Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 - Kenyataan pahit
Senja sudah bangun sejak subuh, ia duduk gelisah di tepi tempat tidur kamarnya sambil menatap ponsel lama yang sudah jarang digunakannya. Sudah beberapa bulan dia tidak pulang ke rumah orangtuanya.
Tapi sudah lama sekali Senja tidak pernah bertemu atau mendengar kabar ayahnya. Luna selalu bilang bahwa ayahnya baik-baik saja, sedang dirawat di rumah sakit dengan fasilitas terbaik. Tapi tidak pernah sekalipun Senja diizinkan untuk mengunjunginya.
Ketukan pelan di pintu membuat Senja terlonjak dari lamunannya.
"Masuk," katanya dengan suara pelan.
Pintu terbuka dan Samudra muncul dengan senyum lembut di wajahnya. Pria itu mengenakan kemeja putih kasual dan celana jeans biru navy, penampilan yang jauh lebih santai dari biasanya karena hari ini dia tidak ke kantor.
"Pagi," sapanya sambil masuk dan menutup pintu. "Kamu sudah siap?"
Senja mengangguk sambil bangkit dari tempat tidur. Dia mengenakan dress selutut berwarna coklat muda yang sederhana, rambut dikuncir kuda rapi, dan wajah tanpa makeup yang membuatnya terlihat sangat muda dan polos.
"Aku sudah siap, Mas. Tapi... apa tidak apa-apa Mas antar aku? Bagaimana kalau Kak Luna..."
"Luna tidak pulang semalam," potong Samudra dengan nada datar. "Entah dia di mana, dan aku sudah tidak peduli."
Senja menatap Samudra dengan mata yang penuh kekhawatiran. Meski hubungan mereka sudah berubah, dia tetap tidak mau menjadi penyebab kehancuran pernikahan Samudra, meski pernikahan itu memang sudah hancur sejak awal.
"Ayo," kata Samudra sambil mengulurkan tangan. "Kita berangkat sekarang supaya tidak terlalu siang."
Senja meraih tangan Samudra dan membiarkan pria itu menggandengnya keluar kamar. Sentuhan hangat tangan Samudra memberikannya ketenangan yang sangat dibutuhkannya.
***
Perjalanan memakan waktu hampir satu jam karena jalanan yang cukup macet. Sepanjang perjalanan, Samudra sesekali mencuri pandang ke arah Senja yang duduk di kursi penumpang dengan wajah yang terlihat semakin gelisah seiring semakin dekat mereka dengan tujuan.
"Kamu oke?" tanya Samudra sambil memegang tangan Senja yang dingin.
"Iya, Mas. Cuma... aku gugup," jawab Senja dengan suara pelan. "Sudah lama sekali aku tidak ketemu Ayah. Aku tidak tahu kondisinya gimana sekarang."
"Insya Allah beliau baik-baik saja," kata Samudra dengan nada meyakinkan. "Dan kalau memang kondisinya tidak baik, kita bisa carikan rumah sakit yang lebih bagus."
"Terima kasih, Mas," bisik Senja sambil menggenggam tangan Samudra lebih erat.
Ketika mobil itu memasuki daerah rumah orangtua Senja, suasana berubah drastis dari gedung-gedung pencakar langit menjadi rumah-rumah sederhana yang berderet rapat.
"Mas," panggil Senja ketika mereka sudah mendekati lokasi, "tolong berhenti di persimpangan depan sana."
"Kenapa?" tanya Samudra sambil mengurangi kecepatan mobil.
"Aku tidak mau orang-orang di kampung lihat aku datang naik mobil mewah sama kamu Mas. Terlebih lagi, kamu kakak ipar aku,"
Samudra mengerti kekhawatiran Senja. Di lingkungan seperti ini, gosip menyebar lebih cepat dari api.
"Baiklah," katanya sambil memarkirkan mobil di bawah pohon rindang di persimpangan. "Tapi aku tunggu di sini ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku."
"Iya, Mas. Terima kasih," Senja membuka pintu mobil dan turun dengan gerakan yang cepat.
Sebelum menutup pintu, Samudra memanggilnya. "Senja."
"Ya, Mas?"
