Ia menutup mata, membiarkan air mata yang tertahan akhirnya jatuh juga. Dunia yang dulu ia kenal sudah tak ada.
Tapi di sini, bersama ibunya, ia ingin memulai segalanya dari awal—dengan cara yang lebih baik, demi dirinya sendiri. Dengan hati yang tenang, langkah yang baru, dan keyakinan yang tak lagi rapuh.