Asila Angelica, merutuki kebodohannya setelah berurusan dengan pemuda asing yang ditemuinya malam itu. Siapa sangka, niatnya ingin menolong malah membuatnya terjebak dalam cinta satu malam hingga membuatnya mengandung bayi kembar.
Akankah Asila mencari pemuda itu dan meminta pertanggungjawabannya? Atau sebaliknya, dia putuskan untuk merawat bayinya secara diam-diam tanpa status?
Penasaran dengan kisahnya? Yuk, simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Cemburu
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Loh, ternyata kalian ada di sini? Sejak kapan kalian datang?"
Edgar terkejut mendapati keberadaan keluarganya di ruang rawat Sheila. Memang dia sempat memberikan penjelasan terkait kecelakaan Sheila dan asal usul si kembar. Dia bahkan diamuk habis-habisan oleh orang tuanya karena dianggap tak bertanggungjawab. Ia tak menyangka orang tuanya kini datang untuk menjenguk putrinya.
"Kami sudah tiba dari tadi, hampir satu jaman. Kamu itu kemana aja?" tanya Diah dengan melayangkan tatapan jengkel.
"Ngantor ma, baru saja selesai meeting langsung ke sini. Akhir-akhir ini banyak banget pekerjaan," keluhnya dengan melepaskan jas kerjanya dan melemparnya ke sofa.
Wanita tua itu mendengus. "Ada aja alasannya, sibuk lah, apalah. Apa nggak ada waktu luang buat menemani anak-anakmu? Putrimu lagi dirawat, dan kau masih memikirkan pekerjaan. Apakah pekerjaanmu jauh lebih penting dibandingkan dengan mereka? Pantas saja Asila nggak mau sama kamu, orang kamunya nggak ada kepedulian. Apa ini yang dinamakan ayah bertanggungjawab?"
Edgar tak menjawab, dia tahu posisinya salah, tapi bukan keinginannya meninggalkan mereka, ia hanya tidak bisa mengabaikan pekerjaannya apalagi sudah ada janjian dengan pengusaha dari luar kota. Apapun alasannya ia harus tetap profesional.
"Pantas saja Asila malas sama kamu. Perempuan itu hanya ingin dimengerti, kalau kamu cuek kayak gini bagaimana dia bisa respect sama kamu! Selama ini dia hidup sendiri, ngurus dua anak sendirian, apa kamu pikir itu mudah? Ternyata di mana-mana lelaki itu sama saja, mau enaknya saja tanpa berpikir untuk bertanggungjawab. Padahal di dalam pernikahan laki-laki memiliki banyak peran, bukan hanya mencari uang saja, tapi mengayomi, menemani dan membantu istrinya. Sedangkan kamu..., bahkan di saat anakmu sakit kamu masih memikirkan pekerjaan. Laki-laki macam apa kau itu!"
Asila dan yang lain hanya diam tak mau ikut-ikutan menyalahkannya. Sebenarnya Asila sendiri cukup geram, sudah diberi kesempatan untuk bisa mendekati anaknya masih juga diabaikan, tapi dia minta hak yang sama sebagai ayah mereka.
"Oh... Ayolah ma! Bukannya aku nggak mau temani mereka, aku masih sibuk mengurus pekerjaanku. Aku baru saja selesai meeting dan langsung pulang. Asila juga tahu kalau aku lagi sibuk, dia juga mengizinkanku pergi," bantahnya dengan melepaskan sepatu dan menaruhnya di bawah meja.
Sok-sokan peduli dia melangkahkan kakinya menuju berankar di mana kedua anaknya tengah duduk sembari menonton cartoon di tv.
"Halo Dylan, halo Sheila, bagaimana kabar kalian? Apa kalian merindukan Daddy?"
Dylan tak menjawab, dia langsung turun dari berankar adiknya, dia mendekati Natan yang sedang fokus dengan layar handphonenya.
"Om, kita main di luar yuk! Di sini gerah," ucapnya sembari menarik kemeja yang dikenakan adik dari ayahnya.
Natan menoleh pada Dylan dan berakhir pada Edgar yang tengah diabaikan oleh putranya.
"Loh, bukannya kamu tadi ingin ketemu sama Daddy? Tuh Daddy kalian udah datang kok malah ngajak main di luar? Ayo sana sapa Daddy nya, masa mau musuhan terus?"
Dylan mendengus dengan mencebikkan bibirnya. "Sekarang udah enggak! Aku mau main sama om aja. Om mau kan, jadi ayahku?"
"What!"
Refleks semua orang yang ada di ruangan itu saling pandang. Edgar mendelik menajamkan matanya ke arah adik laki-lakinya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh adiknya hingga membuat Dylan lebih memilihnya.
"Eh..., setan! Kau apain anak-anakku? Kau sudah mencuci otak mereka ya! Kau nampak begitu senang dianggap sebagai ayah mereka? Selama aku masih bernafas, jangan harap kau bisa mengambil posisiku!"
