NovelToon NovelToon
Kau Rebut Ibuku Ku Rebut Calon Suamimu

Kau Rebut Ibuku Ku Rebut Calon Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Balas Dendam / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Ibu Tiri / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:158.1k
Nilai: 5
Nama Author: Almaira

Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.

Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.

Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.

Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengamati Mencatat Lalu Menyusun Rencana

Keesokan harinya.

Langit masih gelap ketika Hana membuka matanya. Udara pagi di dalam kamar kecil itu terasa dingin, lembab, dan sunyi. Namun dari luar, terdengar suara halus yang sudah akrab di telinganya, gemericik air, gesekan kain pel di lantai, bunyi panci berpindah tempat.

Sri sudah bangun dan seperti biasa, sudah sibuk mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.

Hana bangkit pelan. Setelah menunaikan shalat subuh, ia duduk sejenak, menatap langit-langit kamar. Namun tubuhnya terasa gatal untuk bergerak. Ia tak pernah terbiasa berdiam diri di pagi hari. Di kampung, jam segini ia sudah menyapu halaman, mencuci baju, atau membantu nenek menanak nasi. Diam seperti ini justru membuatnya merasa lemah.

Ia membuka pintu kamar perlahan, melangkah ke dapur. Di sana, Sri tengah mengepel lantai dengan gerakan cepat dan teratur. Rambutnya dikuncir asal, keringat sudah mulai membasahi pelipis.

Sri menoleh, terkejut melihat Hana muncul.

“Hana! Masuk lagi ke kamar! Ibu bilang jangan keluar dulu, kan?” bisiknya cepat dengan nada setengah panik.

Namun Hana hanya berdiri tenang. “Tenang, Bu. Ayah dan Malika belum bangun, kan?”

Sri terdiam sesaat. Ia tahu Hana benar. Suaminya selalu bangun lewat pukul tujuh, dan Malika? Jangan harap keluar kamar sebelum jam delapan, kecuali ada urusan mendesak.

Ia mengangguk pelan, menyerah. “Sebentar saja!”

Hana mengangguk, lalu duduk di kursi meja makan, memandangi ibunya yang kembali sibuk dengan kain pel dan ember. Setiap gerakan Sri tampak cekatan, tanpa suara berlebih, seperti sudah menyatu dengan rumah itu.

Beberapa menit berlalu dalam hening yang aneh. Hening yang menyesakkan tapi juga damai dalam caranya sendiri.

“Boleh aku bantu, Bu?” tanya Hana akhirnya, tulus.

Sri menghentikan gerakannya, menatap Hana sejenak. Matanya menyipit, seperti meremehkan. Lalu dia mendengus kecil.

“Ah, kamu nggak akan bisa kerja di rumah ini. Ini bukan rumah papan yang kamu tempatin di kampung. Ini rumah keramik. Semua harus bersih, harus rapi. Nggak bisa asal.”

Kalimat itu menusuk, bukan karena nada kasarnya, tapi karena sindiran halus yang terasa seperti menolak siapa diri Hana sebenarnya.

Namun Hana hanya tersenyum kecil, menahan balasan. Ia tahu, membantah hanya akan membuat ibunya semakin menutup diri. Ia memilih diam. Tapi dalam hatinya, ia tahu.Ia mampu. Bahkan lebih dari yang ibunya bayangkan.

Sambil duduk, Hana memperhatikan ibu kandungnya yang begitu sibuk… bukan karena cinta, tapi karena kebiasaan yang sudah tertanam. Mengerjakan semua pekerjaan rumah, memenuhi permintaan Malika dan suaminya, dengan sepenuh jiwa.

Siang hari.

Sesuai janjinya, Sri datang ke kamar Hana dengan sebuah amplop baru. Kali ini lebih tebal. Wajahnya lelah, tapi tetap dengan sikap ketus yang ia pertahankan sejak awal.

“Ini sisa uangnya,” katanya singkat sambil meletakkan amplop itu di atas meja kecil dekat jendela. “Lima juta. Cukup untuk ongkos pulang dan biaya hidup kalian tinggal di kampung."

