Gadis cantik bernama Kirei Fitriya Tsabita berprofesi sebagai jurnalis di sebuah media televisi swasta.
Cita-citanya lahir lewat tangan ayahnya yang juga seorang wartawan senior. Ayah baginya idola, cinta pertama dan kiblatnya. Hingga peristiwa yang menyebabkan ayahnya meninggal ia membulatkan tekad melanjutkan cita-citanya. Sebuah cita-cita sederhana berkat kekaguman seorang anak terhadap ayahnya.
Ternyata cita-cita sederhana itu membuatnya kalang kabut saat ia ditunjuk menjadi jurnalis lapangan divisi news program menggantikan rekannya yang resign. Meliput kejadian di luar dugaan program 'Telusur Peristiwa' dan harus menghadapi atasan yang ia juluki makhluk aneh dan sok menyebalkan.
Belum lagi harus berhubungan dengan Wadir Reskrimsus terkait beberapa kasus liputannya. Yang mana mengantarkannya pada 'pernikahan' yang tak disangka-sangka.
Apakah 'pernikahan' itu mampu menghadirkan cinta?
Setelah kenyataan di depan mata, orang-orang terkasihnya ternyata terkait dengan kejadian kematian ayahnya.
Follow ig : enel_choi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NL choi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. I Got it
...25. I Got it...
Kirei
Pagi telah menyapa. Azan subuh berkumandang masuk dalam indra pendengarannya.
Ia berusaha membuka mata. Meski berat. Namun sejurus kemudian matanya membelalak tak percaya. Berkali-kali ia menguceknya. Demi meyakinkan penglihatannya. Tapi apa yang dilihatnya tak salah.
Gadis itu menelan ludahnya kasar.
Posisi tidur mereka yang saling berhadapan. Bahkan hanya sejengkal saja jaraknya. Guling pembatas? Entah ke mana rimbanya.
Ia mencoba beringsut perlahan. Berupaya untuk tidak menimbulkan gerakan yang berlebihan. Tujuannya cuma satu lekas menjauh dari laki-laki di hadapannya.
Namun sayang, harapan itu jauh dari jangkauan dan kenyataan.
“Mau ke mana?” gumam laki-laki itu dengan mata yang masih terpejam.
Ia bergeming.
Masih terpaku dalam nanap.
“Ma-mau subuhan ....” kilahnya dengan alasan yang tepat dan tergagap.
Tapi detik berikutnya, dengkuran halus kembali terdengar. Rupanya hanya mengigau pikirnya.
Setelah membersihkan diri, salat, lalu ia membangunkan laki-laki itu.
“Mas, bangun ....” Ia sedikit membungkukkan tubuhnya, menepuk-nepuk bahu Danang.
“Mas ....”
Danang menggumam-gumam tak jelas dengan mata masih terpejam, “Jam berapa?” kalimat itu yang tertangkap di telinganya.
“Jam lima.”
“Aku bantu mama ke dapur yaa ....” Ucapnya sambil berlalu meski tak mendapat respons.
Di dapur terlihat Bi Darmi dan Jum yang sedang sibuk membuat sarapan.
“Lho ... Mbak Rei, udah bangun?” sapa Bi Darmi saat melihatnya berdiri tak jauh darinya.
“Ya, Bi ....”
“Mau bikin sarapan apa, Bi?” tanyanya dengan mata bergerak mengikuti pergerakan tangan Bi Darmi yang sedang menumis bumbu serta memasukkan ayam.
“Ayam lodho. Kesukaan Mas Danang.”
Lalu ia beralih pada Jum yang sedang memilah cambah (toge pendek), memisahkan kulit dengan diayak menggunakan tampah bambu.
“Jum mau bikin apa?” tanyanya penasaran.
“Kalo ini cambah, Mbak. Mau dibikin rawon kesukaan Bapak sama Ibu,” sahut Jum.
Ia jadi tahu makanan kesukaan keluarga ini. Selama ini ia hanya sekedar membantu bunda di dapur tanpa mau mendalami tentang resepnya barang kali, atau minimal tahu cara memasaknya.
