Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan. 
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Setelah hampir dua jam MUA merias wajah Husna.
Ia kini berdiri di depan cermin, tampak seperti boneka porselen yang indah namun tanpa jiwa.
Gaun pengantin berwarna putih gading itu membalut tubuhnya dengan sempurna, kontras dengan matanya yang masih menyimpan sisa-sisa kesedihan semalam.
Ibu Mariam menatap putrinya, air mata haru menggenang di pelupuk matanya.
"Cantik sekali Putri, Ibu." bisik Ibu Mariam sambil membelai pipi putrinya yang akan menikah.
Disaat yang sama Ayah Yudha masuk dan melihat putrinya yang sudah siap untuk menikah.
"Masya Allah, cantik sekali kamu Husna. Ayah yakin kalau kamu bisa hidup bahagia dengan Jovan." ucap Ayah Yudha.
Husna hanya bisa tersenyum tipis saat mendengar perkataan dari Ayah Yudha.
"Ayo, Nak. Mereka sudah menunggu." ajak Ayah Yudha.
Husna menggenggam tangan Ayahnya yang mengajaknya keluar dari kamar.
Saat menuruni tangga, Husna melihat Burak yang sedang menggendong bayi kecil putri Jovan.
Namun pandangannya langsung terpaku saat melihat Jovan yang menatapnya dengan tatapan dingin.
"Ayo, kita mulai acaranya." ucap penghulu.
Husna menundukkan kepalanya dan duduk di samping Jovan.
"Bapak Yudha, apakah Anda sudah siap untuk menikahkan putri tercinta Anda?" tanya penghulu.
"Saya siap, Pak Penghulu," jawab Yudha mantap, namun suaranya sedikit bergetar karena emosi.
Ia menatap Husna, air mata mulai menggenang di matanya.
"Husna, putri Ayah. Maafkan Ayah." Ia berbisik pelan, hanya didengar Husna.
Husna menganggukkan kepalanya dan memaksa senyum kecil.
Yudha beralih menjabat tangan Jovan yang sudah siap untuk melakukan ijab kabul.
"Saudara Jovan Bin Burak, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Husna Humairah Binti Yudha, dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas seberat 50 gram, tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Husna Binti Yudha dengan mas kawin tersebut, tunai." ucap Jovan dengan sekali tarikan nafas.
"Sah?" tanya penghulu.
"SAH!" jawab para saksi serempak.
Air mata Husna mengalir saat mendengar kata 'Sah' yang berarti hubungannya dengan Arkan telah usai.
Penghulu meminta Husna untuk mencium tangan suaminya.
Ia meraih tangan Jovan yang terasa dingin, lalu mencium punggung tangan itu.
Jovan tidak membalas sapaan itu, ia hanya menatap kosong ke depan
Setelah itu Husna memeluk tubuh Ayah Yudha dan Ibu Maria.
"Semoga kalian berdua samawa dan langgeng sampai kakek nenek." ucap Ayah Yudha.
Setelah pelukan haru dari kedua orang tuanya, Ayah Yudha mempersilakan Jovan dan Husna untuk duduk kembali.
Wajah Husna basah oleh air mata, namun ia segera menyekanya.
"Selamat, Nak. Kalian sudah sah. Sekarang, kalian adalah sepasang suami istri," ucap Penghulu menutup acara.
Jovan segera bangkit dari duduknya tanpa menunggu lama.
"Husna, bersiaplah karena kita harus segera berangkat," ucap Jovan dengan nada dingin dan tanpa basa-basi.
Ia sama sekali tidak menunjukkan kehangatan atau rasa hormat selayaknya pengantin baru.
Ayah Yudha dan Ibu Mariam tampak terkejut dengan sikap terburu-buru Jovan.
"Tunggu dulu, Nak. Minumlah teh atau makan sedikit. Kalian baru saja menikah," ujar Ibu Mariam mencoba menahan.
"Tidak perlu, Tante. Pesawat kami akan berangkat sore ini, dan kami harus mengurus beberapa hal setibanya di Kanada. Saya sudah siapkan semuanya, termasuk kebutuhan Husna. Dia tidak perlu membawa banyak barang," jawab Jovan datar, tanpa menoleh.
Husna bangkit dari duduknya dan ia berjalan menuju ke kamarnya.
Di dalam kamar ia mengambil tasnya yang kemudian ia masukkan ponsel, kabel charger, buku harian, foto Arkan dan dompetnya.
