Ketika cinta tak cukup untuk membangun sebuah rumah tangga.
Sang ibu mertua yang selalu merongrong kebahagiaan yang diimpikan oleh Bima dan Niken.
Mampukah Bima dan Niken mempertahankan rumah tangga mereka, yang telah diprediksi oleh sang ibu yang mengatakan pernikahan mereka tak akan bertahan lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dee Irma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Niken Sembuh
"Selamat Pagi!" Sapa Bima pada semua orang di pabrik yang ada saat itu.
"Mas Bima... Eh, selamat pagi." Sahut Mas Pur kaget.
"Selamat Pagi." Seruni tersenyum lebar menyambut kedatangan kakak sulungnya di pabrik.
Semalam Niken menghubungi Seruni mengabarkan, bahwa Mas Bima akan membantu Dewa dan Seruni mengurus pabrik. Bima juga berjanji akan dapat membagi waktu antara pekerjaan dan keluarganya. Bima berjanji pada Bu Lusi, sehingga, ibu mertuanya mengurungkan niatnya untuk membawa Niken dan Laras kembali ke Jakarta.
Bu Lusi akhirnya menemani Niken dan keluarganya tinggal di Yogyakarta.
"Sudah siap, Mas?" Tanya Dewa sambil menyalami dan memeluk sejenak kakaknya itu sambil menepuk bahu kakak sulungnya.
"Apa yang siap? Kamu salah tanya, Wa!" Gumam Bima.
"Sudah yakin?"
Ulang Dewa, bertanya kembali pada kakaknya.
"Ya."
Bima terkekeh.
Seruni yang menahan napas karena takut Bina benar benar marah, akhirnya dapat tersenyum lega.
"Mas, benar sudah resign, dari pekerjaanmu?"
Kali ini Seruni bertanya langsung sambil duduk di hadapan Bima.
Bima meletakkan pulpen yang dipegangnya dan menoleh ke arah Seruni.
"Ya. Ada apa? Kenapa kamu kayak shock banget, gitu?"
"Nggak. Aku nggak seratus persen percaya sebelumnya, sama omongan Mbak Niken. Tapi, melihat pagi ini, Mas Bima datang. Aku...."
"Kamu nggak percaya sama Niken?"
"Bukan ke Mbak Nikennya. Tapi, aku nggak yakin, Mas Bima bakal mau seratus persen mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya, lalu bekerja di pabrik."
Bima tersenyum tipis pada Seruni.
"Mbakmu, berusaha meyakinkan aku, bahwa aku akan benar benar bisa mengembangkan pabrik yang telah dibangun dengan susah payah oleh Bapak." Mata Bima menerawang menatap sekeliling ruangan saat itu.
Lalu keduanya menghela napas hampir bersamaan.
*
"Kamu yakin mau berjalan sendiri?" Tanya Bu Lusi pada Niken saat di rumah sakit.
"Aku akan coba, Bu."
Niken mengunci kursi rodanya, lalu perlahan dia menjulurkan kakinya, yang mulai dapat merasakan lagi.
Perlahan satu kaki telah dapat menyentuh lantai rumah sakit yang dingin. Niken tersenyum saat indera perasanya mampu merasakan dinginnya lantai.
Niken berpegang pada siku kursi roda, sebelum mengangkat tubuhnya sendiri, Niken menghela napas dalam-dalam, dan dalam satu tarikan napas, Niken menggenggam pegangan kursi roda kuat kuat.
"Hup!"
Niken berhasil berdiri sendiri.
Bu Lusi tersenyum saat melihat putrinya mampu berdiri sendiri.
Niken menarik napas sekali lagi, meyakinkan dirinya, bahwa dia bisa melakukannya.
"Jika kamu masih, ragu, kamu duduk saja, dulu, Nak." Saran Bu Lusi saat melihat Niken masih berdiri sambil menggenggam pegangan kursi roda.
"Tidak. Niken bisa, Bu!"
Kali ini, Niken memantapkan dirinya, menapakkan kedua kaki ke lantai rumah sakit, lalu perlahan dia meregangkan genggaman pada pegangan kursi roda. Satu tangan mulai terlepas, dan Niken mulai melangkahkan kakinya perlahan dan melepaskan satu lagi genggaman pada kursi rodanya.
Niken dapat merasakan dinginnya lantai rumah sakit, melepas tangannya dari pegangan perlahan. Lalu melangkah satu persatu kakinya. Setapak demi setapak, Niken meneruskan langkahnya hingga ujung koridor rumah sakit.
Niken berbalik.
"Bu.... Niken berhasil!"
Sorak Niken, kembali berjalan perlahan menuju Bu Lusi.
Dari kejauhan Bu Lusi tersenyum sambil menyeka air mata yang mengalir karena terharu melihat Niken yang akhirnya dapat berjalan kembali.
"Bu, lihat, kan, Niken sudah bisa jalan lagi?"
