Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.
Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.
Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.
Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33: Pesta tak terduga
Sejak kepulangan mereka dari vila, hubungan antara Zevian dan Nayara terasa sedikit lebih cair dibandingkan sebelumnya. Tidak ada lagi ketegangan yang kaku seperti dahulu. Nayara mulai menunjukkan sikap yang lebih terbuka, meski tetap menjaga batas, sementara Zevian pun berusaha menjaga tutur dan tindak tanduknya. Ia bersikap lebih tenang dan mengedepankan pendekatan sebagai seorang sahabat—setidaknya itu alasan yang ia sampaikan.
Tanpa diketahui siapa pun, kontrak pernikahan di antara mereka telah disusun secara rinci, ditelaah oleh kedua belah pihak, lalu ditandatangani secara resmi. Semua dilakukan dalam diam dan penuh kehati-hatian, seolah menyembunyikan hal penting itu dari sorotan dunia luar.
Selama masa penantian menuju hari pernikahan, berbagai persiapan terus berlangsung dengan cermat.
Pagi itu Nayara terbangun seperti biasa karena alarm di ponselnya. Sudah dua hari berlalu sejak wanita itu harus tinggal di kediaman sang ayah. Semua fasilitas yang selama ini menjadi miliknya, termasuk apartemennya, telah diambil alih oleh Anthony. Hal itu sempat membuat Nayara kesal, tapi dia tahu tak ada yang bisa ia lakukan sekarang.
Meski pernikahan mereka sudah begitu dekat, bahkan terasa terlalu cepat baginya, Nayara tetap berusaha fokus pada pendidikannya. Sebagai mahasiswa kedokteran angkatan delapan yang sebentar lagi akan memasuki masa koas, Nayara mengisi harinya dengan belajar teori kedokteran secara intensif dan praktik di laboratorium kampus. Setiap hari, ia menghadiri kuliah dan mengerjakan berbagai tugas yang menuntut konsentrasi tinggi. Ia tahu, dunia medis bukan sekadar profesi, tapi panggilan jiwa yang harus ia perjuangkan tanpa kompromi.
Sementara itu, Zevian, sebagai CEO perusahaan keluarga yang bergerak di berbagai bidang, menjalani hari-harinya dengan jadwal yang padat dan penuh tekanan. Meski tidak selalu hadir langsung di kantor, ia rutin memimpin rapat strategis dan mengambil keputusan penting untuk memastikan pertumbuhan dan stabilitas perusahaan. Zevian juga kerap mengevaluasi laporan dari manajer-manajer divisi, termasuk proyek-proyek besar yang sedang berjalan, agar semua berjalan sesuai rencana dan target tercapai. Sebagai seorang pemimpin, ia tahu tanggung jawabnya bukan sekadar hadir, tapi memastikan setiap lini bisnis berjalan optimal melalui koordinasi yang efektif.
Keduanya berjalan di jalur masing-masing, terikat oleh keadaan tapi tetap berusaha mempertahankan kendali atas hidup mereka.
Drttt… Drttt… Drttt…
Getaran ponsel yang terletak di bawah meja rias menarik perhatian Nayara yang tengah mencatok rambutnya. Pandangannya jatuh pada layar ponsel yang menampilkan nama pemanggil. Ia menatapnya cukup lama, seolah berpikir sejenak, sebelum akhirnya menggeser ikon hijau tanpa berkata apa pun. Tangannya tetap sibuk meluruskan rambut.
"Sudah siap?" suara Zevian terdengar dari seberang panggilan video.
"Sedikit lagi," jawab Nayara tanpa menatap layar ponsel. Fokusnya tidak teralihkan dari helaian rambut yang masih ia tata.
"Perlu aku antar?" tanya Zevian lagi, nada suaranya terdengar biasa, tapi ada kekhawatiran samar di baliknya.
