"Sampai kapan kamu akan berlindung di ketiak mama? Kalau sikap kamu manja seperti ini mana ada laki-laki yang mau menikahi kamu. Abang tahu kamu sering dimanfaatkan oleh pacar-pacar kamu itu 'kan?"
"Abang, jangan meremehkan aku. Aku ini bukan gadis manja seperti yang kau tuduhkan. Aku akan buktikan kalau aku bisa mandiri tanpa bantuan dari kalian."
Tak terima dianggap sebagai gadis manja, Kristal keluar dari rumahnya.
Bagaimana dia melalui kehidupannya tanpa fasilitas mewahnya selama ini?
Yang baca wajib komen!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nirwana Asri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menolong Amara
Vano mengajak Amara ke sebuah diskotik. Meski lama tinggal di luar negeri Amara tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat terkutuk itu.
"Amara sayang ini untukmu." Vano menyodorkan segelas minuman beralkohol pada gadis itu. Amara ragu menerimanya. Sebenarnya dia tidak ingin masuk ke diskotik itu tapi karena pacarnya yang meminta Amara tak kuasa menolaknya. Dia yakin kalau Vano tidak akan berbuat yang macam-macam padanya.
"Kenapa hanya dipegang? Diminum sayang," desak Vano.
"Tapi aku tidak ingin minum. Aku takut aku akan kehilangan kendali jika aku mabuk," tolak Amara secara halus.
Vano tersenyum pada Amara. "Hanya sedikit tidak akan membuatmu mabuk." Vano meyakinkan kekasihnya itu.
Merasa tak enak, akhirnya Amara meneguk minuman yang ada di gelas yang dia pegang. Amara merasakan pahit dan panas di bagian tenggorokannya.
Vano menarik ujung bibirnya. Dia telah mencampur sesuatu ke dalam minuman beralkohol itu tanpa sepengetahuan Amara. Hanya hitungan menit efek obat tersebut bereaksi. Amara mulai terlihat gelisah dan seperti orang kepanasan.
Setelah itu, Vano mengajak Amara yang sudah dalam keadaan mabuk keluar dari diskotik tersebut. Dia akan membawa Amara ke sebuah hotel.
Di saat yang bersamaan Kristal dan Alex harus lembur di salah satu hotel mereka untuk memeriksa pembukuan akhir bulan bersama karyawan lainnya.
"Tahu gini tadi aku pulang duluan setelah mengantarkan kak Sandra," gerutu Kristal.
"Kamu tahu siapa yang bikin waktu molor?" Alex meminta adiknya itu untuk berpikir.
"Abang pulang duluan. Kamu jangan mampir ke mana-mana langsung pulang saja. Atau kalau mau menginap di hotel ini juga nggak apa-apa. Aku akan bilang sama mama papa kalau kamu pulang besok."
"Baiklah, aku menginap saja. Aku sudah tidak punya tenaga untuk menyetir. Tenagaku habis malam ini."
"Dasar lebay. Tapi ingat jangan coba-coba mengundang pacar kamu ke hotel atau kamu akan mendapatkan hukuman berat dari papa dan pacarmu itu akan ...." Alex tidak meneruskan kata-katanya. Dia melakukan gerakan seolah sedang memotong leher.
Kristal susah payah menelan ludahnya melihat ancaman kakaknya itu. Dia jadi bergidik ngeri membayangkan hukuman yang akan diterima Ruli jika dia melanggar aturan.
"Dih sukanya nakut-nakutin. Beres Bos. Sudah sana pulang Kak Sandra sudah menunggu," usir Kristal.
Dari arah lain, Vano sedang memapah Amara. Amara dibiarkan duduk di sofa sedangkan Vano sedang check in. Waktu itu Kristal yang baru keluar dari toilet tak sengaja melihat Vano. Lalu pandanganya mengarah ke gadis yang duduk di belakangnya. "Amara," gumamnya lirih.
Kristal tidak menyangka Vano senekat itu sampai membawa Amara yang sedang mabuk ke hotel. "Dasar laki-laki breng*sek," umpatnya kesal.
Setelah itu, Kristal mengambil handphone yang ada di dalam tasnya untuk memberikan kabar pada Ruli.
Waktu itu Ruli sedang tertidur karena malam ini dia tidur lebih awal dari biasanya. Pekerjaan di restoran benar-benar membuatnya kelelahan. Namun, suara dering ponsel membangunkannya. Ruli meraih ponsel yang dia letakkan di atas nakas. Dia berdiri lalu mengangkat telepon dari pacarnya itu.
"Ada apa sayang?" tanyanya dengan suara yang terdengar parau.
"Mas cepetan ke sini. Aku melihat Amara dibawa oleh Vano ke hotel. Amara terlihat sedang mabuk." Ucapan Kristal membuat Ruli kehilangan rasa ngantuknya.
"Apa? Kirimkan lokasinya sekarang!" Setelah itu Ruli mengakhiri panggilannya. Dia menyibak selimut lalu turun dari ranjang. Cepat-cepat dia berganti pakaian setelah itu keluar dari kamarnya.
