“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Satu
Davina merasakan tubuhnya melemah begitu saja setelah mendengar ungkapan dari Kevin. Ia mengangkat tangan, meraih tepi meja bar agar tidak jatuh. Lalu, tanpa bicara, ia duduk di kursi tinggi di depan meja itu.
Napasnya masih tidak beraturan. Ucapan Kevin terus menggema di telinganya.
"Aku cinta sama kamu."
Kevin memperhatikannya dengan napas yang juga masih berat, tapi tatapannya sudah tidak sekeras tadi. Lebih lembut. Lebih rawan. Lebih jujur.
“Davi.” Suara Kevin terdengar sedikit serak.
Davina tidak menjawab. Ia menunduk, mencoba memproses semuanya sekaligus. Tangannya gemetar tipis saat ia meremas ujung kaos yang ia kenakan sejak siang tadi.
Kevin lalu bergerak. Ia mendekat perlahan, seolah takut membuat Davina makin terpojok. Ia menarik kursi lain dan duduk tepat di depannya.
“Lihat Abang.”
Davina menelan ludah pelan, lalu mengangkat wajah. Mata Kevin menatapnya begitu langsung, begitu tanpa pertahanan, sampai dada Davina terasa sesak.
“Bilang ke aku,” Kevin mulai lagi, suaranya lebih tenang, “Kamu beneran nggak ngerasain apa-apa ke Abang?”
Pertanyaannya terdengar sederhana. Tapi bagi Davina, itu seperti dilempar ke jurang.
Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Matanya mulai panas.
“Bang … aku ….” Davina mengusap wajahnya, gemas karena kata-katanya tidak mau keluar.
Kevin tidak memaksa. Ia hanya menunggu. Tatapannya penuh harap tapi juga penuh ketakutan.
Akhirnya, suara Davina keluar pelan tapi jelas. “Aku juga suka sama Abang, tapi ....”
Kevin mengerjap pelan, seperti tidak percaya apa yang ia dengar.
Davina menunduk lagi, suaranya bergetar, “Aku juga suka sama Abang sejak lama. Suka antara wanita dan pria. Tapi aku nggak tahu harus gimana. Aku takut. Takut Papa tahu. Takut nanti banyak yang menentang. Semua tau kita ini bersaudara walau hanya saudara tiri."
Kevin mengembuskan napas panjang, lalu menggeser kursinya lebih dekat. Ia tidak menyentuh Davina, hanya duduk di dekatnya.
“Abang nggak mau kamu takut,” ujar Kevin pelan.
“Papa pasti marah,” ucap Davina lirih. “Bang Kevin … Abang tahu sendiri Papa kayak gimana. Kalau dia tahu … kalau dia dengar aku dan Abang ....”
“Biar Abang yang ngomong sama Papa.” Kevin memotong, tegas.
Davina menggeleng cepat. “Nggak bisa, Bang. Papa pasti ....”
“Abang janji.” Kevin mencondongkan tubuh sedikit, matanya menatap Davina dengan mantap. “Abang yang bakal hadapi Papa. Kamu nggak usah takut sama apa pun.”
Davina menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang mulai penuh di dadanya. “Kenapa Abang segininya? Apa nanti kita bisa melawan semua yang menentang kita?"
“Abang yakin pasti akan melawan semua yang menentang hubungan kita,” jawab Kevin langsung, tanpa ragu seujung kuku pun.
Dan entah kenapa, jawaban itu yang barusan membuatnya ketakutan, kali ini justru membuat Davina merasa lega. Luruh. Seperti sesuatu yang ia pendam terlalu lama akhirnya menemukan tempat keluar.
Ia menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca.
Kevin melihat itu, lalu tersenyum kecil, senyum yang jarang ia keluarkan, senyum yang hanya muncul ketika ia menahan perasaan terlalu besar.
“Lupakan semua. Yang perlu kamu ingat, cinta kita pasti akan bisa melawan semua rintangan. Asal kamu percaya dengan Abang,” ucap Kevin sambil berdiri. "Sekarang ikut Abang."
Davina memandangnya bingung. “Mau kemana?”
“Masak.” Kevin menjawab seolah itu hal paling normal di dunia.