"Tidak, aku pergi dengan Vina," balas Nayara singkat. Ia menyelesaikan sentuhan terakhir pada rambutnya, lalu mencabut kabel catokan dan meletakkannya begitu saja di atas meja.
"Jangan dekat-dekat dengan pria mana pun," ucap Zevian tiba-tiba, suaranya sedikit lebih berat dan serius.
"Iya," Nayara menjawab tanpa ekspresi, lalu mulai mondar-mandir di kamar, mengambil tas kecil, mencari parfum, dan bersiap-siap seperti tak mendengar peringatan barusan.
"Aku sedang bicara, Nayara," suara Zevian meninggi sedikit, terdengar jelas ia merasa diabaikan.
"Aku… sedang bersiap-siap," sahut Nayara datar, tetap tidak melihat ke arah ponsel.
"Kabari aku kalau sudah sampai," ujar Zevian akhirnya, mencoba menahan nada suaranya.
"Baik," jawab Nayara. Suaranya terdengar makin menjauh. Zevian hanya bisa menarik napas panjang, lalu mengakhiri panggilan video itu dengan perasaan tak menentu. Pagi itu, ia bahkan belum sempat melihat wajah Nayara dengan jelas.
Nayara menyampirkan kardigan hitam di tubuhnya, menyempurnakan penampilannya yang sudah tertata rapi. Ia meraih botol parfum di atas meja, lalu menyemprotkannya ke area leher dan pergelangan tangan dengan gerakan cepat. Tanpa berlama-lama, ia mengambil ponsel, memasukkannya ke tas, dan segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa.
Suasana rumah pagi itu masih sepi. Hanya ada beberapa pelayan yang sibuk bekerja di sudut-sudut ruangan. Mereka menunduk sopan saat Nayara lewat di depan mereka. Anthony pun belum terlihat, entah masih terlelap atau mungkin sudah lebih dulu berangkat ke kantor.
Nayara memasuki garasi rumahnya dan berhenti sejenak di depan deretan mobil mewah yang tertata rapi. Tangannya menyentuh kunci salah satu mobil koleksinya, mobil berwarna abu metalik yang selama ini lebih sering terparkir diam, menjadi pajangan di antara koleksi mobil Anthony yang mengkilap dan tak kalah mencolok. Hari ini, ia memutuskan untuk menyetir sendiri.
Sebenarnya, ia telah berbohong pada Zevian. Ia bilang akan berangkat ke kampus bersama Vina hanya untuk menghindari pertanyaan berlebihan dari pria itu. Bukan karena takut—tapi karena malas berdebat di pagi hari. Ada salah satu sahabat mereka yang berulang tahun hari ini, dan Nayara tidak ingin repot menyesuaikan waktu dengan orang lain. Maka, membawa mobil sendiri adalah keputusan terbaik.
Pintu garasi terbuka perlahan. Pak Dipta, salah satu penjaga rumah yang sudah lama bekerja untuk keluarga mereka, memberi hormat kecil sambil membukakan pintu gerbang utama. Nayara membalas dengan anggukan singkat, lalu melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah. Ia mengemudi dengan tenang, gerakannya teratur dan percaya diri, seolah aktivitas ini sudah menjadi kebiasaannya.
Perjalanan menuju kampus tidak memakan waktu lama. Jalanan pagi itu cukup lengang, dan langit yang sedikit mendung justru membuat suasana lebih nyaman. Setibanya di universitas, Nayara memarkir mobilnya di area parkir khusus mahasiswa senior. Ia mengambil tumpukan buku dari kursi penumpang, lalu turun dengan langkah pasti.
Saat berjalan menuju gedung utama, matanya sempat menangkap mobil Vina dan Razka yang sudah terparkir lebih dulu. Ia tersenyum kecil. Itu artinya, kedua sahabatnya telah datang lebih awal.
"Semangat, Nay," ucapnya pelan pada diri sendiri, menatap bangunan besar kampus dengan penuh antusias. Hari ini akan panjang, tapi ia siap untuk menjalaninya.