Bu Lusi langsung berlari menyongsong tubuh Niken yang mulai terlihat terhuyung karena lelah.
"Ya. Ibu lihat. Kamu berhasil. Tapi, sekarang kamu istirahat dulu. Nggak boleh capek capek."
Niken mengangguk.
"Bu, ibu jangan marah lagi ke Mas Bima ya. Dia sudah berusaha keras untuk kesembuhan Niken. Selama Niken di sini, dia juga selalu membela dari ibunya. Tak jarang Bapak yang akhirnya melerai pertengkaran antara Mas Bima dan Ibu."
Ucap Niken saat dalam perjalanan pulang menuju rumah. Mereka menggunakan taksi online.
"Ibu cuma kesal, mengapa dulu ibu tidak sekeras itu. Langsung mengijinkan kamu untuk menikah dengan Bima."
Bu Lusi menggelengkan kepalanya.
"Ibu menyesal, Niken menikah dengan Mas Bima?"
Tanya Niken sambil memegang punggung tangan ibunya.
"Tidak, Nak. Ibu tidak pernah menyesali setiap pilihanmu. Ibu hanya sedih, kamu diperlakukan seperti itu. Padahal ibu tahu, kamu pasti tidak pernah berbuat aneh aneh. Kamu selalu berlalu baik terhadap orang lain. Ibu hanya merasa, kamu seharusnya mendapatkan perlakuan yang lebih baik."
Bu Lusi menepuk-nepuk punggung tangan putrinya.
*
"Loh, Laras, kok diantar Om Dewa?"
Niken terkejut saat m mbuka pintu rumah sore itu.
"Iya, Mbak. Bareng aku saja. Nanti sekalian aku ke pabrik, mau bantu antar pesanan."
"Iya, Ma. Tadi Om Dewa yang ngajarin aku main gitar."
"Loh, kok main gitar? Bukannya kamu les piano?"
"Bonus, Mbak."
Niken terkekeh mendengar jawaban Dewa.
"Kapan kapan kalian main lah ke rumah. Kita ngumpul, sambil syukuran kakiku sudah perlahan pulih."
Ucap Niken sambil membelai Laras.
"Oya, boleh, nih! Lama kita nggak ngumpul ngumpul ya Mbak."
"Iya."
"Eh, saya terusan dulu, ya Mbak."
Pamit Dewa.
"Terima kasih, ya Om Dewa." Teriak Laras dengan suara mungilnya.
"Iya anak cantik."
Laras melambaikan tangan
"Tadi ada mbak mbak yang ngobrol sama Om Dewa loh, Ma!" Celetuk Laras saat Niken menutup pintu rumah.
"Les di sana?"
"Nggak tau. Tapi, sering datang kalo jadwalnya Om Dewa ngajar."
"Cantik?"
"Cantik Ma. Apa itu pacarnya Om Dewa?"
"Hus.. kita tanya dulu sama orangnya. Nggak baik menebak. Kalo salah kan, kita kecewa. Nah, kalo bener baru kita senang."
"Hehehe... Iya, Ma. Kapan kita mau ada acara kumpul-kumpul nya?"
"Minggu depan. Mama biar bisa siap siap juga. Mumpung Eyang Mama masih di sini, biar bisa bantu mama."
"Loh, memangnya Eyang Mama mau pergi lagi?" Tanya Laras dengan polos.
"Iya. Mama, kan sudah sembuh. Jadi, Eyang Mama biar istirahat dulu."
Jawab Niken pada Laras.
"Memangnya di sini Eyang Mama nggak bisa istirahat?" Protes Laras.
"Yayas, Eyang Mama itu kan rumahnya nggak di sini. Lalu lama nggak ditempati rumahnya. Nanti, kalau ada apa apa sama rumahnya gimana?"
"Ya sudah, Eyang Mama pindah di sini saja." Sahut Laras dengan ketus.
"Ye, ngambek. Nggak boleh gitu, dong! Eyang mama, sudah lama sama kita di sini. Kita kasih kesempatan Eyang mama untuk menikmati rumahnya. Besok kalau ada waktu libur, kita main ke rumah eyang mama di Jakarta. Sekalian kumpul sama keluarga Pakde Bagas."
Raut wajah Laras berubah seketika mendengar ucapan Niken.
"Beneran, Ma?"
"Iya."
"Janji, ya. Kalo liburan kita ke rumah eyang mama di Jakarta."
Niken mengangguk.
Laras menunjukkan jari kelingkingnya untuk membuat janji.
Niken pun mengikuti putrinya.
Laras bersorak, lalu mengetuk pintu kamar Bu Lusi untuk menceritakan semuanya.
Terdengar suara cekikikan tawa Laras dan Bu Lusi di dalam kamar, membuat Niken tersenyum kecil dari sofa ruang tamu.
Niken lalu meraih ponselnya untuk menghubungi Bima.
Tenang saja, nggak akan gantung kok, pasti terus berlanjut. 😘😘