NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Padam

Cahaya Yang Padam

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Beda Usia / Mengubah Takdir
Popularitas:11.7k
Nilai: 5
Nama Author: NurAzizah504

Cahaya dipaksa menikah dengan pria yang menabrak ayahnya hingga meninggal. Namun, siapa sangka jika pria itu memiliki seorang istri yang amat dicintainya yang saat ini sedang terbaring lemah tak berdaya. Sehari setelah pernikahan paksa itu dilakukan, pertemuan tak sengaja antara Cahaya dan istri pertama suaminya terjadi.

Akankah Cahaya diakui statusnya di hadapan keluarga suaminya? Atau malah Cahaya tetap disembunyikan? Dipaksa padam seolah tak pernah ada dalam kehidupan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27. Obrolan Pria

Tak!

Cahaya melemparkan buku rapor milik Zaif ke atas meja dengan tak santai. Sedangkan tepat di hadapannya, seorang anak laki-laki tampak menundukkan kepala.

"Coba jelasin ke Bunda sekarang, kenapa nilai matematika kamu bisa sejelek ini?"

"Maaf, Bunda ... " lirih Zaif tanpa mengangkat kepala.

"Bunda gak butuh maafmu, Zaif. Bunda cuma pengen tau kenapa nilai matematika kamu jelek banget. Kamu ini udah gede, lo. Udah mau kelas tiga. Kalau kamu terus-terusan begini, mau jadi apa kamu nanti?"

Anak laki-laki yang saat itu tengah dimarahi hanya bisa menggigit bibir sambil mengerjap-ngerjapkan mata agar tidak meneteskan bulir bening. Dia tahu sudah mengecewakan ibunya. Namun, dia bisa apa?

"Zaif ...." Dari arah dapur, seorang pria memanggil namanya dengan lembut.

"Iya, Pa?" jawab Zaif perlahan. Suaranya bahkan terdengar bergetar. Amarah ibunya memang semengaruh itu untuknya.

"Ganti baju dulu sana. Abis itu mandi, terus makan siang. Oke, Jagoan?"

Zaif mengangguk singkat. Tanpa berani menatap ke arah Cahaya, Zaif berjalan setengah berlari untuk secepat mungkin mencapai kamarnya.

"Kan, kebiasaan, deh, kamu, Bang. Tiap aku lagi nasehatin Zaif, kamu selalu nyuruh dia pergi. Jangan dimanjain terus kenapa, sih? Nanti anaknya malah ngelawan tiap kali dikasih tau."

"Emang kapan Zaif pernah ngelawan kamu? Bukannya tiap kali kamu dimarahin, dia cuma diam aja, ya?"

Cahaya berdecak, menatap Fahri dengan sebal.

"Lagian Zaif gak salah, kenapa mesti dimarahin, sih? Kamu gak sayang sama anak yang udah kamu kandung dan lahirin dengan penuh perjuangan itu? Soal nilai matenatika, itu bukanlah sebuah masalah, Ya. Memang nilainya jelek, tapi Zaif mendapatkan nilai tinggi pada pelajaran seni dan olahraga. Harus diapresiasi itu, lo."

"Dapat nilai tinggi di pelajaran itu buat apa, Bang? Bisa bikin dia kerja kantoran kayak kamu? Aku mau dia jadi anak yang pinter. Kalau kerjaannya cuma main bola dan gambar-gambar aja, mau jadi apa dia?"

"Kalau kita menilai kemampuan seekor ikan dari cara dia memanjat pohon, maka selama hidupnya dia akan dianggap bodoh," Fahri melanjutkan setelah dua detik menarik napas panjang, "Abang tau tujuan kamu baik. Tapi, cobalah diingat-ingat lagi. Umur 10 tahun, kamu kehilangan kasih sayang seorang ibu. Abang apalagi? Sejak kecil udah di panti. Bahkan wajah ibu dan ayah Abang gak tau sama sekali. Sementara Zaif, dia punya Bunda, punya Ayah, punya Papa. Kalau masa kecilnya terus-terusan kita tekan, gak menutup kemungkinan dia merasa gak disayang. Lantas, apa bedanya Zaif sama masa kecil orang tuanya?"