Hana menatap ibunya dalam diam. Matanya menyipit, dan senyum sinis perlahan muncul di wajahnya.

“Lima juta?” katanya pelan, lalu menghela napas pendek. “Padahal... hutang Ibu ke Nenek seratus juta. Belum dendanya sepuluh kali lipat. Totalnya... satu miliar, Bu.”

Sri melotot. “Apa?! Satu miliar? Kamu pikir ini pasar? Kamu pikir bisa main ancam dan minta segitu?”

Hana bersandar ke tembok, nada bicaranya tetap tenang, namun penuh tekanan.

“Bukan aku yang minta. Nenek yang bilang, aku tidak boleh pulang kalau tidak membawa yang jadi hak kami. Uang itu milik Nenek, Bu. Bukan milik Ibu. Bukan milik suami ibu. Dan bukan juga buat Malika.”

Wajah Sri memerah. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Napasnya naik turun, antara marah, panik dan takut.

“Dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu, hah? Kau pikir aku mencetak uang sendiri?!”

Tapi belum sempat Hana menjawab, suara dari ruang depan terdengar:

“Sri! Di mana kamu? Ayo sini, aku mau berangkat.”

Suara itu. Burhan.

Sri langsung panik, buru-buru meninggalkan kamar dan menutup pintu Hana rapat-rapat. Di ruang tamu, Burhan berdiri rapi, dengan kemeja putih bersih, celana kain, dan sepatu mengilap. Di tangannya, sebuah tas jinjing besar yang Sri tahu pasti berisi uang hasil toko sembako semalam.

Roko sembako mereka maju dengan pesat, bahkan sudah mempekerjakan banyak pegawai dan mempunyai beberapa cabang, sehari omset yang di dapat bahkan bisa mencapai puluhan juta. Uang modal yang dipinjamkan nenek rupanya berhasil mengubah perekonomian mereka.

Burhan menatap jam tangannya. “Aku telat. Ambilkan rokok dan air mineral.”

Sri menuruti, tapi begitu kembali, ia membuka mulut pelan.

“Mas, bisa minta uang dua juta lagi, nggak?” tanyanya hati-hati.

Burhan menghentikan langkah. Matanya tajam. “Lho, bukannya tadi udah kuberi empat juta?!”

Sri buru-buru merespon, “Iya, tapi, harga baju buat kado Malika lebih mahal dari yang ibu kira. Aku pengen kasih kejutan buat dia, Mas. Yang bagus, biar dia senang.”

Mendengar nama Malika, nada Burhan langsung melunak. Dia menoleh, wajahnya berubah. “Yaudah, yaudah. Nih,” katanya sambil merogoh dompet, lalu mengambil beberapa lembar ratusan ribu dan memberikannya.

“Tapi ingat. Kado itu harus keren. Jangan sampai kelihatan murahan. Itu anak kita cuma ulang tahun sekali dalam setahun. Kalau sampai dia kecewa, awas kamu!”

Sri mengangguk cepat. “Iya, Mas. Tenang aja.”

Burhan lalu melangkah pergi. Pintu depan tertutup rapat. Suara mobil menjauh di jalan.

Dari dalam kamar, Hana menyandarkan kepalanya ke dinding. Matanya menerawang. Senyum getir kembali muncul di wajahnya.

Ibunya bahkan juga tak diperlakukan layak oleh suaminya sendiri, tak dipercayakan masalah keuangan. Meminta uang yang nilainya pasti kecil untuk suaminya saja ibunya bahkan harus berbohong.

Berpura-pura demi Malika, demi kado ulang tahun. Seolah-olah cinta dan uang hanya layak untuk satu anak saja.

Hana mengepalkan tangan.

Ia tahu kini rumah ini dibangun dari kebohongan. Dan ia bertekad akan merobohkannya, satu demi satu.

Hana memandangi amplop di tangannya. Lima juta rupiah. Jumlah yang tak kecil, tapi jauh dari harga yang harus dibayar atas luka yang sudah belasan tahun tertanam dalam hidupnya.

Ia menyimpannya pelan di balik tas. Lalu duduk kembali di atas kasur, termenung.

"Kalau kau hendak berperang," suara neneknya dulu kembali terngiang dalam pikirannya, "maka kenali dulu musuhmu. Jangan sampai kau maju buta dan mati sia-sia."

Hana mengangguk dalam hati.

Belum waktunya melawan.

Ia perlu tahu lebih banyak tentang isi rumah ini, tentang kehidupan sehari-hari ibunya, tentang Malika, dan terutama tentang pria bernama Burhan sosok yang dulu ia kenal sebagai 'ayah baru' yang merebut segalanya dari dirinya.

Dari pengamatannya singkat hari ini, Hana tahu satu hal pasti ibunya tidak hidup dalam kemewahan yang utuh.

Memang, rumah ini besar. Dindingnya tembok, lantainya keramik, tidak seperti rumah papan tempat ia tinggal bersama nenek. Tapi yang disebut “rumah” belum tentu tempat tinggal yang memberi rasa aman dan cinta.

Sri tidak benar-benar dihormati di sini.

Ia mengurus rumah sendirian, bangun paling pagi, mencuci baju Malika dengan tangannya, menyapu, mengepel, bahkan harus berbohong hanya demi meminta uang untuk membayar hutang yang sebenarnya adalah kewajiban suaminya.

Dan yang lebih menyakitkan, semua itu bukan karena cinta, tapi karena takut.

Takut pada Burhan. Takut pada Malika.

Takut kenyamanan semunya hancur jika Hana tetap tinggal di rumah ini.

Hana menarik napas dalam.

Ia menyadari bahwa dendamnya bukan hanya untuk menuntut keadilan bagi dirinya dan nenek, tapi mungkin, untuk menyelamatkan ibunya juga, meski Sri sendiri tidak menyadarinya.

Namun sekarang belum saatnya bergerak. Ia butuh waktu.

Butuh mendengar.

Butuh melihat.

Dan karena itu, ia akan bertahan.

Di kamar sempit ini. Dengan nasi dingin dan tatapan curiga.

Ia akan mengamati.

Mencatat.

Menyusun.

Lalu saat waktunya tiba, ia akan bergerak. Dan tak ada yang bisa menghentikannya.

1
🍒D͜͡ ๓KURNI CACAH🍒
awas aja ya klok malika di ajak ikut sama mereka tapi malah bertingkah lagi ..jgn sampe nanti Malika malah jadi duri dalam rumah tangga Hana dan Pradipta
Endang Sulistia
Hana pengen melepaskan ibunya dari Burhan
Endang Sulistia
lambat sri
Endang Sulistia
pusing gak..pusing gak...ya pusing dong 🤣🤣🤣
Endang Sulistia
jiiahh.,.Hana mulai akting
Endang Sulistia
Rendy aku suka gayamu..🤪🤪🤪
Endang Sulistia
si kedele kurang cerdas...kerjanya makan tidur...
Endang Sulistia
mantap Hana...
Endang Sulistia
mantap ..ini pemilik rumah sebenarnya
Endang Sulistia
benalu sebenarnya ya si BURungHANtu ama kedele hitam...
Endang Sulistia
ya Allah ...anak Sholeha gini di sia siakan...
Endang Sulistia
ibu durhaka yg bodoh ...CK..CK..CK..kasian hidupmu sri
inha
lanjut kaka
siti Syamsiar
lanjut thor👍
Safitri Agus
apakah Sri akan mengajak Malika?, apalagi Hana akan rela kembali berbagi kasih ibu dgn Malika,ah jadi ga sabar menunggu kelanjutannya
Safitri Agus
serangan balik dari Hana, Burhan lupa dgn kejahatan yg dulu tambah lagi ketika mau menjual Hana
Safitri Agus
ternyata c Burhan yg memfitnah dan mengadu domba mereka, bukan nya tobat malah semakin menjadi² jahat dan liciknya
Safitri Agus
sebenarnya kasihan juga melihat mereka terlunta-lunta 🤭,tapi memang itu balasan akibat perbuatan mereka selama ini yg saling menzhalimi
Maria Fransiska Naibaho
Mana Authornya nih?
Sudah lama gak up thor... ayo donk lanjut ceritanya lagi seru
Doraemon
k
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!