"Hati-hati," kata Samudra dengan tatapan yang penuh perhatian. "Dan apapun yang terjadi, aku akan di sini."
Langkahnya semakin melambat ketika melihat rumah kecil yang selama ini menjadi tempat tinggalnya.
Tapi ada yang aneh.
Rumah itu terlihat sangat sepi. Pintu dan jendela tertutup rapat, taman depan sudah dipenuhi rumput liar yang tumbuh tinggi, dan ada spanduk besar terpasang di pagar: "RUMAH DIJUAL - HUBUNGI 0812-XXXX-XXXX".
Jantung Senja langsung berdetak kencang. Tangannya gemetar ketika mendorong pagar yang ternyata tidak dikunci. Dia berjalan pelan menuju pintu depan, mengetuk dengan keras.
"Ayah? Ibu?" panggilnya dengan suara yang mulai panik. "Ada orang?"
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam.
Senja mengetuk lebih keras, bahkan mencoba memutar handel pintu tapi terkunci dari dalam. Panik mulai menyeruak di dadanya.
"Permisi, Dek."
Senja menoleh dan melihat seorang wanita paruh baya yang sedang menyapu di teras rumah sebelah, Bu Ratna, tetangga yang sudah puluhan tahun tinggal di sana.
"Bu Ratna!" seru Senja sambil langsung menghampiri pagar pembatas. "Ibu tahu Ayahku di mana? Kok rumahnya sepi begini?"
Ekspresi Bu Ratna langsung berubah, campuran antara terkejut, kasihan, dan tidak percaya. Wanita itu meletakkan sapunya dan mendekat ke pagar dengan gerakan yang lambat.
"Senja? Kamu... tidak tahu?" tanya Bu Ratna dengan suara yang bergetar.
"Tidak tahu apa, Bu?" Jantung Senja berdetak semakin kencang, firasat buruk mulai menyeruak.
Bu Ratna menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Ayah kamu... sudah meninggal, Nak."
Dunia Senja seketika berhenti berputar. Telinganya berdenging, pandangan matanya mulai kabur. Dia mencengkeram pagar dengan erat agar tidak terjatuh.
"Ap-apa?" suaranya hampir tidak keluar.
"Ayah kamu meninggal sekitar satu minggu setelah kamu pergi ikut kakak tiri kamu itu," lanjut Bu Ratna sambil mengusap air mata yang mulai jatuh. "Waktu itu kondisinya memang sudah sangat lemah. Ibu tirimu bilang kalau dia akan membawa Ayah kamu ke rumah sakit, tapi beberapa hari kemudian kami dengar kabar kalau Papa sudah meninggal."
"Ti-tidak mungkin," bisik Senja dengan suara yang bergetar hebat. "Luna bilang Ayah dirawat di rumah sakit dengan baik. Luna bilang Ayah dalam kondisi yang stabil."
Bu Ratna menggeleng dengan wajah penuh simpati. "Maaf, Nak. Tapi itu bohong. Ayah kamu sudah dimakamkan di TPU beberapa bulan yang lalu."
Lutut Senja melemas. Dia terduduk di tanah dengan mata yang kosong, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ayahnya sudah meninggal. Dan tidak ada seorang pun yang memberitahunya.
"Kenapa... kenapa tidak ada yang bilang ke aku?" tanyanya dengan suara yang serak.
"Kami mencoba mencari nomor telepon kamu," jawab Bu Ratna sambil ikut terduduk di teras rumahnya. "Tapi ibu tirimu bilang kamu sudah pindah ke luar negeri dan tidak bisa dihubungi. Kami percaya saja sama dia."
"Luar negeri?" Senja tertawa pahit. "Aku bahkan tidak pernah keluar dari Jakarta."
Bu Ratna menatap Senja dengan mata yang penuh kemarahan dan simpati. "Sepertinya kamu dibohongi, Nak. Setelah Ayah kamu dimakamkan, ibu tirimu langsung mengurus surat-surat rumah. Beberapa hari setelahnya, dia menjual rumah ini dan pindah entah kemana. Kami dengar dia dapat uang banyak dari penjualan rumah."