"Lagian jadi seniman atau pesepak bola itu gak buruk, kok. Banyak juga yang berhasil. Asalkan dia bersungguh-sungguh dan yakin sama bidang yang dia geluti."

"Jadi orang yang sukses itu gak semata-mata bisa kerja kantoran. Menurut Abang, cukup dengan jadi anak yang berbakti, gak lupa sama orang tua, dan bisa mendapatkan pekerjaan halal, itu lebih dari cukup. Kita harus bersyukur sama apa yang kita miliki. Sebagai orang tua, kita tinggal arahkan saja supaya Zaif selalu berada di jalan yang benar."

'Niatnya mau nasehatin Zaif. Tapi, kok, malah aku yang dinasehatin Bang Fahri?' tanya Cahaya dalam hati, sebelum meninggalkan Fahri tanpa kata.

Ada banyak hal yang terjadi dalam kurun waktu selama ini.

Setahun setelah tragedi Cahaya diculik, Fahri membawa Cahaya ke luar negeri untuk melakukan perawatan terapi di rumah sakit paling besar di sana.

Depalan belas bulan menjalani pengobatan di sana, Cahaya pun kembali sebagai sosok Cahaya yang baru.

Ya, Cahaya sudah bisa berdiri dengan kedua kaki. Pengobatan yang cukup lama, tetapi tidak berakhir sia-sia.

Hubungan Cahaya dengan keluarga Bahar pun sudah baik-baik saja. Arif berbaik hati menjelaskan kronologi kejadian tersebut langsung ke Bahar. Hingga akhirnya, Bahar lah yang meminta maaf ke Cahaya.

Ikatan yang membaik itu membuat Cahaya mempercayakan usaha keripik tempenya ke Wati di desa. Ia sudah mendirikan prabik besar. Karena sekarang, keripik tempe Cahaya sudah dikenal hingga ke kota-kota besar.

Adanya pabrik tersebut, tak hanya membuat Wati senang. Namun, juga masyarakat sekitar karena direkrut menjadi karyawan sehingga pemasukan mereka pun jadi bertambah.

Sayangnya, Bi Ismi sudah tiada dua tahun yang lalu. Sementara Mbok Tun sudah kembali ke kampung halamannya.

Cahaya yang mengurus rumah tangganya sendiri, akhir-akhir ini berubah emosional. Ia tak segan-segan memarahi siapa saja yang membuatnya kesal. Bahkan kadang-kadang Fahri pun tak luput dari amarahnya.

Keesokan hari, Cahaya memutuskan untuk belanja bahan-bahan dapur yang sudah habis. Diantar Mang Abdul, Cahaya singgah di sebuah pusat perbelanjaannya langganannya.

Selesai membayar dan hendak pulang, Cahaya dikagetkan dengan sebuah sentuhan lembut di bahunya.

"Cahaya?"

"Lo, Bang Arif, di sini juga? Belanja apa, Bang?" tanya Cahaya dengan ramah.

"Beli minum doang. Kamu mau pulang?"

"Iya, nih. Kenapa?"

"Boleh bicara sebentar gak? Di kafe sebelah aja. Gak lama, kok."

Cahaya berpikir haruskah ia meminta izin Fahri terlebih dahulu atau tidak. Namun, mengingat 'hanya sebentar saja' dan Fahri juga berada dalam jam kerja, maka Cahaya memutuskan untuk tidak meminta izin suaminya.

"Boleh," jawab Cahaya yang kemudian menyimpan belanjaannya terlebih dahulu sebelum menyusul Arif ke sebuah kafe.