Natan terkekeh. Edgar terlihat lucu saat marah. Rupanya pria itu mudah terpancing emosi. Hanya karena Dylan inginkan dirinya untuk menjadi ayahnya dia langsung emosi. Semakin Edgar emosi semakin banyak cara untuk mengerjainya.
"Memangnya salah kalau mereka menginginkan aku menjadi
Ayah mereka? Jika kak Asila nggak keberatan aku sih oke saja. Nggak jadi masalah kalaupun aku harus menikahi mantan kekasihmu!"
"Jangan gila kau ya! Bisa-bisanya kau berkeinginan untuk menikahi kakak iparmu dan mengambil anak-anakku? Selama aku masih bernafas jangan harap kau bisa merebut mereka dariku!"
Natan terkekeh melihat ekspresi kakak laki-lakinya yang diselimuti oleh emosi. Edgar nampak begitu cemburu, padahal dia tak memiliki niatan untuk mendekati iparnya. Dia cukup tahu diri, bahkan dia memiliki keinginan untuk menyatukan mereka agar menjadi keluarga yang utuh, semua itu ia lakukan untuk kebahagiaan keponakannya.
"Bang, bisa nggak sih, bicara baik-baik nggak harus pakai otot? Mana mungkin aku memiliki niatan untuk merebut anak-anakmu dan juga kakak ipar. Kau itu selalu berpikir negatif thinking, mereka tahu mana yang tulus dan mana yang tidak, lagian apa salahnya kalau Dylan ingin aku menjadi ayahnya, mereka keponakanku, tentunya aku akan menganggapnya sebagai anakku sendiri. Kalau kamu ingin mereka sayang sama kamu, rubah kebiasaan buruk kamu, luangkan waktu untuk mereka! Jangan sibuk terus!"
"Iya, aku tahu tapi ~~
"Sudah-sudah! Kamu itu apa sih! Datang-datang langsung marah. Nggak jelas banget jadi orang! Dylan itu nyaman sama adik kamu, bukan berarti adik kamu memiliki niatan buruk ingin merebut mereka. Harusnya kamu bersyukur, keluarga kamu masih peduli sama mereka. Kamu sendiri nggak pernah ada untuk mereka."
Asila yang awalnya hanya diam kini buka suara dan menegurnya. Dia paling benci pada orang yang suka cari muka. Lagian mana mungkin dia bermain perasaan dengan pria yang masih memiliki hubungan dekat dengan saudaranya Edgar.
"Em... Maksudku bukan gitu. Aku hanya tidak ingin anakku menjaga jarak denganku. Mereka milikku dan mereka ~~
"Memangnya kami mengakuimu sebagai ayah kami?" Dylan menyahut tanpa menoleh. Dia masih jengkel. Dia masih kurang percaya bahwa orang yang begitu dibencinya ternyata ayah kandungnya sendiri. Selama ini ibunya sudah tega membohonginya. Dia pikir Ayahnya benar-benar sudah mati seperti yang dikatakan oleh ibunya, tapi ternyata pria itu masih dalam kondisi sehat dan juga sukses dengan bisnisnya.
"Sayang...., jangan begitu nak, Daddy sayang sama kalian. Maafkan Daddy yang tak pernah ada untuk kalian, Daddy sadar akan kesalahan Daddy, tapi tolong beri kesempatan buat Daddy untuk menebusnya."
Dylan tersenyum smirk. "Menebusnya? Ditebus dengan cara apa? Anda bukan orang tua yang baik buat kami!"
"Dylan, nggak boleh ngomong kayak gitu! Nggak baik. Mommy nggak suka sama anak yang kurang ajar berani melawan orang tua. Daddy kamu memang salah, tapi bukan berarti kamu harus membencinya. Daddy pernah marah pada kalian bukan tanpa sebab, kalau sudah merusak sistem operasi kerjanya. Siapapun juga pasti bakalan marah. Tapi bukan berarti kamu nggak mau maafin Daddy?"
Asila menarik nafas, berasa dirinya tak bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Dylan hanya kecewa karena sudah ditelantarkan oleh ayahnya, tapi ia yakin dihatinya masih ada rasa ingin mengakuinya, hanya saja dia terlalu gengsi untuk mengakuinya. Andai saja dari awal ia jelaskan mengenai kehamilannya dan tidak pergi, mungkin kejadian seperti ini tidak pernah ada di kehidupannya. Ia sadar selama ini sudah egois, lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan kebahagiaan anak-anaknya.
"Asila! Mungkin mereka butuh waktu untuk bisa menerima ayahnya. Mama yakin kok, mereka bakalan menerima ayahnya. Ini semua memang salah Edgar. Jika saja dari awal dia sadar sudah melakukan kesalahan, tentu dia tak akan lari dari tanggungjawab. Sekarang dia telah memanen hasil dari perbuatannya sendiri."