Bunda selalu ngomel jika dirinya terlalu jauh menyabotase dapur, katanya “Kalo masak harus fokus ... tidak sambil nyambi ....” Saat ia menggoreng tempe sampai gosong sebab tangannya sibuk membalas chat.
Atau saat ia menghanguskan panci. Saking menghayati bacaan novel favoritnya. Padahal cuma disuruh menghangatkan sop iga. Beruntung bunda yang baru tiba dari toko memergokinya.
Pekerjaannya di dapur hanya sekedar membantu mengupas dan memotong bumbu atau sayur, membersihkan dapur lepas pakai. Atau hanya mencuci piring. That it’s.
Ia menggaruk tengkuknya.
***
Danang
Rasanya baru beberapa jam ia tidur namun harus terbangun saat gadis yang semalam tidur bersamanya membangunkannya.
Semburat senyum terbit di bibirnya.
Tadi malam tepatnya dini hari, setelah menonton Liga Champions ia bergegas masuk dalam kamar.
Melihat Kirei yang tengah berbaring miring ke arahnya. Tumben. Biasanya ia akan membelakanginya.
Jadi kesempatan langka baginya. Memandang gadis itu berlama-lama. Lagi-lagi senyum terbit di bibirnya. Rasa-rasanya tak jemu memandangnya.
“Finally ... I found you (akhirnya ... aku menemukanmu),” ucapnya lirih bahkan mungkin hanya dia saja yang bisa mendengarnya.
Tangannya terulur untuk menyibak surai yang menutupi dahinya. Gerakan mencecap dari mulut gadis itu seketika mengurungkan tangannya untuk menyentuhnya lebih. Belum saatnya.
Ia sengaja membuang guling ke lantai demi merasakan berada lebih dekat dengan gadis kecilnya.
Dan ia kembali tersenyum bahagia pagi ini. Meski tanpa morning kiss, sebab rasanya itu sudah lebih membangkitkan gairah hidupnya.
Like a dream.
Bersiul ia menuju dapur. Di sana istrinya sedang sibuk membantu mama. Sesekali terdengar tawa di antara mereka.
“Mas mau kopi apa teh?” tanya Kirei padanya. Gadis itu tersenyum menyambutnya.
“Danang kalo pagi suka ngopi, Rei.” Mama menimpali dengan gerakan tangan menyeduh teh madu untuk papa.
“Kopi hitam 2 sendok. Gulanya 1 sendok saja,” lanjut mama.
Kirei jadi tersipu, sebab tak tahu menahu apa yang disuka, apa yang tidak disuka, kebiasaan dan sederet daftar tentang suaminya.
Kirei mengangsurkan cangkir berisi kopi hitam padanya, “Makasih,” ucapnya.
Lalu gadis itu berlalu menuju kamar.
Papa dan Aksa sudah bergabung di meja makan.
“Istrimu mana, Nang?” tanya papa.
“Lagi ganti baju, Pa.”
“Jam berapa kalian berangkat?”
“Jam 8,” sahut Aksa yang sedang mengunyah roti bakar selai cokelat.
Tak berapa lama, Kirei bergabung bersama mereka. Banyak petuah mama yang disampaikan di sela-sela sarapan mereka. Setelah sarapan ia, Kirei dan Aksa pamit menuju bandara.
Pesawat tiba di bandara Ahmad Yani pukul 10.15 WIB. Suara dering ponselnya meraung-raung ketika mereka tengah menanti barang bagasi.
“Aku terima telepon dulu,” ucapnya pada gadis itu yang dibalas anggukan.
Wajah laki-laki itu berubah datar. Tegang dan serius.
“Aku langsung ke kantor,” sambungnya.
“Ada kerjaan.” Sembari memasukkan ponselnya kembali pada saku celananya.
“Kalo gitu aku naik taksi aja, Mas ....”
“Aku antar kamu dulu.”
“Sa!” serunya, “kamu naik taksi yaa! Aku ada kerjaan dadak. Urgent!” Tandasnya.