Senja merasakan dadanya sesak seperti diremas kuat-kuat. Semua puzzle mulai terbentuk dengan jelas. Luna dan ibunya sengaja menyembunyikan kabar kematian ayahnya. Mereka menggunakan nama ayah untuk terus mengancamnya agar menurut, padahal ayahnya sudah tidak ada.
Selama ini, Senja bekerja keras, menahan perlakuan kasar Luna, hidup seperti budak di rumah mewah itu, semuanya demi ayah yang ternyata sudah lama meninggal.
"Kenapa mereka bisa sejahat itu?" bisiknya sambil memeluk lututnya sendiri. Air mata mengalir deras membasahi pipinya.
Bu Ratna turun dari teras dan duduk di samping Senja, memeluk gadis yang sudah dikenalnya sejak kecil itu dengan penuh kasih sayang.
"Ibu sangat menyesal, Nak," bisiknya sambil mengelus rambut Senja. "Seharusnya kami mencari tahu keberadaan kamu dengan lebih keras. Ayah kamu pasti sedih kalau tahu kamu tidak bisa ada di saat-saat terakhirnya."
"Ayah..." isak Senja semakin keras. "Maafin aku, Yah. Maafin aku yang tidak bisa ada di samping Ayah waktu Ayah butuh."
Mereka duduk di sana cukup lama, Senja yang menangis meraung-raung dan Bu Ratna yang terus memeluknya dengan sabar. Beberapa tetangga lain mulai berkumpul, menatap Senja dengan wajah yang penuh simpati. Mereka semua tahu betapa ayah Senja sangat menyayangi anak semata wayangnya itu.
Setelah tangisan Senja sedikit mereda, Bu Ratna bertanya dengan hati-hati, "Kamu sekarang tinggal di mana, Nak?"
"Aku... kerja jadi asisten rumah tangga di rumah kakak tiri aku," jawab Senja dengan suara yang masih serak.
"Asisten rumah tangga?" Bu Ratna menatap Senja dengan mata terbelalak. "Tapi kamu kan anak Ayah kamu yang sah. Kenapa kamu jadi pembantu di rumah anak tiri?"
Senja hanya menggeleng tanpa menjawab. Bagaimana dia bisa menjelaskan semua manipulasi dan ancaman yang dilakukan Luna dan ibunya?
"Makam Ayah di mana, Bu?" tanya Senja sambil mengusap air matanya.
"Di TPU Pondok, sektor C nomor 45," jawab Bu Ratna. "Ibu masih hapal karena beberapa kali ke sana."
Senja mengangguk sambil mencoba bangkit. Tubuhnya masih gemetar tapi dia harus kuat.
"Terima kasih, Bu Ratna," katanya sambil memeluk wanita itu. "Terima kasih sudah memberitahu aku kebenaran."
"Sama-sama, Nak. Kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan untuk datang ke rumah Ibu."
Senja berjalan keluar dengan langkah yang sempoyongan. Seluruh tubuhnya terasa lemas, kepalanya pusing, dan dadanya sangat sesak. Ketika sampai di persimpangan dan melihat mobil masih menunggunya, kakinya langsung lemas.
Samudra yang melihat Senja dari dalam mobil langsung turun dengan cepat. Dia berlari menghampiri Senja yang hampir terjatuh.
"Senja!" serunya sambil menangkap tubuh gadis itu. "Kamu kenapa sayang? Kamu pucat sekali!"
Senja menatap wajah Samudra dengan mata yang kosong dan air mata yang tidak berhenti mengalir.
"Mas," bisiknya dengan suara yang sangat lemah, "Ayah... sudah meninggal."
Dan setelah kalimat itu, tubuh Senja melemas sepenuhnya. Samudra dengan cepat menangkapnya, memeluknya erat sambil membiarkan gadis itu menangis di dadanya.
"Aku di sini," bisik Samudra sambil mengelus rambut Senja. "Aku akan selalu di sini untuk kamu."
Di tengah jalan yang ramai dengan aktivitas pagi hari, seorang pria yang mencoba memberikan kekuatan dan seorang gadis yang baru saja kehilangan segalanya. Kehilangan ayah yang dicintainya tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal, dan kehilangan semua hidupnya karena kebohongan yang sangat keji.