Karena sudah memasuki jam makan siang, kafe yang mereka singgahi mulai dipadati pengunjung.

Keduanya duduk berhadapan dengan dua gelas minuman berbeda jenis di atas meja.

"Gimana kabar Zaif?" tanya Arif sambil mengepalkan kedua tangan di bawah meja. Mendadak ia merasa gugup. Bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Alhamdulillah, baik. Kemarin dia baru ambil rapor. Jadi, sekarang ini, dia libur sekolah."

"Terus, kok, gak diajak? Emang dia sama siapa di rumah?"

"Oh, minggu lalu ada keluarga yang pindah ke rumah sebelah. Terus mereka ada anak yang seumuran Zaif. Jadi, Zaif lagi asik-asiknya main sama dia."

"Rencananya saya mau ajak dia nginap di rumah selama beberapa hari, kamu sama Fahri gak keberatan, 'kan?"

"Aneh kamu, Bang," gelak Cahaya, "Zaif, kan, anak kamu juga. Mana mungkin aku sama Bang Fahri keberatan. Kamu juga punya hak atas Zaif."

Arif menunduk, menyembunyikan ekspresi bodohnya dari Cahaya.

"Kalau kamu ... kabarnya gimana?"

"Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik aja. Dan, yang paling penting, aku bahagia."

Arif mengangguk. Cahaya memang terlihat begitu bahagia. Jauh berbeda saat masih menjadi istrinya.

Kemudian, tatapan Arif teralihkan saat menemukan krim dari minuman Cahaya mengotori sudut bibirnya. Tanpa sadar, ia menjulurkan tangan dan membersihkannya dengan ibu jari langsung.

"Lucu banget, sih, kamu. Udah mau kepala tiga, tapi minum aja masih belepotan," ucap Arif yang melanjutkan meneguk minumannya sendiri.

Sementara itu, Cahaya terdiam karena ulah Arif barusan. Sedangkan di sudut lain, seorang pria tampak menahan amarah dengan kedua tangan terkepal.

Hari berganti malam.

Walaupun sendirian, Cahaya berhasil menyiapkan makan malam tepat waktu.

"Zaif, ayo, keluar! Makan malam udah siap!" teriak Cahaya dari arah dapur.

Tak lama setelahnya, Zaif muncul dan langsung bertanya, "Papa mana, Bunda?"

"Masih di ruang kerja. Tolong panggilkan, Sayang."

Anak itu tidak membantah. Ia langsung berlari ke ruang kerja Fahri lalu kembali tak lama setelahnya.

"Kata Papa, Papa belum lapar, Bunda. Kita diminta makan duluan aja," ujar Zaif membawa laporan.

Sontak Cahaya mengerutkan dahinya. Sejak sore tadi, Fahri memang terlihat berbeda. Dia lebih banyak diam dan mengurung diri di ruang kerja. Namun, menolak makan malam ... apakah itu bisa dibiarkan?

"Em, kamu makan sendiri dulu, ya. Bunda mau liat Papa dulu."

"Oke, Bunda."

Cahaya meninggalkan meja makan dan berjalan ke arah ruang kerja Fahri. Karena pintu memang tidak tertutup rapat, Cahaya melongokkan kepala ke dalam hanya untuk menemukan Fahri yang menopang kepala sambil memijitnya perlahan.

"Bang ... " panggil Cahaya dan melangkah mendekati Fahri.

"Kenapa ke sini? Zaif gak bilang kalau aku belum lapar?"

Cahaya tercengang. Bukan karena pertanyaan Fahri barusan. Hanya saja, Cahaya tak biasa mendengar Fahri menyebut 'aku' untuk dirinya sendiri.

'Kayaknya aku bikin kesalahan besar, nih,' batin Cahaya sambil menggigit pelan bibir bawahnya.

"Zaif bilang, kok. Cuma aku cemas aja. Takut Abang sakit atau semacamnya," sahut Cahaya.