•••
Setelah menyelesaikan panggilan video dengan Nayara, Zevian segera menuju kamar mandi untuk bersiap. Cukup lama ia menghabiskan waktu di sana, memastikan semuanya terlihat sempurna. Ia mengenakan kemeja hitam yang pas di badan, dasi abu-abu gelap, serta celana bahan berpotongan rapi. Jas hitam yang biasa ia kenakan hanya ia gantungkan di lengan—terlalu formal jika dipakai sejak pagi, pikirnya.
Dengan langkah tergesa, Zevian menuruni anak tangga. Suara langkah sepatunya menggema lembut di lantai marmer rumah megah itu. Saat melewati ruang makan, ia baru menyadari kedua orang tuanya sedang duduk menikmati sarapan. Aroma roti panggang dan kopi menyeruak di udara.
Indira, yang melihat putra sulungnya sudah rapi dengan pakaian kantor, langsung menghentikan suapan rotinya.
“Mau ke mana, Ze?” tanyanya dengan nada lembut tapi penuh penekanan. Zevian menoleh sekilas.
“Ke kantor, Mom,” jawabnya singkat, hendak melangkah lagi. Namun, langkahnya terhenti saat suara sang ibu kembali terdengar.
“Tidak boleh. Kerja dari rumah saja. Beberapa hari lagi kamu akan menikah,” ucap Indira santai, seolah itu hal yang sangat wajar. Zevian mengerutkan kening, bingung.
“Apa?” tanya Zevian tidak mengerti dengan ucapan orang tua nya itu.
“Iya, calon pengantin tidak boleh bepergian saat mendekati hari H pernikahan. Kamu bisa kerjakan semuanya dari rumah,” jelas Indira sambil menyesap kopinya, tenang dan yakin. Zevian menghela napas, jelas tidak setuju.
“Mom… ayolah, ini sudah zaman modern. Kita hidup di tahun dua ribu dua puluhan. Hal seperti itu hanya mitos.” Ujarnya yang membuat Indira meletakkan cangkirnya perlahan. Tatapannya lembut tapi penuh tekanan. Sebelum sempat ia menjawab, Vince yang sedari tadi sibuk mengaduk teh di depannya ikut bersuara.
“Menurut saja, Ze. Apa susahnya? Tidak pergi ke kantor beberapa hari tidak akan membuat perusahaanmu bangkrut.” Ujar nya yang membuat Zevian ingin kembali berkata namun baru setengah kata ucapan nya kembali di sela.
“Tapi, Dad...” Ucapan Zevian langsung dipotong oleh Dira yang mengangkat tangannya tegas.
“Sudahlah, tidak usah banyak komentar. Ganti pakaianmu dan diam di rumah,” ujar Dira dengan nada mutlak, jelas tidak ingin dibantah.
Zevian menghela napas panjang, lalu berbalik dengan langkah berat. Raut kesalnya terlihat jelas saat ia menaiki tangga menuju kamar di lantai atas. Suara gerutuannya terdengar samar, menyiratkan kekesalan yang belum sempat ia luapkan. Tak lama kemudian, suara pintu dibanting cukup keras menggema dari atas.
“Anak itu…” gumam Dira, menggeleng pelan. Vince yang duduk tak jauh darinya sontak menoleh ke arah lantai atas, seolah ingin memastikan bahwa pintu kamar anak sulungnya benar-benar tertutup.
“Mirip seperti kamu, kan? Pemarah dan gila kerja,” ujar Dira sembari menyesap teh hangatnya. Tatapan matanya lurus ke depan, tak berniat menyembunyikan sindiran halus itu.
“Aku tidak pernah seperti itu,” sanggah Vince cepat, tidak terima disebut begitu oleh istrinya.
“Dulu… sekarang memang sudah mulai berkurang,” balas Dira santai, kemudian berdiri sambil merapikan pakaian tidurnya.
