Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang berbeda. Bahkan status kita pun berubah..
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. KEDATANGAN SANG AYAH
Jalanan yang lenggang di malam itu seolah menjadi saksi pertemuanku dengan Devan. Hawa dingin AC yang menyerang seolah menusuk lapisan kulit terdalam tubuhku. Perlahan tubuhku menggigil kedinginan.
Devan yang melihatku menggigil seperti itu dengan segera tangannya terulur mengambilkan jaket yang ada di kursi belakang.
"Pakailah.. Aku belum siap melihatmu berubah menjadi pinguin di mobilku." ucapnya seraya menahan tawa.
Aku pun hanya bisa tersenyum kikuk dengan perhatian kecil dari Devan. Devan... sosok pria yang sangat humble, tampan dan dewasa. Ia mampu menarik perhatianku yang selama ini selalu berfikir negatif tentang para kaum pria.
Hingga beberapa saat kemudian, mobil Devan berhenti tepat di halaman depan rumahku. Rumah kecil dan minimalis namun dipenuhi dengan kenangan masa kecilku. Rumah yang membesarkanku dengan penuh cinta dan kasih sayang.
"Berhenti disini saja. Terima kasih sudah mau menyelamatkanku dari para preman tadi hingga mengantarkanku pulang." ucapku seraya tersenyum penuh kelembutan.
Devan hanya menganggukkan kepalanya perlahan. "Oh ya.. Tawaranku yang tadi masih berlaku. Aku di Bandung masih satu minggu lagi. Aku harap kamu mau menjadi tour guideku selama aku berada disini. Dan tentu saja tidak gratis. Aku akan membayarmu."
"Baiklah... Aku akan mengabarimu esok hari. Aku masuk duluan. Ini nomor teleponku." aku pun memberikan secarik kertas kepada Devan.
"Baiklah.. Aku akan pergi setelah kamu masuk ke dalam rumah."
Aku pun turun dari mobil Devan dan perlahan masuk ke dalam rumah. "Jam berapa ini Naya? Kenapa baru pulang?" Tanya ibuku dengan nada cemasnya.
Aku hanya bisa menarik nafas panjang sebelum menceritakan hal yang terjadi kepadaku malam ini. Ku tarik tangan ibuku dengan perlahan seraya membawanya menuju sofa yang berada di sudut ruangan itu.
"Maafkan Naya bu, sudah membuat ibu cemas menunggu kedatanganku. Tadi sempat ada beberapa preman yang mengganggu. Tapi itu semua sudah selesai. Aku sudah pulang dengan selamat. Sekarang lebih baik ibu beristirahat. Jaga kesehatan ibu."
"Lebih baik kamu keluar kerja Nay, cari pekerjaan yang lain. Pekerjaan yang tidak pulang sampai larut begini. Setiap malam rasanya ibu selalu jantungan menunggu kepulanganmu." ucap Dewi dengan tatapan sendunya.
Aku pun menggenggam erat jemari tangan ibuku memberikan keyakinan bahwa semuanya akan baik - baik saja. Ku tatap lekat wajah ibuku yang pucat sembari tersenyum hangat kepadanya.
Sudah 1 bulan ini ibuku sakit - sakitan. Aku bekerja mati - matian untuk menghidupi keluargaku. Membiayai adikku yang baru saja duduk di bangku SMA. Sedangkan ayahku.. Jangan ditanyakan lagi kemana ia pergi. Sudah beberapa minggu ini ia tidak pulang. Alasannya sibuk proyek di luar kota. Padahal yang aku tahu, ia sibuk mengurusi gundiknya yang lain.
Namun aku hanya bisa bungkam di depan ibuku. Aku tidak mau beliau kepikiran dan hal itu bisa berdampak mengganggu kesehatannya.
"Kakak baru pulang?" tanya Embun dengan suaranya yang serak khas bangun tidurnya.
Dia adalah Embun Kinara. Satu - satunya saudara yang aku punya dan saat ini ia duduk di bangku SMA.
"Iya dek. Besok kamu jadi bayar uang sekolah?" tanyaku dengan nada yang datar.
"Iya kak.. Besok aku ujian. Sebelum masuk kelas aku harus melunasi tunggakan pembayarannya kak."
Aku pun meraih tas slingbag yang berada di atas meja. Ku ambil uang berwarna merah beberapa lembar. "Bayar satu bulan dulu aja ya dek. Sisanya mau dipakai kakak beli obat untuk ibu."
"Baiklah kak. Yang penting ada cicilan pembayaran dulu. Kakak sudah makan? Apa mau aku buatkan sesuatu?"
"Ndak usah dek, kakak langsung istirahat saja. Badan kakak capek."
"Maafin ibu ya nak... Ibu belum bisa membahagiakan kalian berdua. seharusnya gadis seusiamu kuliah untuk masa depan kamu. Dan embun menjadi tanggung jawab ibu. Namun sekarang.. Untuk makan dan kebutuhan sehari - hari saja ibu mengandalkanmu." Ucap Dewi dengan suaranya yang bergetar menahan tangis.
"Ibu jangan berkata seperti itu. Semua ini sudah jalannya takdir kita bu. Kita pasrahkan semuanya kepada sang Pencipta. Mau bagaimanapun usaha kita kalau memang bukan jalan takdir kita, semuanya akan tetap sama bu. Ibu jangan berpikir terlalu jauh. Sekarang lebih baik kita beristirahat." ucapku seraya menggandeng ibu dan embun untuk segera beristirahat.
**
Dor...
Dor...
Dor....
Tepat pukul 5 pagi. Suara pintu digedor dengan begitu keras. Dengan langkah lemahnya Dewi berjalan menuju ke ruang tamu. Dilihatnya sepintas dari jendela, suaminya telah pulang dengan keadaan yang sangat berantakan.
Ceklek...
Pintu dibuka oleh Dewi. Dengan tangan kasar dan kekarnya, Sigit mendorong pintu itu dengan begitu keras hingga membentur tubuh ringkih Dewi.
Dia adalah Sigit Jamal Hamdan, suami dari Dewi Prameswari. Ayah kandung dari Innaya dan Embun. Sosok pria yang berhati dingin dan penuh dengan manipulasi.
"Aww..." ringis Dewi dengan suaranya yang menahan kesakitan.
"Cepat katakan dimana kau menyimpan sertifikat rumah ini?" teriaknya dengan suaranya yang menggelegar memenuhi ruangan itu.
"Buat apa mas? Itu adalah hak anak - anak. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menyerahkannya kepadamu." Ucap Dewi dengan suaranya yang bergetar menahan tangis.
"Jadi kau lebih memilihku mengambilnya dengan paksa daripada menyerahkannya secara baik - baik?" ucap Sigit dengan sorot matanya yang tajam dan penuh intimidasi.
Dengan cepat Sigit menaiki tangga dan menuju ke lantai 2 tempat kamar mereka. Dibongkarnya seluruh isi kamar Dewi tapi nihil. Ia tidak menemukan apa yang dia cari di dalam sana.
Naya yang mendengar keributan dari luar kamar bergegas menuju keluar dari kamarnya. Dilihatnya sang ayah sudah memporak porandakan seluruh isi kamar ibunya.
"Ayah? Apa maksud ayah membongkar semua isi kamar ibu?" tanya Naya dengan nadanya yang ketus.
"Diam kau jalang kecil.. Aku tidak punya urusan denganmu. Lebih baik kau menyingkir dari hadapanku." ucap Sigit dengan nada penuh emosi.
"Apa maksud ayah berkata seperti itu?" ucapku dengan menahan emosi. Aku tidak pernah menyangka kata - kata seperti itu diucapkan dengan begitu lantang oleh seorang ayah kepada anaknya.
"Apa kau kira ayah tidak tahu. Semalam kau dimobil dengan seorang pria. Perempuan baik - baik seperti apa yang dini hari berduaan di dalam mobil pria asing kalau bukan seorang jalang?" ucap Sigit dengan tatapan tajamnya.
Ibu dan Embun menyusulku ke dalam kamar itu. "Nak..sudah. Sebaiknya kamu keluar dari sini. Biar ibu yang berbicara dengan ayahmu." ucap Dewi dengan nada memelasnya.
Aku dan Embun hanya bisa mengangguk pasrah. Meninggalkan ibu berduaan dengan ayah di kamar itu dengan berat hati.
"Mas... hentikan. Jangan seperti ini. Rumah ini satu - satunya harta peninggalan kita untuk anak - anak. Kita sudah tidak punya hak lagi atas rumah ini."
"Apa kau tahu.. Usahaku sedang tidak baik - baik saja. Dan aku membutuhkan surat itu untuk jaminan hutang ke bank sebagai tambahan modal." ucap Sigit dengan nadanya yang frustasi.
"Terus kita harus tinggal dimana mas kalau surat itu dijadikan jaminan hutang ke bank?" ucap Dewi dengan sudut matanya yang berair.
"Untuk sementara tinggallah dirumah orang tuamu dulu. Bukankah rumah orang tuamu besar? Dan sudah lama kan kau tidak mengunjungi orang tuamu? Mungkin ini waktu yang tepat berkunjung kesana." ucap Sigit dengan seringai liciknya.
"Tapi mas... Sejak aku memilih menikah denganmu bahkan aku tidak pernah menginjakkan kaki ke rumah orang tuaku. Apa kata keluargaku melihatmu memboyong kami kesana? Aku malu mas....." isak tangis Dewi pecah memenuhi kamar tersebut.
Perlahan Sigit mendekat dan memeluk Dewi dengan penuh kehangatan. Pelukan yang selama ini sangat Dewi rindukan. Pelukan yang mampu meruntuhkan benteng pertahanannya dari Sigit.
"Siang nanti aku akan mengantarkan kalian kesana. Kau juga pasti sangat merindukan kedua orang tuamu." ucap Sigit dengan penuh kelembutan, yang tanpa Dewi ketahui sejuta rencana jahat terbesit di otaknya.
Ceklek..
Pintu kamar perlahan terbuka lebar. Dewi dan Sigit keluar dari dalam kamar dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, menyaksikan ibuku yang dengan gampangnya sudah berbaikan dengan ayahku.
Apa seperti ini kehidupan pernikahan? Apakah hanya dengan bujukan dan rayuan setiap wanita akan luluh begitu saja?
Entahlah..... Aku sendiri belum menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu. Karena pada dasarnya aku sendiri juga belum pernah merasakan cinta. Jangankan untuk jatuh cinta... Terkadang untuk mandi pun aku tidak sempat karena saking banyaknya freelance yang aku jalani untuk melanjutkan hidup. Beruntunglah aku dikarunia kecantikan yang luar biasa dari gen ibuku. Hingga belum mandi pun aku masih cantik alami.
"Naya.. Embun.. Kalian berkemaslah. Packing baju kalian. Karena nanti siang kita akan pindah ke rumah kakek dan nenek." ucap Dewi dengan senyumnya yang hangat.
**
Sementara itu....
Cuaca yang mendung tampak menyelimuti siang ini. Suasana rumah besar itu tampak begitu sepi. Beberapa orang dengan pakaian serba hitam tampak keluar masuk dari rumah itu. Di halaman depan rumah tampak karangan bunga yang begitu besar dan berjejer rapi di sepanjang jalan utama.
Perlahan mobil Sigit berhenti di ujung jalan tersebut. "Mas... Kenapa banyak sekali karangan bunga di rumah orang tuaku? Apa yang terjadi? Dan siapa yang meninggal?" ucap ibuku dengan nada paniknya. Sudut matanya berair menahan emosinya yang sedang tidak baik - baik saja.
"Kalian turunlah disini. Aku akan mencari tempat parkir." ucap Sigit dengan nada perintahnya.
Tanpa rasa curiga aku, Embun dan juga ibuku bergegas turun sembari membawa tas dan koper kami. Dengan setengah berlari ibuku mencoba memasuki rumah itu.
Tepat di halaman depan tampak foto seorang wanita yang begitu cantik meski sudah termakan usia. Karangan bunga tampak menghias sudut foto tersebut.
"Dewi... Untuk apa kau kembali kesini?Apa kau sudah menyesali semua kesalahanmu? Atau kau kesini hanya ingin melihat kematian ibumu?" ucap seorang pria dengan suaranya yang menggelegar.
Pria itu adalah Danu Subroto. Suami dari Ayu Dewi Prameswari. Dan mereka adalah orang tua kandung dari Dewi Prameswari. Yang secara tak langsung mereka adalah kakek dan nenek dari Naya dan Embun.
mereka perawat tapi sikapnya tidak mencerminkan pekerjaannya
tunggu balasan pedih dari orang yang disakitinya😬