Fahri diam dan hanya menatapnya sebentar. Setelah itu, dia mulai terlihat sibuk dengan laptop dan berkas-berkas di atas meja.

"Abang kenapa? Aku ada buat salah?"

Tak ada jawaban, membuat Cahaya menghela napas panjang.

"Kok, diam aja, sih, Bang? Padahal kamu, lo, yang bilang komunikasi itu penting dalam sebuah hubungan."

"Memang penting. Penting sekali. Tanpa komunikasi, sebuah hubungan bakalan kacau kayak kita sekarang."

Cahaya terdiam memikirkan ucapan Fahri barusan. Maksudnya apa, sih? Cahaya benar-benar tidak tahu.

"Tadi siang kamu ketemu Arif di kafe. Abang tungguin satu aja pesan kamu yang isinya minta izin ke Abang, tapi gak ada. Dan, dari Abang pulang kerja sampai detik ini, Abang tungguin penjelasan kamu, Ya. Dan, gak ada juga. Sebenarnya kamu anggap Abang ini apa? Suami atau bukan?"

"Suami."

"Tapi, kok, Abang kamu giniin, Ya? Abang kecewa sama kamu. Berulang kali Abang ngomong, kalau mau ketemu Arif itu izin dulu. Ini enggak. Main ketemu aja. Main ngobrol aja. Bahkan sampai-sampai dia berani nyentuh kamu, lo, Ya."

Cahaya menunduk, tak berani membantah barang sepatah kata pun.

"Maaf, Bang. Aku janji gak bakalan ngulangin lagi. Aku salah."

Alhasil, Fahri berdiri dari kursinya. Ia mendekati Cahaya dan membawanya jatuh ke dalam pelukannya.

"Abang maafin. Lain kali jangan diulangi, ya. Abang takut kalah saing sama pria yang pernah kamu cintai itu," bisik Fahri sambil mendaratkan kecupan sayang pada puncak kepala Cahaya.

Hari ini, Arif menjemput Zaif untuk dibawa tinggal bersamanya selama beberapa hari.

Seperti biasa, wajah anak itu datar seperti ayahnya.

"Jangan nakal-nakal, ya. Jangan nyusahin Ayah. Nurut apa yang Ayah bilang," ucap Cahaya sambil mengusap kepala Zaif dan mengecupnya penuh sayang.

Sewaktu Cahaya sibuk menasihati Zaif tentang banyak hal, Fahri mendekati Arif dan berkata, "Lain kali tolong jaga jarak sama istriku karena kalian tidak punya hubungan apa pun lagi. Ingat, hubungan kalian hanya sebatas karena Cahaya adalah ibu dari anak kamu. Jadi, kamu gak berhak menyentuh Cahaya seperti waktu itu."

Arif menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Dia paham maksud dari perkataan sahabatnya.

"Tapi, Cahaya gak mempermasalahkan hal itu, lo, Ri. Lagian, hubungan kita masih sangat erat," sahut Arif membuat Fahri menatapnya berang sambil mengepalkan kedua tangan. "Cahaya itu jangan dikekang. Sekali aku lihat dia gak bahagia, aku janji bakalan jadikan sebagai milikku lagi."

"Kamu," Fahri berdesis, nyaris menarik kerah kemeja Arif seandainya Cahaya gak mendekat ke arah mereka.

"Ngobrolin apa? Serius banget," ucap Cahaya sambil menatap Arif dan Fahri bergantian.

"Cuma obrolan para pria. Wanita gak perlu tau," sahut Arif membuat Cahaya tertawa dan Fahri menatapnya tak suka.

"Zaif, berangkat sekarang?" tanya Arif pada Zaif yang berdiri di sebelahnya.

"Boleh, Yah."

