NovelToon NovelToon
Suami Pilihan Kakek

Suami Pilihan Kakek

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Nikahmuda / Cinta setelah menikah / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Alfiyah Mubarokah

"Ka-kakak mau apa?"
"Sudah kubilang, jaga sikapmu! Sekarang, jangan salahkan aku kalau aku harus memberimu pelajaran!"



Tak pernah terlintas dalam pikiran Nayla Zahira (17 tahun) bahwa dia akan menikah di usia belia, apalagi saat masih duduk di bangku SMA. Tapi apa daya, ketika sang kakek yang sedang terbaring sakit tiba-tiba memintanya menikah dengan pria pilihannya? Lelaki itu bernama Rayyan Alvaro Mahendra (25 tahun), seseorang yang sama sekali asing bagi Nayla. Yang lebih mengejutkan, Rayyan adalah guru baru di sekolahnya.

Lalu bagaimana kisah mereka akan berjalan? Mungkinkah perasaan itu tumbuh di antara mereka seiring waktu berjalan? Tak seorang pun tahu jawabannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 Posisi Kamu Salah

"Kamu sedang apa Gilang?" tanya Dermawan kepala sekolah SMA Brawijaya sambil menatap putra angkatnya dengan raut heran. Lelaki berusia paruh baya itu baru saja keluar dari ruangannya dan mendapati Galang berdiri agak lama di balik pintu, seakan sedang mengamati sesuatu.

Gilang yang sedari tadi memang berdiri di antara pintu ruang guru dengan ruang tunggu wali murid, sontak menoleh. Ia tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatian ayah angkatnya itu.

"Baru masuk dari luar Pah. Ambil ini," jawab Galang sambil menunjukkan sebuah paperbag berisi baju olahraga.

Dermawan menatap benda itu lekat-lekat. Raut wajahnya langsung berubah, setengah kesal setengah lelah.

"Apa Zia lupa lagi bawa baju olahraganya?" tanyanya dengan nada yang lebih mirip keluhan ketimbang sekadar pertanyaan.

"Iya Pah. Tadi Mbak Tanti yang nitipin pas aku mau berangkat. Katanya Zia buru-buru berangkat, jadi baju olahraganya ketinggalan di rumah," jelas Galang dengan nada sabar.

Dermawan menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan. "Kapan anak itu bisa lebih dewasa. Sampai kapan dia mau begitu terus," gumamnya lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri.

Meskipun nada itu terdengar jengkel, tetapi ada rasa sayang yang samar di dalamnya. Bagaimanapun Zia adalah cucu yang selama ini tinggal bersamanya sejak kecil.

"Ya sudah, sebaiknya langsung kamu kasih ke Zia. Lagi pula sebentar lagi kamu juga akan masuk kelasnya kan?" ucap Dermawan, mencoba mengakhiri pembicaraan dengan nada tegas.

Galang mengangguk patuh. "Iya Pah."

Dermawan kemudian berlalu menuju ruang kepala sekolah yang posisinya memang tepat di samping ruang tunggu wali murid. Sementara itu, Galang masih terdiam sejenak, memandang punggung ayah angkatnya. Ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, namun akhirnya hanya terkunci di dalam hati.

"Apa Papah tau kalau istri Pak Rayyan itu ..." Galang berhenti bicara. Pikirannya berputar liar, tapi akhirnya ia menghela napas panjang.

"Sudahlah, bukan urusanku," batinnya. Ia pun melangkah masuk ke ruang guru menuju mejanya.

Suasana ruang guru kala itu cukup ramai. Beberapa guru sedang mengetik laporan, ada yang sibuk mengoreksi tugas, sebagian lagi bercengkerama sambil menyeruput kopi.

"Dari mana Pak Galang?" sapa Rayyan, guru muda yang duduk tak jauh dari meja Galang, begitu melihatnya masuk.

"Dari parkiran Pak. Ambil titipan istrinya Kak Fahmi," jawab Galang sambil tersenyum ramah lalu duduk di kursinya.

