"Aku tidak bisa mencintainya, karena sejak awal hatiku tidak memilihnya. Semua berjalan karena paksaan, surat wasiat ayah, janji ayah yang harus aku penuhi."
"Semua yang terjadi bukan atas kemaunku sendiri!"
"Dengarkan aku, Roselyn... hanya kamu yang mampu membuatku merasakan cinta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qireikharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Kecurigaan Naeira
Pagi itu, seperti biasa Jayden dan Naeira berangkat bersama menuju kantor. Naeira tampak sumringah, senyumnya merekah di wajahnya, beberapa kali menoleh ke arah Jayden, berharap bisa mengajaknya berbicara dengan santai.
Namun berbeda dengan Jayden, wajahnya terlihat tegang, tatapannya lurus ke depan, seolah sedang menahan kekesalan dan amarah di dalam dadanya.
“Kamu kenapa Jayden? Apakah ada sesuatu yang membuatmu kesal?” Tanyanya lembut memberanikan diri memecahkan suasana di dalam mobil yang terasa hening.
Senyum Naeira perlahan memudar karena menyadari sikap Jayden yang dingin, sama sekali tak merespon perkataannya.
“Jayden, sepertinya kamu lagi banyak pikiran, ya?” tanya Naeira pelan, berusaha mengajaknya kembali berbicara.
Jayden hanya mendengus pelan, tidak langsung menjawab. Ia fokus ke arah depan ke jalan menyetir mobilnya.
"Jayden, apa kamu tidak mendengarkan aku?" ucap Naeira sedikit meninggikan nada bicaranya, membuat Jayden menginjak rem tiba-tiba, mobil hampir kehilangan kendali.
“Jangan pernah berani meninggikan suaramu lagi padaku!” bentak Jayden, melihat ke arah Naeira.
Naeira kaget dan langsung terdiam, tangannya cukup gemetar serta jantungnya berdegup kencang melihat ekspresi Jayden yang belum pernah ia lihat sebelumnya, amarahnya terlihat membara dalam sorot mata yang tajam, rahangnya mengeras menahan emosi, udara dalam mobil terasa begitu tegang.
"M-maaf," lirihnya, ucapannya terbata. Naeira menunduk, memilih diam, sementara Jayden kembali memusatkan perhatian ke jalan dan melajukan kembali mobilnya.
Tiba-tiba, suara getar ponsel memecah keheningan. Layar yang menyala di dashboard mobil menampilkan satu nama yang begitu jelas, panggilan telepon dari Roselyn.
Jayden yang semula menegang, rahangnya mengeras, perlahan berubah. Sorot matanya yang dingin seketika luluh, tangannya refleks meraih ponsel itu, tanpa pikir panjang ia langsung menerima telepon itu mengabaikan Naeira yang duduk di sampingnya seolah tak peduli dengan perasaan Naeira jika mendengar percakapannya lewat telepon dengan Roselyn.
"Halo, ada apa kamu telpon saya?" jawab Jayden, pura-pura ketus tapi perasaannya begitu senang menahan senyum, matanya melirik sekilas ke arah Naeira yang masih menunduk.
"Baik, saya akan datang," jawabnya sebelum menutup teleponnya. Jayden kembali fokus ke arah jalan di hadapannya memegang setirnya sambil menahan senyum.
Suasana di dalam mobil mendadak terasa berubah, Jayden menatap lurus ke depan, wajahnya datar tapi senyum tipis yang tak bisa ia sembunyikan masih tercetak di bibirnya.
Naeira yang sejak tadi menunduk dengan berani mengarahkan kepalanya pada Jayden penuh curiga.
“Siapa yang barusan menelpon?”
Jayden tidak langsung menjawab. Ia justru menghela napas, menambah kecepatan mobilnya.
“Tidak penting, haya urusan pekerjaan,” jawabnya singkat, tanpa menoleh ke arah Naeira.
“Urusan pekerjaan?” ulang Naeira pelan, bibirnya menyunggingkan senyum sinis, tak percaya, hatinya tanda tanya. “Kamu terlihat sebahagia itu.”
Jayden menoleh sekilas, tatapannya menusuk, membuat Naeira tercekat, seketika
suasana di mobil kembali hening, hanya suara mesin mobil yang terdengar, hati Jayden terasa hangat, pikirannya di penuhi oleh bayangan Roselyn, telepon singkat darinya saja sudah cukup membuatnya melupakan kekesalan pada Naeira beberapa menit yang lalu.
"Akhirnya Roselyn, kamu menyerah juga," gumamnya dalam hati.
Mobil melaju dengan kencang menuju kantor. Naeira masih diliputi perasaan curiga terhadap sikap Jayden yang sekejap berubah begitu saja setelah menerima telpon dari seseorang.
“Apa Jayden menyembunyikan sesuatu dariku?” umpatnya dalam hati. Pikirannya tidak tenang, membuat dadanya terasa sesak.
Sesampainya di kantor, Naeira berjalan menuju ruangan Davin dengan membawa beberapa dokumen. Namun langkahnya terasa berat. Tatapannya kosong, pikirannya terus kembali memikirkan Jayden.
Davin sedari tadi memperhatikan Naeira yang berbeda, tatapannya kosong pikirannnya entah kemana. “Kamu kenapa, Naeira? Seperti sedang memikirkan sesuatu,” tanyanya pelan.
Naeira hanya menggeleng sekilas, tidak terlalu menanggapi. Ia berusaha menutupi kegelisahannya.
“Kamu sakit?” Davin berinisiatif mendekat. Dengan refleks ia mengangkat tangannya, hendak menempelkan punggung telapak ke kening Naeira. Namun spontan Naeira mundur selangkah menjaga jarak dari Davin.
“Aku baik-baik saja, Davin,” ucapnya cepat, berusaha terdengar meyakinkan.
Davin menatapnya dalam-dalam, sorot matanya menyimpan rasa penasaran. “Kamu tidak terlihat baik-baik saja. Tatapanmu kosong, seolah ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan.”
Naeira terdiam, menunduk menahan gejolak hatinya. Ia ingin bercerita, tapi ragu. Bagaimana mungkin ia mengungkapkan bahwa hatinya sedang memikirkan Jayden membuatnya tak tenang.
“Pasti ada sesuatu yang disembunyikannya. Aku harus mencari tahu,” gumamnya dalam hati begitu antusias, tanpa memperdulikan Davin yang masih berdiri memperhatikannya.
"Davin aku ke ruangan Jayden dulu ya," ucapnya sebelum melangkah, Davin hanya tersenyum tipis dan mengangguk, lalu menatap punggung Naeira yang melangkah tergesa-gesa meninggalkannya.
“Pasti ada sesuatu yang disembunyikan Jayden, aku harus mencari tahu di ruangan kerjanya,” gumamnya dalam hati, penuh antusias. Davin masih berdiri memperhatikan Naeira dengan tatapan penasaran.
“Davin, aku ke ruangan Jayden dulu ya,” ucap Naeira buru-buru.
Davin hanya tersenyum tipis dan mengangguk, lalu menatap punggung Naeira yang melangkah tergesa-gesa meninggalkannya.
“Aku pasti menemukan sesuatu di ruangan Jayden.”
Setelah melihat Jayden dan Rama keluar dari ruangannya menuju ruangan meeting, dengan hati-hati Naeira melangkah masuk ke dalam ruangan kerja Jayden. Ia menutup pintu perlahan, memastikan tak ada yang memperhatikannya.
Tanpa ragu Naeira mulai memeriksa beberapa dokumen di atas meja, lalu membuka satu per satu laci, tangannya sedikit gemetar, dengan dada yang bergetar campuran antara rasa takut ketahuan dan dorongan kuat untuk memastikan sesuatu yang tengah disembunyikan Jayden.
Dengan wajah kecewa bercampur lega Naeira menutup kembali laci terakhir. “Mungkin aku memang terlalu berlebihan, terlalu curiga padanya,” gumamnya dalam hati, meski rasa curiga belum sepenuhnya hilang dari hatinya.
Naeira melangkah menuju pintu keluar, Namun, tepat ketika tangannya menyentuh gagang pintu, suara langkah kaki terdengar mendekat dari luar.
Jantung Naeira langsung berdegup kencang. Belum sempat ia melangkah pergi, pintu sudah terbuka dari luar.
Jayden berdiri di sana, menatapnya dengan sorot mata curiga penuh tanda tanya, ekpresi Jayden dingin namun sarat kemarahan.
“Naeira?” ucapnya pelan namun tegas. “Apa yang kamu lakukan di ruanganku?”
Naeira tertegun, tubuhnya kaku. Tangannya refleks meremas berkas di genggamannya, mencari alasan yang bisa dilontarkannya tanpa menimbulkan kecurigaan lebih dalam dari Jayden.
Naeira menarik napas cepat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu tak karuan. Ia memaksakan bibirnya agar tersenyum, meski jelas sekali kegugupan yang dirasakannya.
“A-Aku, hanya membawa dokumen untuk laporan, Jayden, Davin memintanya dan mungkin berkas itu ada di ruanganmu," ucapnya terbata, mengangkat berkas di tangannya sebagai bukti.
“Kenapa wajahmu tegang seperti itu? Ada yang kamu sembunyikan atau mencari sesuatu dari ruanganku?” suaranya datar, namun terdengar seperti sedang diinterogasi.
Naeira tercekat, jantungnya semakin berdegup kencang Ia menunduk, menghindari tatapan Jayden, berharap pria itu tidak mendesaknya lebih jauh.
Tiba-tiba ponsel Naeira bergetar. Ia melirik sekilas layar, nama Davin terpampang jelas di layar ponselnya. Seketika Naeira merasa lega, tanpa pikir panjang Naeira langsung mengangkat telepon itu, berusaha terdengar tenang saat berbicara dengan Davin.
Jayden hanya menatapnya beberapa detik, lalu berbalik melangkah ke meja kerjanya, seolah membiarkan Naeira pergi begitu saja
Namun sorot mata Jayden menyiratkan sesuatu kecurigaan dan membuatnya merasa harus waspada terhadap Naeira.
Lanjut Part 27》