“Hah?”
“Abang mau masak buat kamu.” Ia menuju dapur dengan langkah mantap.
Davina mengerjap, tidak percaya. “Bang, serius? Aku bisa bantu ....”
“Nggak usah.” Kevin langsung menoleh sambil menunjuk ke kursi. “Duduk.”
“Tapi ....”
“Duduk, Davina.”
Nada itu membuat Davina otomatis kembali duduk. Entah kenapa, bagian itu tidak berubah, Kevin selalu tahu bagaimana membuatnya mengikuti dan patuh akan ucapannya.
Dengan tangan terlipat, Davina hanya bisa memperhatikan Kevin membuka kulkas, mengambil ayam, sayuran, dan beberapa bahan lain. Gerakannya cepat, rapi, dan penuh hafalan.
“Abang tahu kamu kalau marah, pasti belum makan dengan bener,” ujar Kevin sambil membersihkan ayam.
Davina mendengus pelan. “Aku nggak marah.”
Kevin meliriknya dari sudut mata. “Kamu tadi teriak-teriak di basement, Dav.”
Davina memutar bola mata. “Itu karena Abang nyebelin.”
“Masih nyebelin?” Kevin bertanya sambil mulai menyiapkan bumbu goreng.
Davina tidak langsung menjawab. “Sedikit.”
Kevin tersenyum kecil. Sangat kecil. Tapi terlihat. “Baguslah.”
“Apa yang bagus?”
“Kalau kamu bilang ‘banget’, aku pasti makin khawatir.”
Davina membuka mulut untuk membalas, tapi akhirnya memilih diam. Dia bersandar pada meja bar, memperhatikan Kevin yang mulai menggoreng ayam.
“Bang,” panggilnya pelan.
“Hm?”
“Kenapa sih bisa suka sama aku?”
Gerakan tangan Kevin terhenti sesaat. Lalu ia menatapnya.
“Karena kamu Davina,” jawabnya singkat, tapi nadanya dalam. “Nggak ada alasan lain.”
Davina memandangnya lama. Ucapan itu sederhana, tapi justru menohok.
Setelah beberapa menit, Kevin menambahkan sayur bayam ke dalam panci untuk sayur bening. Aroma masakan mulai mengisi ruangan.
“Bang,” Davina memanggil lagi. “Aku mau ....”
“Nggak.”
“Aku belum ngomong apa pun,” protes Davina.
“Kamu mau bantu. Dan jawabannya tetap nggak.”
Davina memanyunkan bibir. “Nyebelin.”
“Tau.” Kevin tidak malu-malu sedikit pun.
Ketika makanan hampir siap, Kevin menoleh. “Davi.”
“Ya?”
“Mandi dulu. Pasti dari tadi nggak nyaman.”
Davina menunduk, baru sadar ia masih memakai pakaian kerja. “Tapi aku nggak bawa baju.”
Kevin berjalan ke kamar, membuka lemari, dan kembali membawa satu kaos hitam lengan pendek, punyanya sendiri. “Pakai ini dulu.”
Davina mengambil kaos itu. Hangat. Besar. Dan benar-benar milik Kevin.
“Serius?” ia bertanya dengan pipi mulai memanas.
“Serius,” jawab Kevin dengan nada datar khasnya. “Kalau kamu mau, besok aku beliin baju yang lebih kecil.”
Davina mendesah kecil. “Ini aja cukup.”
Ia menuju kamar mandi. Butuh beberapa detik sebelum ia benar-benar berani melihat bayangannya sendiri. Wajahnya masih merah. Matanya masih menyimpan sisa keterkejutan dan perasaan lain yang sulit ia akui.
Setelah mandi dan memakai kaos Kevin, ia kembali ke dapur. Kaos itu jatuh longgar sampai ke pertengahan pahanya. Kevin yang sedang menata ayam goreng di piring langsung berhenti.
Ia menatap Davina lama. Sangat lama. Sampai Davina merasa seluruh tubuhnya ikut memanas.
“Kenapa?” Davina mencoba terdengar santai, tapi gagal.
Kevin menggeleng kecil sambil tersenyum samar. “Nggak. Cuma … cocok.”