Rayyan hanya mengangguk singkat, lalu kembali menekuni pekerjaannya. Tak lama kemudian, bel tanda istirahat usai berbunyi nyaring. Beberapa guru bergegas ke kelas masing-masing.

"Saya ke kelas dulu Pak," pamit Rayyan sambil merapikan buku-bukunya.

"Silakan. Saya juga mau ke kelas Zia," sahut Galang, bangkit dari kursinya dengan membawa paperbag itu.

Mereka berjalan keluar ruang guru bersama, tetapi saat sampai di lorong lantai dua, Rayyan berbelok ke arah kelas lain, sementara Galang tetap lurus menuju kelas Zia. Lorong itu ramai oleh suara murid-murid yang baru saja masuk kelas, derap langkah berbaur dengan suara tawa dan celoteh remaja.

Di dalam kelas Zia

"Ya ampun! Kok gak ada sih!" rutuk Zia sambil mengacak-acak isi tasnya. Jemarinya mengobrak-abrik tiap lipatan, tapi hasilnya nihil.

"Mungkin kamu lupa gak masukin Zia," ucap Lisa, sahabat karibnya yang duduk di sebelah.

"Seingatku, aku udah taruh tadi. Tapi kenapa sekarang malah hilang!" Zia memijat keningnya yang mendadak pening. Ia memang sering terburu-buru berangkat sekolah, dan kali ini rasa cerobohnya kembali menyusahkan dirinya sendiri.

Tiba-tiba pintu kelas terbuka. "Selamat siang, Anak-anak," sapa seorang guru yang baru masuk. Semua murid segera duduk di kursi masing-masing. Galang berjalan ke meja guru dengan tenang, lalu duduk.

Namun mata Zia menangkap sesuatu. Matanya menyipit ketika melihat paperbag di meja guru.

"Loh, itu kan paperbag buat baju olahragaku. Kok malah ada di tangan Om Galang?" batin Zia penuh tanda tanya.

"Zia!" panggil Galang tiba-tiba, membuat Zia kaget setengah mati.

"Iya Pak," jawab Zia cepat sambil menoleh.

Tatapan Galang yang tajam membuat Zia paham maksudnya. Ia berdiri dengan enggan, melangkah maju ke depan.

"Saya Pak?"

"Ini baju olahraga kamu. Tadi Mamamu yang titip ke saya," ucap Galang sambil menggeser paperbag ke arahnya.

Zia menerima paperbag itu dengan wajah sedikit cemberut. "Terima kasih Pak."

"Ingat, jangan lupa lagi lain kali," tegur Galang tegas.

Zia berdecak kesal dalam hati. Ia menatap Galang dengan sinis, meski tak berani menunjukkannya terlalu terang.

"Baik, Pak," jawabnya singkat.

"Sekarang kembali duduk," perintah Galang.

Zia pun kembali ke bangkunya, melempar paperbag itu di atas meja dengan sedikit kasar. Lisa yang duduk di sebelahnya langsung mencondongkan tubuh, berbisik geli, "Dia beruntung banget bisa diangkat jadi anak sama kakekmu! Bukan kamu yang beruntung punya om kayak dia."

Zia hanya mendengus, malas menanggapi.

"Baik Anak-anak, bersiap-siap. Kita akan ke lapangan basket," ujar Galang lantang sebelum meninggalkan kelas. Sementara itu, para siswa berhamburan menuju toilet untuk berganti pakaian olahraga.

"Yah kenapa mesti basket sih! Kenapa gak voli aja," keluh Tania sambil berjalan bersama Nayla dan Alika.

"Pak Galang udah bilang minggu lalu kalau hari ini penilaian basket. Lupa ya?" sahut Alika sambil membetulkan kerudung olahraganya.

"Ingat sih. Tapi aku gak bisa basket, cuma voli aja," rengek Tania.