Vince hanya terdiam, membiarkan istrinya melangkah meninggalkannya sendiri di ruang makan. Ia menatap kosong ke arah tangga, lalu mendesah pelan—mungkin sedikit mengakui, dalam diam, bahwa ucapan Dira tidak sepenuhnya salah.
•••
Di tempat lain, Nayara yang akhirnya selesai dengan urusannya di kampus bersiap untuk pulang. Sedari tadi, ponselnya terus bergetar menandakan ada panggilan masuk. Ia memang sengaja menyalakan mode senyap agar tidak terganggu selama berada di area kampus. Namun, setelah semua selesai, ia justru lupa pada ponselnya karena terbawa euforia.
Kini, Nayara dalam perjalanan menuju tempat ulang tahun sahabatnya. Ia pergi bersama Vina, sebab Razka tidak bisa ikut akibat urusan keluarga.
Begitu sampai di tujuan, keduanya turun dari mobil dan menatap bangunan besar yang berdiri di hadapan mereka. Sekilas bangunan itu terlihat seperti villa modern dengan halaman luas dan pagar tinggi, namun tidak sepenuhnya terlihat seperti hunian biasa.
“Ini tempatnya?” tanya Nayara sembari menutup pintu mobil dan mengamati lingkungan sekitar. Vina ikut meneliti bangunan di depan mereka.
“Iya, Selvi sendiri yang memberikan alamat ini tadi,” jawab Vina sambil mengecek ponselnya sekali lagi.
“Coba hubungi dia. Katanya ini rumahnya, tapi... kenapa lebih mirip villa, ya?” Nayara menoleh ke arah Vina, masih menyipitkan mata menilai bentuk bangunan itu. Vina segera menelpon Selvi. Nada tunggu terdengar sebentar sebelum suara di seberang menyahut.
“Halo?” sahut Selvi di ujung sambungan telepon.
“Selvi, kami sudah di depan. Ini benar tempatnya?” tanya Vina sambil menurunkan kaca mobil. Suaranya terdengar sedikit ragu. Di sekeliling mereka hanya tampak rumah-rumah dengan desain klasik dan jalan kecil yang tenang, kontras dengan hiruk-pikuk ibu kota.
“Iya, itu rumah keluarga pamanku. Aku pinjam untuk acara ini. Masuk saja, kalian tidak nyasar kok sudah banyak orang di dalam. Maaf kalau sempat membuat bingung!” ujar nya sembari terkekeh pelan dari sebrang telepon.
“Baiklah... kami cuma agak heran saja. Tidak menyangka ada tempat setenang ini di tengah padatnya ibu kota,” ujar Vina sambil tersenyum. Suaranya disambut tawa ringan dari Selvi.
“Iya, sengaja. Tadinya aku mau sewa tempat di gedung, tapi kan ini cuma acara kecil. Aku tidak terlalu suka pesta yang heboh-heboh seperti itu. Aku lebih nyaman party kecil bareng sahabat-sahabatku,” jawab Selvi dengan suara ceria, lalu menambahkan, “Ayo masuk, aku tunggu di depan.” lanjut nya.
“Baiklah, kami masuk sekarang,” ujar Vina tanpa memutus sambungan. Ia melangkah keluar, diikuti oleh Nayara yang menggenggam ponselnya tanpa suara.
Begitu mereka sampai di depan pintu, Selvi langsung menyambut dengan pelukan hangat pada Vina. Beberapa teman lain tampak berdiri di belakangnya, tersenyum menyambut kedatangan mereka. Nayara hanya berdiri di samping Vina, sedikit canggung, apalagi karena ia tidak begitu mengenal Selvi maupun teman-temannya yang lain. Selvi memang teman satu jurusan Vina, bukan dari jurusannya sendiri. Ia datang hanya karena Vina memintanya untuk menemani.
“Oh iya,” ucap Vina sambil menarik Nayara sedikit ke depan. “Ini sahabat dekatku, Nayara. Semua orang biasa panggil dia Naya.” lanjut nya yang membuat Selvi mengalihkan pandangan ke arah Nayara dan langsung mengulurkan tangannya dengan ramah.
“Halo, Naya. Aku Selvani, tapi biasanya dipanggil Selvi. Terima kasih sudah berkenan datang ke acara kecilku... yang sebenarnya lebih mirip kumpul santai sih, bukan pesta,” ujarnya diselingi tawa kecil.
“Terima kasih kembali. Aku senang bisa bergabung,” balas Nayara sembari menjabat tangan Selvi dengan sopan. Senyuman tipis terukir di wajahnya.
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah. Interiornya sederhana namun elegan, pencahayaan hangat membuat suasana terasa akrab dan nyaman. Namun langkah Nayara dan Vina sempat terhenti sejenak saat melihat botol-botol alkohol tersusun rapi di atas meja buffet di ruang tengah. Jumlahnya cukup banyak, dan jelas menjadi bagian dari perayaan malam itu.
Vina hanya menoleh sekilas pada Nayara tanpa berkata apa-apa. Nayara sendiri tetap tenang, meskipun dalam hati ia merasa sedikit tidak nyaman. Ia memang tidak menyukai alkohol, bahkan enggan bersentuhan dengannya. Namun, demi menghormati Selvi sebagai tuan rumah, ia memilih untuk diam dan tetap bersikap sopan.
Nayara ikut melangkah di belakang Vina yang mengikuti Selvi menuju sebuah ruangan besar di sisi lain rumah. Ruangan itu lebih menyerupai aula dengan pencahayaan temaram dan lampu gantung kristal bergaya modern yang memantulkan cahaya berwarna-warni ke seluruh sudut. Di beberapa titik langit-langit, terpasang neon strip dan disco light—lampu berputar yang biasa ditemukan di bar atau klub malam—menambah kesan glamor dan sedikit asing di mata Nayara.
Begitu mereka masuk, suara musik menghentak langsung menyergap telinga. Bass yang kuat menggema di dada, membuat Nayara sedikit mengernyit. Selvi membawa mereka ke sudut ruangan yang agak lebih tenang, di mana sebuah sofa besar berbentuk L telah tersedia. Beberapa orang lain juga tampak duduk atau berdiri sambil mengobrol, sebagian bahkan sudah memegang gelas berisi minuman berwarna-warni.
“Kalian tunggu dulu di sini, ya. Aku masih nunggu beberapa teman lagi,” ujar Selvi sedikit berteriak agar suaranya terdengar di tengah dentuman musik yang memenuhi ruangan.
“Iya,” balas Vina singkat, dengan ekspresi yang mulai menunjukkan ketidaknyamanan.
Selvi tersenyum, lalu berjalan pergi sambil melambaikan tangan ringan ke arah mereka. Ia kembali menyatu dengan kerumunan, menyambut tamu-tamu lain yang baru datang. Sementara itu, Nayara dan Vina hanya duduk berdua di sofa tersebut, dikelilingi suasana pesta yang tidak mereka duga sebelumnya.
Setelah beberapa saat, Nayara akhirnya membuka suara. Ia harus sedikit meninggikan nada agar bisa terdengar.
“Vin... kenapa tempatnya seperti ini?” tanyanya, memandang sekeliling dengan sorot mata yang tidak bisa menyembunyikan kebingungan dan ketidaknyamanannya.
“Aku juga tidak tahu jika acaranya akan seperti ini,” jawab Vina, mendekat sedikit agar bisa bicara lebih jelas. “Dia tidak pernah bilang akan seperti ini. Setahuku, Selvi juga bukan tipe wanita yang suka minum atau berpesta seperti. Aku juga terkejut, Nay.” lanjut nya sembari menarik napas perlahan. Ia benar-benar tidak menyangka acara ulang tahun sahabat jurusannya akan berubah seperti pesta malam ala anak gaul ibu kota. Ia pikir mereka hanya akan berkumpul, makan, ngobrol santai seperti biasanya—bukan pesta dengan lampu remang, musik bising, dan botol-botol minuman keras.
Nayara menunduk sejenak, menatap jemarinya yang saling menggenggam di pangkuan.
“Aduh... kalau tahu akan seperti ini, mungkin aku tidak akan ikut,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Ucapan itu hanya keluar sebagai bisikan hati, lebih untuk dirinya sendiri ketimbang untuk Vina.
Cukup lama mereka menunggu dalam ruangan yang semakin sesak oleh dentuman musik dan aroma alkohol yang menyengat. Nayara mulai resah, sesekali melirik ke arah pintu seolah berharap acara segera dimulai atau Vina mengajaknya pulang. Namun, harapan itu buyar ketika tiba-tiba tiga orang pria masuk ke dalam ruangan, berjalan berdampingan bersama Selvi.
Kehadiran mereka sontak membuat Nayara dan Vina saling pandang dengan ekspresi terkejut. Tidak ada yang memberi tahu sebelumnya bahwa akan ada pria dalam acara ini.
“Vin... maaf, ya. Agak lama menunggu karena sahabatku yang lain belum datang. Kenalkan, ini Jason, Kelvin, dan Satya. Mereka sahabatku semasa SMA, aku memang sengaja mengundang mereka,” ujar Selvi menjelaskan sambil tersenyum santai. Musik di ruangan itu telah sedikit dikecilkan, sehingga mereka tidak perlu lagi berteriak untuk saling mendengar.
“Iya...” jawab Vina singkat, dengan suara yang terdengar canggung. Ia semakin merasa tidak nyaman, terlebih melihat raut wajah Nayara yang semakin menegang.
“Aku Satya,” ucap salah satu pria sambil menyodorkan tangan ke arah Nayara. Lelaki itu berpostur tegap, mengenakan kemeja hitam yang digulung hingga siku, dengan jam tangan mahal yang tampak mencolok di pergelangan kirinya. Nayara menatap uluran tangan itu dengan ragu, namun tetap menjabatnya sekilas demi sopan santun.
“Nayara,” jawabnya singkat, lalu segera menarik kembali tangannya. Namun, Satya menahan sejenak genggaman itu dengan senyum menggoda, membuat Nayara menarik tangannya dengan gerakan yang lebih tegas.
“Aku Jason,” ujar pria lain sambil meliriknya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia juga mengulurkan tangan, namun Nayara hanya mengangguk singkat sebagai balasan, menahan rasa tidak nyaman yang mulai menggelayuti dadanya. Vina pun melakukan hal yang sama—cukup dengan anggukan kecil tanpa ada kontak fisik.
“Kalian tunggu di sini dulu, ya. Aku akan menyambut teman-teman yang lain,” ucap Selvi seraya beranjak pergi, meninggalkan Nayara dan Vina berhadapan langsung dengan ketiga pria tersebut.
Mereka duduk saling berhadapan, Nayara dan Vina di sisi kiri sofa, sementara ketiga pria itu mengambil tempat di sisi seberangnya. Ketegangan di antara mereka mulai terasa, terlebih dengan sorotan mata pria-pria itu yang tak henti menatap Nayara dengan cara yang tidak menyenangkan.
“Kalian mahasiswa jurusan hukum juga?” tanya Satya sembari menyandarkan punggung ke sofa dan menyilangkan kaki, berusaha terlihat santai.
“Temanku bukan. Dia dari jurusan kedokteran,” jawab Vina sembari menggenggam tangan Nayara, mencoba memberi rasa aman bagi sahabatnya.
“Temanmu cantik sekali,” ujar Satya, matanya masih mengamati Nayara dengan pandangan yang tak ramah. Tatapan itu tajam dan seolah menguliti, membuat Nayara ingin segera pergi dari tempat itu.
