Di desa kandri yang tenang, kedamaian terusik oleh dendam yang membara di hati Riani. karena dikhianati dan ditinggalkan oleh Anton, yang semula adalah sekutunya dalam membalas dendam pada keluarga Rahman, Riani kini merencanakan pembalasan yang lebih kejam dan licik.
Anton, yang terobsesi untuk menguasai keluarga Rahman melalui pernikahan dengan Dinda, putri mereka, diam-diam bekerja sama dengan Ki Sentanu, seorang dukun yang terkenal dengan ilmu hitamnya. Namun, Anton tidak menyadari bahwa Riani telah mengetahui pengkhianatannya dan kini bertekad untuk menghancurkan semua yang telah ia bangun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ki Ageng Selo
Senja mulai merayap, mewarnai langit Sumberagung dengan gradasi jingga dan ungu yang dramatis. Awan-awan tipis berarak perlahan, seolah mengiringi langkah kaki Mbak Marni dan Dinda yang semakin mendekati tempat tujuan. Setelah berjam-jam memacu mobil di jalanan yang berkelok dan melelahkan, melewati hamparan sawah yang luas dan hutan-hutan kecil yang sunyi, akhirnya mereka tiba di desa yang dituju. Sumberagung. Nama itu terngiang di benak mereka seperti sebuah harapan, sekaligus sebuah pertanyaan besar.
Desa itu tampak tenang, bahkan nyaris sunyi, seolah menyimpan rahasia di balik kesederhanaan rumah-rumah kayunya yang berderet rapi. Lampu-lampu minyak mulai dinyalakan di beranda rumah, memancarkan cahaya kekuningan yang hangat, namun tak mampu mengusir kegelapan yang mulai merangkak naik dari lembah. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang menenangkan, aroma khas pedesaan yang selalu dirindukan Mbak Marni. Namun, kali ini, aroma itu tak mampu meredakan kecemasan yang mencengkeram hati kedua wanita itu. Kecemasan akan masa depan, akan keselamatan Pak Rahman, dan akan kekuatan jahat yang mengintai mereka.
Mereka melangkah keluar dari mobil, membungkuk sedikit untuk meregangkan otot-otot yang kaku. Saling bertukar pandang. Di wajah masing-masing terpancar keraguan dan harapan yang bercampur aduk, seperti warna-warna senja yang berpadu di langit. Keraguan akan kemampuan mereka untuk menghadapi kekuatan jahat yang sedang mereka buru, dan harapan akan pertolongan dari Ki Ageng Selo, satu-satunya orang yang mungkin bisa membantu mereka. Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benak mereka, menambah beban di pundak yang sudah terasa berat. Apakah mereka sudah membuat keputusan yang tepat? Apakah mereka tidak sedang berjalan menuju jurang yang lebih dalam?
Dengan langkah ragu, mereka menyusuri jalan desa yang sepi, mencari petunjuk yang akan membawa mereka ke rumah sang dukun sakti. Jalanan itu hanya berupa tanah yang dipadatkan, dengan bebatuan kecil yang berserakan di sana-sini. Sesekali, mereka berpapasan dengan penduduk desa yang berjalan tergesa-gesa, seolah ingin segera sampai ke rumah sebelum malam tiba sepenuhnya. Beberapa penduduk desa yang mereka temui menatap mereka dengan tatapan curiga, seolah kehadiran orang asing adalah hal yang langka di tempat ini. Tatapan itu membuat Mbak Marni dan Dinda semakin tidak nyaman, merasa seperti sedang diawasi oleh mata-mata yang tak terlihat.
Akhirnya, setelah bertanya kepada beberapa orang, mereka bertemu dengan seorang bapak-bapak yang sedang duduk di depan rumahnya, mengisap rokok kretek dengan tenang. Bapak itu tampak ramah, dengan senyum yang mengembang di wajahnya yang keriput. Setelah memastikan bahwa mereka tidak berniat jahat, bapak itu bersedia memberikan petunjuk arah menuju rumah Ki Ageng Selo. Namun, sebelum memberikan petunjuk, bapak itu memperingatkan mereka untuk berhati-hati.
"Ki Ageng Selo memang orang yang sakti," kata bapak itu dengan suara pelan, "tapi dia juga orang yang aneh. Jangan macam-macam kalau tidak mau celaka."