Nayla dan Alika saling pandang lalu memutar bola mata. Mereka pun masuk ke toilet, bergantian mengganti pakaian olahraga. Suasana toilet ramai dengan celetukan khas siswi SMA ada yang sibuk berdandan tipis, ada pula yang masih bercermin sambil merapikan rambut meski sudah mengenakan jersey.

Di Lapangan Basket

Cuaca siang itu lumayan terik, meski angin semilir sedikit membantu menyejukkan suasana. Seluruh siswa sudah berkumpul di lapangan basket, berdiri berbaris rapi. Galang yang mengenakan kaus olahraga biru tua dengan peluit tergantung di lehernya tampak gagah.

Seperti kalian tau, Galang adalah anak angkat kepala sekolah sekaligus guru olahraga muda di SMA Brawijaya. Meski usianya lebih matang dibanding Rayyan yang lebih enerjik, pesona Galang tetap memikat. Statusnya yang masih single membuat banyak siswi diam-diam mengaguminya. Senyum ramah dan gaya bicara tenangnya membuat suasana latihan terasa lebih hidup.

"Baik, hari ini kita latihan shooting," ucap Galang lantang, suaranya terdengar tegas.

"Shooting adalah usaha memasukkan bola ke ring lawan. Ada dua teknik dengan dua tangan dan dengan satu tangan."

Ia lalu mencontohkan gerakan dasar. Tubuhnya tegap, kedua tangan memegang bola dengan mantap, lalu ia melompat ringan dan melempar. Bola meluncur mulus, jatuh tepat di ring. Murid-murid langsung bertepuk tangan kecil.

"Sudah jelas?" tanyanya kemudian.

"Jelas Pak!" jawab siswa serempak.

"Ada yang mau mencontohkan?" tanya Galang lagi. Namun kelas terdiam. Beberapa murid hanya menunduk, sebagian malah pura-pura sibuk merapikan kaus agar tak ditunjuk.

"Andre coba kamu," titah Galang.

Andre yang dikenal jago basket maju dengan percaya diri. Ia memutar bola di tangan, lalu melempar dengan gaya satu tangan. Blusss! Bola masuk sempurna. Beberapa siswi langsung berteriak histeris menyemangatinya.

"Bagus, kamu boleh duduk," ucap Galang sambil tersenyum.

Kemudian ia menunjuk murid lain. "Nayla coba kamu."

Nayla yang memang atletis maju. Ia menghadap ring, menatap lurus, lalu melempar dengan penuh konsentrasi. Blusss! Bola masuk sempurna juga.

"Bagus sekali. Silakan duduk," puji Galang.

Nayla tersenyum bangga lalu kembali duduk bersama sahabat-sahabatnya.

"Zia sekarang giliranmu," ucap Galang tiba-tiba, melihat Zia asyik mengobrol sendiri dengan Lisa.

"Kenapa aku sih!" protes Zia spontan, wajahnya cemberut.

"Jaga sikap Zia!" tegas Galang, nadanya jelas menunjukkan otoritas.

Zia menunduk, mengepalkan tangan kecilnya. Meski ia menyayangi pamannya itu, ia sering kesal karena diperlakukan sama dengan murid lain. Padahal di rumah, Galang bisa sangat lembut dan perhatian.

"Ayo cepat berdiri dan coba," titah Galang.

Dengan langkah malas, Zia mengambil bola. Ia berdiri menghadap ring, siap melempar. Namun baru saja ia mengangkat tangan, Galang menghentikannya.

"Posisi kamu salah," ucapnya.

Galang lalu berjalan mendekat, berdiri di belakang Zia. Tangannya dengan hati-hati menggenggam kedua tangan Zia untuk mengarahkan bola. Suasana mendadak hening. Murid-murid lain menahan napas, sebagian berbisik-bisik geli melihat kedekatan mereka.

Dari kejauhan, di koridor lantai dua, Dermawan memperhatikan pemandangan itu dengan senyum samar. Tangannya bersedekap, matanya berbinar.

"Aku sangat beruntung bisa mengangkat anak seperti Galang," gumamnya pelan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!