Kemudian, Arif berpamitan pada Cahaya dan juga Fahri. Seakan sengaja memanasi Fahri, Arif bersikap ramah, bahkan menepuk pundak Fahri dengan santai. Setelah itu, mereka pun menaiki mobil dan menjauh dari kediaman mereka.

Cahaya masih terdiam dan tersenyum menatap Zaif yang menghilang. Sebelum akhirnya, senyum itu luntur akibat pertanyaan Fahri untuknya.

"Apa kamu menyesal menikah sama Abang, Ya?"

1
Muliana
10 iklan, mngat troe
NurAzizah504: Makash behhh /Joyful/
total 1 replies
Syaiful Amri
thor, panggilan dari fahri utk cahaya pakai sayang aj dong thor, klwpakai ya ya gitu, gi mana ghitu perasaan aku thor, maaf ngelunjak thor🤭🤭
Syaiful Amri: knp blm up thor??
NurAzizah504: Hm, boleh, deh. Bab selanjutnya kita ubah aja, ya /Facepalm//Joyful/
total 2 replies
Teteh Lia
2 iklan dan 🌹 meluncur.
semangat up nya Kaka 💪
NurAzizah504: Terima kasih, Kakak /Sob/
total 1 replies
Teteh Lia
Bertingkah lagi, Pak Arif 😤
NurAzizah504: Umur segitu emg lgi aktfi2nya /Joyful/
total 1 replies
Shadiqa Azkia
Ya ampun /Panic/
NurAzizah504: /Sob//Sob/
total 1 replies
Tini Timmy
arif awas kamu/Sob/
NurAzizah504: /Sob//Sob/
total 1 replies
Tini Timmy
jahat bener/Sob/
NurAzizah504: Setujuu /Sob/
total 1 replies
🎀
zahra 🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️ nambah masalah ae
NurAzizah504: Udh hobinya, Kak /Sob/
total 1 replies
Xiao Lianhua
baru 10 bulan udah kumat lagi:/
NurAzizah504: Perlu dikasih obat dianya /Facepalm/
total 1 replies
🎀
thor jgn bikin zahra jadi kejam banget dongss 😭
NurAzizah504: Aduh, harus kerja sama sama Zahra dulu, nih /Facepalm/
total 1 replies
🎀
ih dudul, kalo kamu sejahat itu yg ada arif sama kakakmu makin benci, greget jga sama Zahra nih, ga bisa kah mikir cara yg lebih elegan
NurAzizah504: Kebiasaan bar2. Makanya ga bisa elegan, Kak /Sob/
total 1 replies
🎀
Tuh kan Fahri, kamu paling nggak bisa ngerti kenapa Zahra sampai tega melakukan kejahatan demi mempertahankan rumah tangganya
NurAzizah504: /Sob//Sob/
total 1 replies
Shadiqa Azkia
10 iklan keu cek dah
NurAzizah504: Maksh banyak, hehee /Joyful/
total 1 replies
Taufiqillah Alhaq
vote untukmu
NurAzizah504: Makasih /Smile/
total 1 replies
Teteh Lia
🌹🌹 buat bang Fahri.
NurAzizah504: Wahh, terima kasih banyak, Kak /Smile/
total 1 replies
Teteh Lia
syukurlah,,,
tapi masih harus waspada, pak Arif masih kelayaban susun rencana licik
NurAzizah504: Jgn sampai lengah pokoknya /Good/
total 1 replies
Teteh Lia
blokir aja nomornya. ish...bener2 si amel 😤
NurAzizah504: Minta dikata2in emg /Sob/
total 1 replies
Teteh Lia
sekalian bikin pak Arif tambah terbakar.
NurAzizah504: Panas panas /Joyful/
total 1 replies
Teteh Lia
Pak Arif... anda masih waras kan ya?
NurAzizah504: Enggak. Udh gila dia /Blush/
total 1 replies
🎀
kata-kata yang bagus Cahaya
NurAzizah504: Sekalian menyadarkan mereka /Grimace/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!