Davina mengerjap cepat. “Apa?”
“Kaosnya,” jawab Kevin sambil berdeham. “Cocok dipakai kamu.”
Davina mengalihkan pandang. “Ah, lebay.”
Mereka makan malam berdua di meja makan kecil dekat jendela. Tidak ada suasana tegang seperti tadi. Kevin menyuapi ayam goreng ke piring Davina tanpa bertanya, seperti sudah tahu porsinya.
Davina menyeruput sayur bening pelan. “Enak.”
Kevin mengangguk. “Harusnya.”
Davina mendengus. “Abang pede amat.”
“Nggak pede. Emang bisa,” sahut Kevin santai sambil mengambil sambal.
Ini pertama kalinya sejak kekacauan di basement tadi mereka bisa bernapas normal. Bahkan beberapa kali, Davina tertawa kecil karena komentar simpel Kevin.
Setelah selesai makan dan membereskan meja, Kevin berdiri sambil merenggangkan badan. “Abang mandi dulu.”
Davina hanya mengangguk sambil menata gelas.
Beberapa menit kemudian, Kevin muncul lagi dengan rambut basah, kaos tipis, dan celana pendek rumah. Pemandangan itu saja sudah cukup membuat jantung Davina berdebar aneh lagi.
“Davi.” Kevin mendekat.
“Hm?”
“Ayo tidur.”
Davina membeku. “Tidur di kamar Abang?”
Kevin mengangguk pelan. “Iya.”
Davina membuka mulut, lalu menutupnya lagi. “Bang … aku ….”
Kevin melangkah mendekat, memegang lengannya perlahan. Tidak memaksa. Tidak menggenggam terlalu kuat. Hanya sentuhan ringan yang membuat Davina merasa ditarik pelan ke tempat yang sama-sama mereka tahu akan terjadi.
“Kalau kamu nggak mau, kita nggak usah,” ujar Kevin lembut, lebih lembut dari biasanya. “Abang cuma pengen kamu di dekat abang malam ini.”
Davina menatapnya lama. Hatinya terasa penuh. Tubuhnya penuh. Segalanya terasa terlalu dekat, terlalu hangat, terlalu benar.
“Aku mau,” jawab Davina akhirnya, hampir berbisik.
Kevin tidak langsung menariknya. Ia hanya menatap Davina seolah memastikan berkali-kali bahwa ia mendengar benar. Lalu dengan perlahan, ia menggenggam tangan Davina dan membawanya ke kamar.
Lampu kamar redup. Angin dari AC bergerak lembut.
Davina duduk di tepi ranjang, jantungnya berdetak kencang. Kevin duduk di sampingnya, keduanya diam selama beberapa detik. Keheningan itu bukan canggung, lebih seperti keheningan dua orang yang menyadari mereka akhirnya menembus batas yang sulit mereka hindari.
Kevin mengusap pipi Davina dengan lembut. Sentuhan itu membuat Davina memejam sebentar, tubuhnya merespons lebih cepat dari pikirannya.
Yang terjadi setelahnya, sudah tidak bisa dielakkan. Bukan tergesa. Bukan penuh amarah seperti di basement tadi. Tapi tenang, hangat, dan penuh perasaan yang selama ini mereka simpan rapat-rapat.
Hanya desa'han ringan, pegangan tangan yang kuat, napas yang saling mencari, dan perasaan yang akhirnya menemukan tempat pulang. Mereka kembali bersatu dalam hubungan terlarang.
Dan ketika semuanya mereda, ketika malam semakin larut dan Davina berbaring dengan kepala di dada Kevin, keduanya sama-sama diam. Tapi diam itu bukan tanda ragu.
Diam itu tanda bahwa hidup mereka baru saja berubah selamanya. Kevin membelai rambutnya pelan, seolah menenangkan dirinya sendiri.
“Mulai besok,” katanya lirih, “apa pun yang terjadi abang bakal jagain kamu.”
Davina memejamkan mata. Dia tahu ini salah, tapi tak bisa mereka hindari.
kalau sudah salah jangan menambah kesalahan lagi.
berani menghadapi apapun resikonya.
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak