Arman enggan untuk menikah lagi setelah kematian sang istri, namun sangat ingin mempunyai anak sebagai penerus keluarga.
Teknologi medis yang semakin canggih membuat Arman bisa saja mempunyai seorang anak tanpa harus melalui hubungan badan. Prosedur itu biasa disebut dengan inseminasi buatan. Naas, sel sp*rma Arman yang seharusnya disuntikan ke rahim seorang wanita yang telah disiapkan, malah di suntikan ke rahim Asyifa Khairunnisa.
"Aku tidak pernah melakukan zina seperti yang kalian katakan, aku tidak mungkin hamil!"
Syifa dinyatakan hamil tepat di hari pertunangannya. Sang calon suami yang sudah terlanjur kecewa memutuskan pertunangan begitu saja.
Tepat hari itu pula Arman mengetahui bahwa dokter rumah sakit tersebut telah melakukan kesalahan prosedur inseminasi buatan. Arman pun tidak tinggal diam, ia datang menghampiri Syifa di kediaman orang tuanya.
"Lahirkan anak itu untukku." Arman Alfarizi.
Langkah apa yang akan Syifa ambil selanjutny
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alya aziz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.27
Shila menggenggam erat pulpen yang ada di genggaman tangannya, ia mendengus kesal namun tidak bisa membalas ucapan Syifa. Sepertinya dia baru saja kena mental, karena di pandangannya Syifa hanya wanita lemah yang berlindung di belakang Arman.
Syifa beranjak duduk di kursi kebesaran sang suami. Di pandangannya bingkai foto kenangan Chyntia yang terpanjang di sana. Ia tidak marah karena ia sadar posisinya sekarang.
Namun tidak di pungkiri ia mulai bertanya-tanya kemana arah pernikahan mereka akan di bawah. Saat nahkoda sebuah kapal tak juga bersuara, sampai kapan mereka akan berlayar jika tak kunjung sampai ke tepian.
"Syifa?"
Mendengar suara sang suami, Syifa segera menyeka air matanya. "Oh iya Mas, kamu sudah selesai rapat." Ia beranjak menghampiri sang suami yang baru saja masuk kedalam ruangan.
"Iya tadi aku ada rapat penting. Kebetulan sekali sedang jam makan siang, ayo makan bersama," Arman meraih tangan Syifa dan menuntunnya duduk di sofa besar yang ada di ruangan itu.
Pandangan Syifa terus saja tertuju kepada sang suami yang sedang sibuk membuka kotak bekal yang ia siapkan pagi tadi. "Bekalnya hanya untuk satu orang Mas, masa kita bagi dua, nanti kamu tidak kenyang. Aku akan makan di rumah saja."
Arman menoleh sambil mengerutkan keningnya. "Makanan bukan hanya tentang kenyang, tapi momen apa yang kamu lalui saat menikmatinya. Kamu tidak mau makan satu tempat berdua dengan ku?"
Rasa sesak di dada mulai membucah, Syifa benar-benar tidak bisa menahan perasaannya yang terus tumbuh meski ia sendiri tidak tahu akhir apa yang akan ia dapatkan. "Istri mana yang akan menolak ajakan suami, aku akan selalu berkata iya apapun kehendak Mas Arman."
Melihat Arman malah tepaku sambil memandanginya, Syifa menyendok nasi dan lauk dan langsung di arahkan ke depan mulut Arman. "Ini adalah salah satu bentuk perhatian kecil saat makan bersama suami, ayo buka mulutnya."
Dengan suka rela Arman membuka mulut dan langsung melahap makanan yang ada di hadapannya. Ia tidak tahu sejak kapan tetapi Syifa membuat debaran jantungnya menjadi tak karuan. "Enak sekali, kamu pintar masak."
Lengkungan senyum kembali tergambar di wajah Syifa, setidaknya masih ada alasan untuk ia bertahan dalam ketidak pastian. "Alhamdulilah, kalau begitu aku buatkan mas bekal setiap hari."
"Hem, aku suka ikan teri balado buatan kamu, sayur asem dan ikan nila saus. Kamu memang chef rumah tangga yang terbaik, aku jadi berpikir dua kali mencari pembantu, karena aku hanya bisa makan jika kamu yang masak," ujar Arman dengan sangat antusias, sepertinya ia sudah mulai menikmati keadaan yang sempat ia ragukan kelangsungannya.
"Mas bisa saja." Syifa kembali menyendok makan untuk sang suami. Tadi hatinya sempat galau tetapi melihat perlakuan sang suami ia bisa kembali tersenyum.
"Oh iya, kamu dari mana? Tidak biasanya kamu menyusul kesini." tanya Arman dengan mulut penuh makanan.
" Oh itu aku ...." Syifa nampak ragu untuk menjawab, bukan tanpa alasan, ia hanya tak ingin Arman salah paham. Namun kembali lagi, sebagai seorang istri pantang baginya untuk berbohong.
"Tadi aku bertemu dengan Mas Firman," ujar Syifa pada akhirnya.
Deg.
"A-apa, kamu bertemu Firman?" Arman tiba-tiba saja menjadi lemas, untuk menelan makanannya saja terasa sulit.
"Iya Mas. Jangan salah paham, mas Firman mengajak Ayah untuk berbisnis, karena aku tidak setuju jadi aku menyusul ke sana. Aku sudah berusaha meminta izin tapi Mas tidak mengangkat telepon, sekali lagi aku minta maaf."
Syifa mampak begitu menyesal setelah menceritakan semuanya namun ia akan lebih menyesal jika Arman tahu dari orang lain.
Arman menatap Syifa yang saat ini tertunduk di sampingnya. Ia tidak pernah menyalahkan sang istri dengan keadaan yang terjadi saat ini tetapi entah mengapa ada satu perasaan yang membuatnya tidak rela jika Syifa bertemu dengan Firman. "Apa kamu hanya menjemput Ayah atau sempat mengobrol dengan Firman?"
"Ya, kami sempat bicara sebentar," jawab Syifa terus terang.
Arman menatap Syifa semakin serius. Ia kembali memandangi Syifa yang masih terduduk di sampingnya. "Apa kamu bisa cerita, apa saja yang kalian bicarakan?"
Syifa menegakkan kepalanya menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca. Tadinya ia tidak mau menceritakan semuanya, tetapi melihat tatapan Arman, ia tahu akan mendapatkan masalah yang lebih besar jika menyembunyikan semuanya.
"Kami tadi sempat berdebat masalah Ayah, sampai akhirnya Mas Firman bilang ... kalau aku ini bukan siapa-siapa di mata Mas Arman, selamanya aku hanya akan menjadi bayangan di atas cinta Mas Arman kepada almarhumah Chyntia."
Akhirnya risalah hati Syifa tersampaikan. Ekspresi Arman tidak bisa terbantahkan, ia kaget saat mendengar penuturan sang istri. Mungkin ia terlalu larut dalam suasana hati yang mulai di tumbuhi bunga cinta.
Sampai-sampai ia lupa jika ada status yang harus di perjelas agar tidak menggantung dan merasa tak di anggap. Saat ini Arman menggenggam tangan sang istri dengan erat, entah apa yang akan dia sampaikan.
"Maafkan aku karena sudah membuat kamu mendengar hal seperti itu. Chyntia adalah bagian dari masa lalu dan tidak ada yang bisa membantah hal itu. Tapi semakin hari aku sadar, bahwa aku akan menyesal jika membiarkan kamu pergi. Atas izin Allah, biarkan aku mencintaimu, Syifa."
Tak ada kata-kata yang mampu Syifa ucapkan. Ia memeluk Arman dengan erat seraya terus terisak-isak.
Ya Allah jika memang dia adalah akhir dari perjalanan ku, biarkan kami bahagia di atas keraguan orang lain, batin Syifa.
Bersambung 💕
Bab selanjutnya ➡️ (Hadiah untuk Ayah - Noda merah)
Gaes, mampir ke novel keren yang satu ini ya...