“Ya... kalian berdua cantik. Bahkan yang punya acara pun kalah,” timpal Jason sambil tertawa ringan. Ia mengambil botol minuman yang ada di meja kaca depan mereka, menuangkannya ke gelas, lalu menyodorkannya ke arah Nayara.
“Mari minum,” ucapnya, seolah itu adalah hal biasa dan sopan.
“Aku tidak minum,” jawab Nayara tegas, menolak tawaran tersebut. Ucapan itu sontak mengundang tawa dari ketiga pria di hadapannya.
“Eh... menarik,” sahut Jason sambil mengangkat gelas itu dan meminumnya sendiri, ekspresinya seperti sedang menertawakan sesuatu yang aneh.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki kembali terdengar dari arah pintu. Selvi datang bersama beberapa tamu lain—dua orang pria dan satu orang wanita. Vina langsung mengenali wanita itu sebagai teman satu angkatan, namun ia tidak mengenal kedua pria yang menyertainya. Mereka berjalan mendekat ke arah tempat Nayara duduk, dan kembali menyapa dengan ekspresi santai.
“Ini yang terakhir...” ujar Selvi sembari terkekeh kecil, menandakan suasana yang mulai memanas namun tetap terkesan santai.
“Vina... kamu juga datang,” sapa seorang wanita yang baru saja tiba bersama Selvi dan dua pria lainnya.
“Iya, Laras,” jawab Vina sambil meneliti penampilan teman satu jurusannya itu. Laras tampak begitu terbuka dengan mengenakan rok pendek dan crop top tanpa cardigan atau penutup lain, sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Penampilannya yang berani ini kontras dengan pakaian awal Selvi saat kedatangan mereka, yang hanya mengenakan celana dan kaos sederhana. Kini, entah sejak kapan, Selvi juga berganti menjadi pakaian yang jauh lebih terbuka.
“Vin... kenapa bengong?” tanya Selvi, menyadarkan Vina dari lamunannya.
“Akh... iya, aku tidak apa-apa, hanya teringat sesuatu,” jawab Vina dengan nada sedikit gagap.
“Steve ingin berkenalan,” ujar Selvi sambil tersenyum manis.
“Akh, iya... aku Vina,” balas Vina sambil berdiri dan menjabat tangan yang diulurkan oleh pria bernama Steve itu.
“Ini Riko,” lanjut Selvi, sekali lagi memperkenalkan orang yang baru datang. Nayara hanya mengangguk dan sedikit menunduk sebagai tanda menghargai perkenalan yang tidak terduga itu, tanpa menjabat tangan.
“Eumm... sebelum acaranya mulai, kalian bisa tidak ganti pakaian dulu? Aku rasa pakaian kalian kurang cocok,” ujar Selvi dengan nada yang sedikit memerintah, membuat Nayara dan Vina saling pandang penuh tanda tanya.
“Maaf?” kali ini Nayara yang angkat bicara, nada suaranya menunjukkan keheranan.
“Iya, mungkin kalian bisa pakai pakaian yang sudah aku siapkan, seperti Laras, supaya lebih nyaman saja,” jelas Selvi, sambil menyinggung pakaian terbuka Laras yang baru saja datang.
“Kami sudah nyaman dengan pakaian kami,” sela Vina dengan tegas, jelas menolak untuk harus mengganti pakaian menjadi serupa Selvi dan Laras yang sangat terbuka.
“Akh, baiklah... baiklah... ayo mulai saja kalau begitu,” kata Selvi, mengalihkan pembicaraan. Ia kemudian mengambil kue yang telah disiapkan di sudut ruangan. Bersama-sama, mereka menyanyi dan mengucapkan harapan untuk perayaan kecil tersebut.
Acara pun berlanjut dengan permainan tebak-tebakan, di mana yang salah harus menerima hukuman ringan. Suasana mulai cair ketika mereka mulai minum-minum dan berjoget mengikuti alunan DJ yang kembali menggema keras di ruangan itu.