Mbak Marni dan Dinda mengangguk, berjanji untuk tidak membuat masala
"Ki Ageng Selo memang orang yang sakti," kata bapak itu dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah takut didengar oleh angin malam yang berhembus, "tapi dia juga orang yang aneh... sangat aneh. Jangan macam-macam kalau tidak mau celaka, karena ilmunya bisa menjadi berkat, tapi juga bisa menjadi kutukan yang mengerikan, dan dia tidak segan-segan untuk menggunakannya jika merasa terganggu atau diusik." Bapak itu menghentikan kalimatnya, mengisap dalam-dalam rokok kreteknya, dan menghembuskan asapnya ke udara, membentuk lingkaran-lingkaran tipis yang kemudian menghilang ditelan kegelapan. "Sudah banyak orang yang datang ke sini mencari bantuannya, tapi tidak semuanya pulang dengan selamat. Jadi, berhati-hatilah dengan apa yang kalian katakan dan lakukan di dekatnya. Jangan pernah berbohong, jangan pernah meremehkannya, dan jangan pernah mencoba untuk memanfaatkan kekuatannya untuk kepentingan pribadi. Jika kalian melakukan itu, kalian akan menyesalinya seumur hidup." Bapak itu menatap Mbak Marni dan Dinda dengan tatapan serius, seolah sedang mencoba untuk melihat ke dalam jiwa mereka, mencari tahu apa niat sebenarnya mereka datang ke desa ini. "Sekarang, pergilah. Rumahnya ada di ujung jalan ini, di dekat hutan. Kalian tidak akan salah lihat. Tapi ingat, jangan pernah lupakan apa yang sudah saya katakan." Bapak itu membuang puntung rokoknya ke tanah dan masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Mbak Marni dan Dinda dengan perasaan yang semakin tidak nyaman.
Tentu, mari kita buat bab percakapan antara Dinda, Mbak Marni, dan Ki Ageng Selo yang sinkron dengan bab sebelumnya, dengan mempertimbangkan peringatan dari bapak desa dan suasana yang penuh ketegangan.
Setelah mendapatkan petunjuk dan peringatan dari bapak desa, Mbak Marni dan Dinda melanjutkan perjalanan mereka dengan langkah yang semakin hati-hati. Suasana senja semakin pekat, dan kegelapan mulai merangkul desa Sumberagung. Rumah-rumah penduduk tampak sepi, hanya sesekali terdengar suara jangkrik dan burung malam yang memecah kesunyian.
Rumah Ki Ageng Selo tampak mencolok di antara rumah-rumah lainnya. Bangunan itu lebih besar dan lebih kokoh, dengan ukiran-ukiran kayu yang rumit menghiasi setiap sudutnya. Halaman rumah itu dipenuhi dengan tanaman-tanaman aneh yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya, menciptakan kesan mistis dan angker.
Mbak Marni dan Dinda berhenti di depan gerbang rumah itu, saling bertukar pandang. Mereka merasa gugup dan takut, namun mereka tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Mereka harus bertemu dengan Ki Ageng Selo, satu-satunya harapan mereka untuk mengungkap rencana jahat Anton dan menyelamatkan Pak Rahman.
Mbak Marni menarik napas dalam-dalam dan membuka gerbang rumah itu dengan perlahan. Gerbang itu berderit pelan, memecah kesunyian malam. Mereka melangkah masuk ke halaman rumah itu, dan suasana di sekitar mereka terasa semakin mencekam.
Mereka berjalan menuju pintu utama rumah itu, melewati tanaman-tanaman aneh yang seolah mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Bau dupa dan kemenyan tercium samar di udara, menambah kesan mistis pada tempat itu.
Mbak Marni mengetuk pintu rumah itu dengan perlahan. Mereka menunggu beberapa saat, namun tidak ada jawaban.
Mbak Marni mengetuk pintu itu sekali lagi, kali ini lebih keras. Tetap saja, tidak ada jawaban.
"Apa mungkin Ki Ageng Selo sedang tidak ada di rumah?" bisik Mbak Dinda dengan nada cemas.
Mbak Marni mencoba untuk membuka pintu itu, dan ternyata tidak terkunci. Dengan ragu-ragu, mereka membuka pintu itu dan masuk ke dalam rumah.
Rumah itu tampak kosong dan sunyi. Hanya ada perabotan-perabotan kuno yang tertata rapi di dalam ruangan itu. Bau dupa dan kemenyan semakin kuat, membuat mereka merasa seperti berada di dalam sebuah kuil kuno.
"Ki Ageng Selo?" panggil Mbak Marni dengan suara pelan. "Apakah ada orang di rumah?"
Tiba-tiba, dari arah belakang rumah terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Mbak Marni dan Dinda berbalik dan melihat seorang pria tua berjalan ke arah mereka.
Pria tua itu berpakaian serba hitam, dengan rambut panjang yang diikat ke belakang. Wajahnya keriput, namun matanya memancarkan tatapan tajam yang Menusuk. Di lehernya tergantung kalung dari tulang-tulang hewan, dan di tangannya memegang tongkat.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*