NovelToon NovelToon
Kau Rebut Ibuku Ku Rebut Calon Suamimu

Kau Rebut Ibuku Ku Rebut Calon Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Balas Dendam / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Ibu Tiri / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:129.4k
Nilai: 5
Nama Author: Almaira

Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.

Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.

Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.

Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengamati Mencatat Lalu Menyusun Rencana

Keesokan harinya.

Langit masih gelap ketika Hana membuka matanya. Udara pagi di dalam kamar kecil itu terasa dingin, lembab, dan sunyi. Namun dari luar, terdengar suara halus yang sudah akrab di telinganya, gemericik air, gesekan kain pel di lantai, bunyi panci berpindah tempat.

Sri sudah bangun dan seperti biasa, sudah sibuk mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.

Hana bangkit pelan. Setelah menunaikan shalat subuh, ia duduk sejenak, menatap langit-langit kamar. Namun tubuhnya terasa gatal untuk bergerak. Ia tak pernah terbiasa berdiam diri di pagi hari. Di kampung, jam segini ia sudah menyapu halaman, mencuci baju, atau membantu nenek menanak nasi. Diam seperti ini justru membuatnya merasa lemah.

Ia membuka pintu kamar perlahan, melangkah ke dapur. Di sana, Sri tengah mengepel lantai dengan gerakan cepat dan teratur. Rambutnya dikuncir asal, keringat sudah mulai membasahi pelipis.

Sri menoleh, terkejut melihat Hana muncul.

“Hana! Masuk lagi ke kamar! Ibu bilang jangan keluar dulu, kan?” bisiknya cepat dengan nada setengah panik.

Namun Hana hanya berdiri tenang. “Tenang, Bu. Ayah dan Malika belum bangun, kan?”

Sri terdiam sesaat. Ia tahu Hana benar. Suaminya selalu bangun lewat pukul tujuh, dan Malika? Jangan harap keluar kamar sebelum jam delapan, kecuali ada urusan mendesak.

Ia mengangguk pelan, menyerah. “Sebentar saja!”

Hana mengangguk, lalu duduk di kursi meja makan, memandangi ibunya yang kembali sibuk dengan kain pel dan ember. Setiap gerakan Sri tampak cekatan, tanpa suara berlebih, seperti sudah menyatu dengan rumah itu.

Beberapa menit berlalu dalam hening yang aneh. Hening yang menyesakkan tapi juga damai dalam caranya sendiri.

“Boleh aku bantu, Bu?” tanya Hana akhirnya, tulus.

Sri menghentikan gerakannya, menatap Hana sejenak. Matanya menyipit, seperti meremehkan. Lalu dia mendengus kecil.

“Ah, kamu nggak akan bisa kerja di rumah ini. Ini bukan rumah papan yang kamu tempatin di kampung. Ini rumah keramik. Semua harus bersih, harus rapi. Nggak bisa asal.”

Kalimat itu menusuk, bukan karena nada kasarnya, tapi karena sindiran halus yang terasa seperti menolak siapa diri Hana sebenarnya.

Namun Hana hanya tersenyum kecil, menahan balasan. Ia tahu, membantah hanya akan membuat ibunya semakin menutup diri. Ia memilih diam. Tapi dalam hatinya, ia tahu.Ia mampu. Bahkan lebih dari yang ibunya bayangkan.

Sambil duduk, Hana memperhatikan ibu kandungnya yang begitu sibuk… bukan karena cinta, tapi karena kebiasaan yang sudah tertanam. Mengerjakan semua pekerjaan rumah, memenuhi permintaan Malika dan suaminya, dengan sepenuh jiwa.

Siang hari.

Sesuai janjinya, Sri datang ke kamar Hana dengan sebuah amplop baru. Kali ini lebih tebal. Wajahnya lelah, tapi tetap dengan sikap ketus yang ia pertahankan sejak awal.

“Ini sisa uangnya,” katanya singkat sambil meletakkan amplop itu di atas meja kecil dekat jendela. “Lima juta. Cukup untuk ongkos pulang dan biaya hidup kalian tinggal di kampung."

Hana menatap ibunya dalam diam. Matanya menyipit, dan senyum sinis perlahan muncul di wajahnya.

“Lima juta?” katanya pelan, lalu menghela napas pendek. “Padahal... hutang Ibu ke Nenek seratus juta. Belum dendanya sepuluh kali lipat. Totalnya... satu miliar, Bu.”

Sri melotot. “Apa?! Satu miliar? Kamu pikir ini pasar? Kamu pikir bisa main ancam dan minta segitu?”

Hana bersandar ke tembok, nada bicaranya tetap tenang, namun penuh tekanan.

“Bukan aku yang minta. Nenek yang bilang, aku tidak boleh pulang kalau tidak membawa yang jadi hak kami. Uang itu milik Nenek, Bu. Bukan milik Ibu. Bukan milik suami ibu. Dan bukan juga buat Malika.”

Wajah Sri memerah. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Napasnya naik turun, antara marah, panik dan takut.

“Dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu, hah? Kau pikir aku mencetak uang sendiri?!”

Tapi belum sempat Hana menjawab, suara dari ruang depan terdengar:

“Sri! Di mana kamu? Ayo sini, aku mau berangkat.”

Suara itu. Burhan.

Sri langsung panik, buru-buru meninggalkan kamar dan menutup pintu Hana rapat-rapat. Di ruang tamu, Burhan berdiri rapi, dengan kemeja putih bersih, celana kain, dan sepatu mengilap. Di tangannya, sebuah tas jinjing besar yang Sri tahu pasti berisi uang hasil toko sembako semalam.

Roko sembako mereka maju dengan pesat, bahkan sudah mempekerjakan banyak pegawai dan mempunyai beberapa cabang, sehari omset yang di dapat bahkan bisa mencapai puluhan juta. Uang modal yang dipinjamkan nenek rupanya berhasil mengubah perekonomian mereka.

Burhan menatap jam tangannya. “Aku telat. Ambilkan rokok dan air mineral.”

Sri menuruti, tapi begitu kembali, ia membuka mulut pelan.

“Mas, bisa minta uang dua juta lagi, nggak?” tanyanya hati-hati.

Burhan menghentikan langkah. Matanya tajam. “Lho, bukannya tadi udah kuberi empat juta?!”

Sri buru-buru merespon, “Iya, tapi, harga baju buat kado Malika lebih mahal dari yang ibu kira. Aku pengen kasih kejutan buat dia, Mas. Yang bagus, biar dia senang.”

Mendengar nama Malika, nada Burhan langsung melunak. Dia menoleh, wajahnya berubah. “Yaudah, yaudah. Nih,” katanya sambil merogoh dompet, lalu mengambil beberapa lembar ratusan ribu dan memberikannya.

“Tapi ingat. Kado itu harus keren. Jangan sampai kelihatan murahan. Itu anak kita cuma ulang tahun sekali dalam setahun. Kalau sampai dia kecewa, awas kamu!”

Sri mengangguk cepat. “Iya, Mas. Tenang aja.”

Burhan lalu melangkah pergi. Pintu depan tertutup rapat. Suara mobil menjauh di jalan.

Dari dalam kamar, Hana menyandarkan kepalanya ke dinding. Matanya menerawang. Senyum getir kembali muncul di wajahnya.

Ibunya bahkan juga tak diperlakukan layak oleh suaminya sendiri, tak dipercayakan masalah keuangan. Meminta uang yang nilainya pasti kecil untuk suaminya saja ibunya bahkan harus berbohong.

Berpura-pura demi Malika, demi kado ulang tahun. Seolah-olah cinta dan uang hanya layak untuk satu anak saja.

Hana mengepalkan tangan.

Ia tahu kini rumah ini dibangun dari kebohongan. Dan ia bertekad akan merobohkannya, satu demi satu.

Hana memandangi amplop di tangannya. Lima juta rupiah. Jumlah yang tak kecil, tapi jauh dari harga yang harus dibayar atas luka yang sudah belasan tahun tertanam dalam hidupnya.

Ia menyimpannya pelan di balik tas. Lalu duduk kembali di atas kasur, termenung.

"Kalau kau hendak berperang," suara neneknya dulu kembali terngiang dalam pikirannya, "maka kenali dulu musuhmu. Jangan sampai kau maju buta dan mati sia-sia."

Hana mengangguk dalam hati.

Belum waktunya melawan.

Ia perlu tahu lebih banyak tentang isi rumah ini, tentang kehidupan sehari-hari ibunya, tentang Malika, dan terutama tentang pria bernama Burhan sosok yang dulu ia kenal sebagai 'ayah baru' yang merebut segalanya dari dirinya.

Dari pengamatannya singkat hari ini, Hana tahu satu hal pasti ibunya tidak hidup dalam kemewahan yang utuh.

Memang, rumah ini besar. Dindingnya tembok, lantainya keramik, tidak seperti rumah papan tempat ia tinggal bersama nenek. Tapi yang disebut “rumah” belum tentu tempat tinggal yang memberi rasa aman dan cinta.

Sri tidak benar-benar dihormati di sini.

Ia mengurus rumah sendirian, bangun paling pagi, mencuci baju Malika dengan tangannya, menyapu, mengepel, bahkan harus berbohong hanya demi meminta uang untuk membayar hutang yang sebenarnya adalah kewajiban suaminya.

Dan yang lebih menyakitkan, semua itu bukan karena cinta, tapi karena takut.

Takut pada Burhan. Takut pada Malika.

Takut kenyamanan semunya hancur jika Hana tetap tinggal di rumah ini.

Hana menarik napas dalam.

Ia menyadari bahwa dendamnya bukan hanya untuk menuntut keadilan bagi dirinya dan nenek, tapi mungkin, untuk menyelamatkan ibunya juga, meski Sri sendiri tidak menyadarinya.

Namun sekarang belum saatnya bergerak. Ia butuh waktu.

Butuh mendengar.

Butuh melihat.

Dan karena itu, ia akan bertahan.

Di kamar sempit ini. Dengan nasi dingin dan tatapan curiga.

Ia akan mengamati.

Mencatat.

Menyusun.

Lalu saat waktunya tiba, ia akan bergerak. Dan tak ada yang bisa menghentikannya.

1
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina●⑅⃝ᷟ◌ͩ ☘𝓡𝓳
Dengerin tuh anakmu 😮‍💨
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina●⑅⃝ᷟ◌ͩ ☘𝓡𝓳
bersabarlah Pradipta 🥺
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina●⑅⃝ᷟ◌ͩ ☘𝓡𝓳
menatap balik
Fittar
jelasin aja bu Sri sama pak Hendra bagaimana penderita Hana karna hasutan Burhan biar di amuk tuh si Burhan. gak ada kapoknya. tuh anak istri dan ibumu aja mulai sadar kamu gak sadar sadar burhan.
Sugiharti Rusli
apalagi dia juga seorang calon ibu yang pasti tidak menginginkan mereka semakin terpuruk nanti bila tidak menghentikan dendam sang ayah yang tidak berkesudahan yah,,,
Sugiharti Rusli
ternyata yang pada akhirnya sadar akan kesalahan" mereka selama ini malah si Malika yah, dia menyadari kalo Sri sejatinya ibu yang sangat baik dalam merawatnya dulu sih,,,
Sugiharti Rusli
walo baik Pradipta maupun Hana pasti aka ada kekhawatiran tersendiri apabila Hendra yang bersikeras tidak merestui mereka cukup besar, karena dia belum tahu kehidupan Hana selama ini
Sugiharti Rusli
karena memang harus dibuat susana harus dingin terlebih dahulu dan Hendra tidak diberi tahu secara frontal yah
Sugiharti Rusli
baik Pradipta maupun Hana memilih tuk memberi ruang bagi sang ayah sekarang yah,,,
Nar Sih
sabarr ya hana dan pradipta ,cinta kalian msih di uji ,dan semua grgr burhan lgi semoga kalian bisa lewati ujian ini dan menuju kebahagiaan yg sbnr nya ,siip kak lanjutt👍🥰
Puji Hastuti
Halah hendra kamu dengerin dulu penjelasan mereka
Tuti Tyastuti
hadehhh hendra jangan langsung percaya omongan burhan
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina●⑅⃝ᷟ◌ͩ ☘𝓡𝓳
justru
Fittar
apa salahnya sih mendengarkan dulu penjelasan yang lainnya. jangan hanya mendengar hasutan burhan yang gak benar. kesel juga nih dengan hendra
martiana. tya
Hendra.... Hendra... kenapa lebih percaya burhan.... bahkan penjel dari istri dan ibu mertuanya pun ngga mau denger
RahaYulia
drama paling konyol
Nar Sih
grgr ulah si burhan lgi satu keluarga dibikin slh paham lgi ,semoga hana bisa melurus kan semua nya
Sugiharti Rusli
apa nanti Hana bisa berbicara secara terbuka terhadap ayahnya tentang kondisi dia sebenarnya dulu yang tidak dirawat oleh Sri dan Burhan,,,
Sugiharti Rusli
bahkan dia tidak mau mendengarkan perkataan Sri dan ibu mertuanya sekalipun tentang siapa Burhan sejatinya, dia bahkan dendam dengan institusi tempat Pradipta mengabdi,,,
Sugiharti Rusli
si Hendra belum tahu sedang berhadapan dengan musuh yang dia anggap berjasa karena melindungi istri dan putrinya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!