Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Rencana Pulang Diam-diam.
"Kamu kenapa, Dam?" Agung bertanya pada Saddam yang nampak termenung duduk di tepi ranjang.
Viko ikut menatap Saddam. "Iya, sejak tadi aku lihat sering melamun. Ada apa, Dam? Apa kamu melihat sesuatu?"
"Yap, benar!" Diro malah yang menyahut dengan semangat.
Viko dan Agung menoleh pada Diro. "Ada apa Diro. Tumben kau yang penakut ini begitu percaya diri?" Viko senyum meledek.
"Cih! Dikasih tahu juga." Diro segera duduk di sebelah Saddam. Menepuk pundak pemuda itu. "Cerita Dam, sekarang sama mereka," kata Diro.
"Ada apa, Dam?" Viko dan Agung duduk mendekat, menghadap ke arah Saddam yang duduk di tepi ranjang.
"Aku tadi terjebak di dalam kamar nomor tiga."
"Apa?" Viko dan Agung terkejut, mereka saling lihat. Ya, mereka berdua tahu, Agung kesurupan saat melihat sesuatu di dalam kamar nomor tiga itu, bahkan juga pernah tiba-tiba terkurung di dalam kamar itu. Dan semalam pun Bu Anisa juga langsung pingsan setelah melihat isi dalam kamar nomor tiga.
"Menurutku ya .... " Diro memajukan tubuhnya pada Viko dan Agung, berbisik. "Saddam curiga pada Nek Raisyah dan Bang Irul."
Deg! Mereka berdua saling tatap.
"Kok bisa?" Viko bertanya juga dengan berbisik.
"Waktu aku terkurung, aku menemukan beberapa surat, surat minta tolong, surat tentang pemberitahuan kalau ada seseorang yang mempelajari ilmu hitam bertumbal nyawa seperti racun gaib gitu lah lebih kurang. Dia juga menulis jangan terlalu percaya pada orang baik yang dikenal." Saddam bercerita dengan suara yang sangat pelan, namun mereka bertiga bisa mendengar.
"Curiga sama nenek dan Bang Irulnya dimana? Maksudnya kamu, Nek Raisyah lah yang menuntut ilmu hitam itu?" Viko menatap Saddam.
Saddam mengangguk. "Ya, karena salah satu tulisan di surat itu adalah tolong saya Nek. Dan kalian juga lihat 'kan? Kamar nomor tiga itu selalu aneh, masyarakat sekitar sini juga sering mencurigai nenek."
Viko, Agung dan Diro terdiam, melamun bersama.
"Jadi, menurutmu, nenek mempelajari ilmu hitam karena kesepian dan rindu anak bungsunya? Jadi, dia menarik jiwa anaknya begitu? Makanya gentayangan?" Viko menuangkan pikirannya.
"Aku pun jadi terpikir begitu, karena yang sering di lihat orang-orang 'kan anak bungsu Nek Raisyah 'kan?" Agung menyahut.
"Lalu, curiga sama Bang Irul dari mana, Dam?" Viko menatap Saddam penasaran.
"Bang Irul selalu muncul setiap Nenek Raisyah meminta bantuan, selalu ada bersama Pak Thalib, terus dia juga melihat sosok yang di air terjun itu. Aku juga pernah melihat dia berdiri di pohon mangga yang membuat kamu terkejut saat itu loh Gung. Saat sosok itu ada, bang Irul pasti ada, terus tadi aku juga melihat sosok itu di sekitar rumah Pak Thalib."
"Sosok itu juga ada tadi, Dam!" Diro melotot. Saddam mengangguk. "Kok kamu nggak bilang sih!" Diro meringis takut.
"Kan saat mau masuk, aku tanya, apa kamu melihat sesuatu, kamu cuma lihat sandal dan motor, jadi aku tak memberitahu, khawatir kamu ketakutan," ujar Saddam.
"Iya, juga ya Dam. Bang Irul banyak tahunya, ditambah kabarnya istrinya itu kan berteman dengan anak bungsu Nek Raisyah. Jadi, kemungkinan mereka berdua bekerja sama!" Agung menyahut.
"Lama sosok itu muncul di sekitar rumah Pak Thalib Dam? Berarti nggak aman juga dong Bu Anisa di sana?" Viko berkata.
"Lama. Semoga aja Bu Anisa aman deh."
"Gimana kalau kita usul sama Bu Anisa segera pulang deh Dam, desa ini nggak aman. Kita ke sini mau belajar di lapangan, bukan mau main hantu-hantuan!" Agung meringis.
"Iya, tapi kata orang-orang desa dan Pak Thalib kemarin juga kita nggak bisa pulang!"
"Gimana kalau kita coba! Kita temui Bu Anisa besok, bicara diam-diam, terus kita coba pulang naik bus. Gimana?" Agung memberikan usulan.
"Iya Dam, ayo kita coba!" Viko pun setuju dengan usulan Agung.
"Baiklah, mari kita coba dulu berempat diam-diam, tanpa Bu Anisa," sahut Saddam.
"Loh, kok kita berempat aja, Bu Anisa gimana?" Diro menoleh pada Saddam.
"Kita pergi gak perlu bawa barang, kita cukup bawa uang aja, kita 'kan cuma mau mencoba aja. Kalau berhasil itu bagus, kalau tidak, tidak ada yang tahu. Kalau misal kita gagal, kita jadi nggak enak kan, ntar Nenek sama Bang Irul bisa curiga sama kita! Terus, bawa Bu Anisa malah makin ribet, sekarang Bu Anisa tinggal di rumah Pak Thalib, setidaknya kalau keluar harus bicara dulu lah sama istri Pak Thalib atau pun Pak Thalib nya!" kata Saddam.
" Oh, iya juga ya!" Viko, Diro dan Agung mengangguk setuju.
"Baiklah, besok kita coba!" Mereka tampak bersemangat.