Saat dia baru membuka pintu kamar, Lira sudah berada di hadapannya. "Mama."
"Ruli adik kamu belum pulang sampai sekarang. Mama sudah menelepon handphonenya tapi tidak diangkat," ucap Lira penuh kecemasan.
"Mama tenanglah. Aku sudah mendapatkan informasi dari Kristal. Seseorang membawanya ke hotel. Aku harus segera sampai ke sana sebelum dia merusak adikku."
Ucapan Ruli membuat Lira terkejut. "Cepat selamatkan adikmu!" Ruli mengangguk lalu dia keluar menuju ke mobilnya.
Di hotel tersebut, Kristal diam-diam mengikuti Vano yang menggendong Amara. Amara terlihat gelisah dan bergerak tak karuan di gendongan Vano.
Vano masuk ke dalam sebuah kamar. Dia merebahkan Amara dengan hati-hati. Setelah itu dia masuk ke dalam toilet.
Kristal mencoba masuk ke dalam kamar itu dengan mengendap-endap. Dia melihat Amara sedang tertidur di atas ranjang. Kristal mencoba membangunkan Amara dengan menepuk pipinya pelan.
"Amara bangun. Hei, Amara." Tak juga bangun Kristal frustasi akhirnya dia memapah Amara. Namun, belum sampai di pintu keluar, Vano keluar dari toilet.
"Berhenti!" Suara berat itu membuat jantung Kristal berdegup kencang. Dia ketahuan. Mau tak mau dia harus menghadapi Vano. Kristal pun memilih meletakkan Amara di pojokan.
Kristal menghadap Vano. "Apa kamu mengenal gadis itu? Kenapa kamu menyelamatkan dia?" tanya Vano.
"Tentu saja aku akan menyelamatkan siapa pun dari laki-laki be*jat macam kamu," jawab Kristal.
"Jangan sok pahlawan, sayang." Vano berjalan mendekat dan hampir saja menyentuh dagu Kristal. Namun, gadis itu menepis tangannya dengan kasar.
Plak
Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi Vano hingga laki-laki itu mengeluarkan darah di sudut bibirnya. Vano mengusap darahnya sambil tersenyum miring.
"Dasar laki-laki breng*sek kamu Vano. Untung saja aku sudah putus denganmu. Aku jadi menyesal pernah menjalin hubungan dengan seorang ba*jii*ngan macam kamu."
Vano tertawa kencang mendengar umpatan yang keluar dari mulut Kristal. Lalu dia menjambak rambut Kristal. "Dasar wanita sok suci. Aku pun menyesal karena tidak sempat mencicipi tubuhmu. Harusnya aku membuatmu mabuk parah malam itu lalu aku campurkan obat pe*rang*sang seperti yang kulakukan pada Amara."
Vano membanting tubuh Kristal ke tembok. Untung saja kepalanya tidak terbentur.
Di saat yang bersamaan Ruli masuk ke kamar itu. Dia melihat Amara dan Kristal yang terduduk di lantai.
"Hentikan!" Ruli datang dengan amarah yang menggebu-gebu. Sejak berangkat dari rumah dia menahan marahnya. Setelah melihat dua wanita yang disayangi tersakiti, dia tidak bisa tinggal diam.
Ruli menendang Vano tepat di bagian dadanya. Laki-laki itu pun terpental hingga membuat meja yang ada di situ bermatakan.
Belum sampai Vano berdiri. Ruli mendekati dia dan mencengkeram kerah kemejanya. Namun, di luar dugaan Vano membawa senjata api. Dia menodongkan senjata itu ke arah Ruli. Ruli dan Kristal sama-sama terkejut.
Kristal melihat ke sekeliling barangkali ada sesuatu yang bisa dia lempar. Tak ada yang bisa membuat kepala Vano langsung pingsan akhirnya Kristal melempar sepatu hak tingginya.
"Mas Ruli menunduk!" Perintah itu keluar dari mulut Kristal seiring dengan lemparan sepatunya.
Tuk
Sepatu berhak sepuluh Senti itu mendarat tepat di kepala Vano. Laki-laki itu pun lengah dan mengusap kepalanya yang sakit. Ruli mengambil kesempatan itu untuk merebut senjata api yang sempat dipegang Vano. Mereka saling memukul dan menyerang untuk memperebutkan senjata.
Kristal bingung harus berbuat apa. Tapi dia memilih untuk membawa Amara keluar. Kebetulan sekali ada petugas hotel yang berpapasan dengannya. Lalu dia meminta mereka membawa Amara ke rumah sakit.
Dor
Terdengar suara tembakan yang nyaring di telinga Kristal. Kristal pun segera berbalik.
Dugh siapa yang ketembak ya?
*
*
*
Sambil aku up bab berikutnya mampir dulu ya ke novel temanku. Kasih dukungan dnegan like komen dan subscribe.