Setelah selesai ia menatap kamar yang selama ini ia tempati.
Husna bergegas turun saat suaminya sedang menunggunya.
Saat akan berpamitan dengan kedua orang tuanya.
Burak menghampiri Husna dan memperkenalkan Ava yang kini akan menjadi putrinya.
"Husna, ini putrimu. Namanya Ava Aisyah Felia." ucap Burak.
Husna menatap wajah Ava yang masih berusia hari.
Ia pun langsung menggendong Ava dan menciumnya.
"Ayo, kita berangkat sekarang." ajak Jovan.
Papa Yudha yang mendengarnya langsung memeluk tubuh putrinya.
Begitu juga dengan Ibu Maria yang langsung menangis sesenggukan saat putrinya akan pergi meninggalkan rumah.
"Jovan, Papa minta kamu jaga Husna." ucap Ayah Yudha.
Jovan menganggukkan kepalanya dan ia berjanji akan menjaga Husna.
Kemudian Jovan berjalan dahulu menuju ke mobil, meninggalkan Husna yang masih berpamitan.
Setelah itu Husna masuk dan duduk di kursi belakang sambil menggendong Ava.
"Mulai sekarang kamu harus menjaga Ava." ucap Jovan yang kemudian meminta supir untuk mengantarkannya ke bandara.
Burak yang masih di rumah Ayah Yudha kembali duduk dan mengobrol tentang masalah pekerjaan.
Jovan duduk di kursi depan, di samping supir, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.
Husna duduk sendirian di kursi belakang, menggendong Ava yang terlelap pulas.
Hatinya masih bergemuruh, percampuran antara kesedihan, kekecewaan, dan kecanggungan luar biasa dengan lelaki yang kini resmi menjadi suaminya.
Ia memandangi wajah mungil Ava, yang bahkan belum genap seminggu.
Sekarang Ava adalah tanggung jawab barunya, anak ini adalah alasan mengapa ia ada di sini.
Sekitar lima belas menit perjalanan, ketenangan itu terusik.
Ava mulai menggeliat, lalu merengek pelan, dan tak lama kemudian, tangisnya pecah.
Tangisan bayi yang nyaring itu memenuhi seluruh kabin mobil.
Husna mencoba menenangkan Ava, mengayun-ayunkan tubuh mungilnya.
"Ssst... sayang, jangan menangis. Ada Mama di sini."
Namun, Ava tetap menangis dan tangisannya semakin kuat.
Husna panik dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Ia belum pernah mengurus bayi sebelumnya dan ia melihat ke tas perlengkapan bayi yang sudah disiapkan oleh Jovan.
Kemudian Husna mengambil sebuah dot dan sebotol susu formula yang sudah dibuat.
"Ini, sayang. Minum susu ya," bujuk Husna, mencoba mendekatkan dot ke bibir Ava.
Ava menolak, kepalanya menggeleng-geleng kecil, dan tangisannya semakin menjadi-jadi.
Wajahnya memera dan suara tangisannya melengking.
Jovan yang tadinya diam, kini terlihat sedikit terusik.
Ia menoleh ke belakang dengan tatapan tajam saat melihat Ava yang menangis.
"Kenapa dia menangis terus? Beri dia susu!" ucap Jovan dengan nada tinggi.
"Sudah, Jovan. Tapi dia tidak mau," jawab Husna, suaranya sedikit gemetar.
Jovan menghela napas kasar saat mendengar perkataan dari istrinya.
"Berikan dia ASI mu, Na. Itu pasti akan menenangkannya." ucap Jovan yang meminta agar menyusui Ava langsung dari tubuhnya.
Husna yang mendengarnya sedikit malu dan kecewa dengan Jovan.
"Van! Aku bukan ibu kandung Ava. Dan aku belum pernah hamil. Bagaimana bisa kamu memintaku seperti itu?"
Jovan langsung turun dari mobil dan menggambil Ava.
Ia sedikit menjauh dan menenangkan putrinya yang sedang rewel.
"Kenapa Ava menangis lagi? Ava nggak boleh rewel, ya. Sebentar lagi kita pulang ke Kanada." ucap Jovan.
Husna mendengar suara Jovan yang berbeda dengan sebelumnya yang selalu dingin.
Setelah beberapa menit kemudian, Ava kembali tenang dan ia memberikannya kepada Husna.
Jovan meminta supir untuk kembali melajukan mobilnya.