Hanya dua orang yang tampak tidak menikmati suasana riuh tersebut, yaitu Vina dan Nayara. Keduanya sama sekali tidak minum dan tidak terbawa euforia yang sedang melanda seisi ruangan.
Waktu berjalan terus, dan semua orang tampak semakin larut dalam minuman hingga beberapa pria itu mulai terlihat mabuk berat akibat alkohol yang mereka konsumsi terlalu banyak. Terlebih lagi, Laras—wanita yang sudah datang sebelumnya—penampilannya semakin tidak karuan dan sulit dikenali. Di dalam ruangan tersebut, waktu seolah berhenti bagi Nayara. Ia sendiri tidak tahu sudah jam berapa saat itu, hanya merasa bahwa mereka sudah lama berada di sana. Namun, ia tidak bisa melihat ponselnya karena memang tertinggal di mobil, begitu juga dengan Vina yang memang sengaja meninggalkan ponselnya di mobil karena awalnya mengira acara ini tidak akan berlangsung lama.
“Vin... apa kita pulang saja?” tanya Nayara dengan suara cemas kepada Vina yang duduk di sampingnya, sama-sama merasa tidak nyaman menyaksikan lima pria itu berjoget bersama Laras dan Selvi.
“Aku juga berpikir begitu... aku tidak nyaman di sini. Kalau orang tuaku tahu aku datang ke acara seperti ini, bisa-bisa mereka marah besar,” jawab Vina, suaranya sedikit meninggi karena musik yang memekakkan ruangan.
“Itu benar, apalagi aku... Papa bisa menghukum ku kalau tahu aku di sini,” kata Nayara, suaranya bergetar dan raut wajahnya menunjukkan kegelisahan yang mendalam.
“Maaf ya... aku pikir acaranya tidak akan seperti ini. Apalagi kamu akan menikah dalam waktu dekat,” ujar Vina dengan penuh penyesalan, merasa bersalah karena telah mengajak Nayara datang ke acara ulang tahun sahabatnya yang ternyata jauh dari ekspektasi.
“Bukan salahmu... mungkin memang temanmu itu yang salah,” balas Nayara dengan suara lemah. “Apa kita harus izin dulu?” tanyanya ragu-ragu.
“Tidak usah... ayo pergi saja. Mereka sudah terlalu mabuk, pasti tidak akan merespons,” kata Vina sambil bangkit dan menarik tangan Nayara untuk segera keluar dari ruangan itu.
Namun, saat mereka hendak membuka pintu, tiba-tiba salah satu pria yang bernama Satya—yang sudah sangat mabuk—berjalan sempoyongan ke arah mereka. Tanpa peringatan, pria itu tiba-tiba merangkul Nayara dari belakang. Nayara sontak berontak, matanya membelalak penuh ketakutan dan kepanikan, menolak perlakuan kasar dari pria tersebut. Vina pun segera sigap membantu, berusaha melepaskan Nayara dari cengkeraman Satya.
“Lepaskan teman ku, gila...” teriak Vina sambil menarik tubuh pria itu dengan sekuat tenaga. Nayara sudah menangis tersedu-sedu, ketakutan dan panik bercampur menjadi satu, membuatnya hampir kehilangan kendali.
“Vin... tolong aku...” pinta Nayara dengan suara tersendat, terus berusaha melepaskan diri dari pelukan pria yang semakin mengeras. Namun, Satya justru makin beringas, berusaha mencium Nayara dengan paksa.
Kekuatan Nayara dan Vina jelas tak sebanding melawan pria berotot itu. Meski keduanya sudah berusaha keras, mereka tetap kalah tenaga. Sementara itu, Selvi dan yang lainnya tampak asyik menari mengikuti alunan musik DJ yang semakin keras. Suara tawa dan musik yang riuh seolah menutupi umpatan Vina dan isak tangis Nayara.