“Oke, gak papa, Mas. Tadi aku udh janjian sama sopir kantor.”
Mereka berpisah di pintu keluar penumpang. Ia dan Kirei masuk dalam mobil yang dikendarai Rendra.
Perjalanan selama dua puluh menit rasanya cepat berlalu. Entah karena Rendra mengemudi dengan kecepatan penuh atau memang ia masih ingin bersama dengan laki-laki itu? Kirei tampak menggelengkan kepalanya.
**
Kirei
Membersihkan apartemen yang ditinggal selama dua hari. Ternyata menguras tenaganya. Terlebih apartemen yang ia tinggali sekarang lebih luas dibanding hunian lamanya. Ia juga memisahkan pakaian kotor dalam keranjang pakaian. Berniat mencucinya esok hari.
Lalu menyimpan oleh-oleh pemberian mama. Ada bumbu jadi rawon, ayam lodho, opor, pecel, ia simpan dalam frezeer. Entah kapan ia akan mengeksekusi itu semua.
Sementara lapis legit surabaya, prol tape sama madu mongso ia simpan di kulkas bagian bawah.
Hingga sore hari Danang belum juga memberi kabar. Gadis itu menyalakan laptopnya seraya mendengarkan musik dari aplikasi. Ada banyak surel yang masuk ke surelnya. Salah satunya dari International Center for Journalists (ICFJ) yang menerima permohonan beasiswanya. Tepatnya sekitar empat bulan yang lalu ia mengirimkan pengajuan beasiswa ke berbagai Journalism Fellowship (JF).
Ada ICFJ di Kamboja. Asia Journalism Fellowship (AJF) Tamasek Foundation dan National University of Singapure di Singapura dan terakhir program beasiswa New York Times di New York.
Lama ia menanti kabar. Sebulan, dua bulan, bahkan sampai tiga bulan ... akhirnya ia menyerah dan berhenti berharap. Mungkin juga sudah terlupakan.
Namun, saat ia berhenti berharap itulah, keajaiban datang.
Dan ternyata dari ketiga pengajuan itu ICFJ di Kamboja yang menerimanya.
Surprised.
Senyumnya seketika mengembang sempurna.
“Yes! I got it ... I got it!” pekiknya senang sekaligus bangga menyelimutinya.
Keterangan perihal syarat dan keberangkatannya tercantum jelas. Tertanggal 29 April-3 Mei itu artinya 5 hari ia akan mengikuti pelatihan jurnalistik di Pnohm Penh, Kamboja.
Semua persyaratan dan undangan mengikuti pelatihan ia cetak. Berharap mulai besok sudah bisa mencicil syarat yang belum lengkap. Sekaligus memberitahu laki-laki itu.
Malam semakin merangkak naik. Pukul delapan Danang belum juga kembali ke apartemen. Tak ada kabar sama sekali.
Apakah ia sekarang mencemaskannya?
Beberapa kali ia mengusap layar ponselnya. Berharap seseorang mengirimkan kabar padanya. Tapi Justru pesan dari Aldi dan Budi yang masuk.
Memberitahukan bahwa besok pagi ada konferensi pers di Polda terkait pembunuhan mutilasi yang selama ini mereka liput.
DEG
Apa kasus ini yang membuat mas Danang belum pulang?
Ia berusaha mengenyahkan pikiran dan perasaan cemas yang melingkupinya.
Waktu semakin malam. Ia yang sengaja menunggu kedatangan laki-laki itu akhirnya tertidur di sofa depan televisi.
Laki-laki itu tiba di apartemen saat sudah berganti hari tepatnya pukul 1 dini hari.
Terdengar ‘bip’ saat Danang menekan passcode pintu. Mendorong pintu itu lalu dahinya mengerut samar saat melihat istrinya tertidur di sofa. Tubuhnya yang lelah seketika menguap begitu saja, terganti dengan lengkungan bibir ke atas. Ketika mengetahui gadis itu menunggunya.
-
-
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberi dukungan....ya!🙏