"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Namun, demi Melati, ia tersenyum tipis dan mulai bercerita.
Riko mendongeng dengan sangat ekspresif. Ia begitu menjiwai setiap kata, seperti seseorang yang sedang membacakan puisi.
Saat bagian lucu, ekspresinya ikut tertawa. Saat bagian sedih, ia menangis sungguhan—air matanya menetes, tulus dari hati seorang ayah.
Kamar perawatan kelas 3 itu dihuni delapan anak.
Awalnya, tirai-tirai pembatas masih tertutup. Tapi kini satu per satu terbuka.
"Srek..."
Tirai di sebelah dibuka. Lalu yang lain ikut-ikutan. Sekarang, semua mata tertuju pada Riko.
Ia terdiam. Ceritanya terhenti.
"Aku pasti dimarahi," gumam Riko dalam hati. Ia mulai merasa tak enak, takut mengganggu.
"Maaf... maaf, Bapak-Ibu," ucap Riko gugup sambil membungkukkan badan. Ia benar-benar merasa tidak enak hati.
Namun tiba-tiba...
"Om!" teriak seorang anak kecil dari ranjang seberang. "Kenapa nggak dilanjutin?"
"Iya, Pak. Kenapa tidak dilanjutkan? Dongeng Anda sangat menyentuh," sahut seorang orang tua pasien sambil tersenyum.
"Om, lanjutin!" seru anak lain, matanya berbinar penuh harap.
Riko terdiam.
"Apa...? Mereka suka dengan dongengku?" pikirnya, hati yang semula penuh cemas kini mulai hangat.
"Huaaaaaaaaa!"
Tiba-tiba terdengar tangisan seorang anak memecah keheningan ruangan.
"Kenapa kamu, Dek?" tanya orang tuanya panik, langsung menghampiri.
Anak itu mengusap air matanya dengan punggung tangan dan menunjuk ke arah Riko.
"Om itu... nggak lanjutin dongengnya..." ucapnya dengan suara serak dan sedih.
Ruangan hening sejenak, lalu terdengar suara tegas namun hangat dari salah satu orang tua pasien.
"Hey, anak muda... selesaikan dongengmu. Berani memulai, harus berani mengakhiri."
Riko tertegun. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.
Lalu perlahan, senyuman kecil mengembang di wajahnya.
Riko menghela napas panjang, lalu kembali duduk di sisi ranjang Melati. Ia menatap anak-anak yang menunggu dengan mata penuh harap, lalu mulai mendongeng lagi.
Perlahan, aktivitas di ruang perawatan terhenti.
Obrolan mereda, suara-suara sunyi. Semua mata tertuju pada Riko—lelaki sederhana yang kini berubah menjadi pendongeng sejati.
Ia bercerita dengan penuh keyakinan, seolah kisah itu nyata.
Padahal, ceritanya bohong. Tak masuk akal. Tapi begitulah pendongeng...
Sama halnya seperti penulis novel—menuliskan sesuatu yang tak pernah benar-benar terjadi, namun membuat pembacanya percaya seolah itu nyata.
Hampir satu jam riko mendongen dan semua anak sudah tertidur, banyak orang tua memberikan makanan dan minuman pada riko
Riko menoleh ke arah Melati yang sudah tertidur lelap, napasnya tenang, wajahnya damai.
"Mas, ibunya ke mana?" tanya seorang ibu-ibu yang duduk tak jauh darinya.
"Ibunya ke Saudi," jawab Riko singkat, seadanya.
Ia tidak ingin menjelaskan tentang Laras—tidak ada gunanya. Menceritakan kejelekan orang lain, hanya akan jadi bahan gibah nantinya.
"Oh, kasihan sekali, ya. Pasti kamu terlilit utang bank keliling, ya?" ucap ibu itu, dengan nada prihatin.
Astaga... Riko hanya bisa tersenyum pahit.
Ibu itu memang hanya menebak, tapi tebakan itu tidak jauh dari kenyataan. Dalam banyak rumah tangga, ketika utang menumpuk, sering kali sang istri memilih pergi ke luar negeri menjadi TKI. Wanita memang lebih mudah diterima kerja di luar negeri.
"Ya... begitulah," jawab Riko pelan, tak ingin memperpanjang pembicaraan. Ia terlalu lelah untuk menjelaskan. Yang ujung-ujungnya membongkar aib rumah tangganya yang berantakan
Tapi, bukannya berhenti, ibu itu malah terus bercerita ke sana kemari. Untung saja ia membawa cemilan, jadi Riko bisa mengunyah sambil mendengarkan, meski pikirannya entah ke mana.
"Bu, bisa bantu jaga anak saya sebentar, nggak?" tanya Riko sopan.
"Oh, boleh... Emang mau ke mana?" tanyanya, menoleh.
"Mau cari uang dulu, Bu. Mau ngojek," jawab Riko dengan nada tenang.
"Ya, ya... silakan. Anak kamu biar Ibu yang jaga," ucapnya sambil tersenyum.
"Lelaki memang harus bekerja... biar punya harga diri."
…
Tak jauh dari sana, di ruang perawatan kelas 1, Laras sedang dirawat setelah menjalani operasi pengangkatan rahim.
Doni, Ferdi, dan Rosidah menunggu dengan setia di sisinya.
Berbeda dengan ruang kelas 3 yang penuh sesak dan sederhana, ruangan ini hanya berisi dua brankar—dan satu lagi masih kosong. Udara terasa sejuk karena pendingin ruangan, dan di sudut ruangan, televisi menyala menampilkan tayangan hiburan.
Saat itu, Ferdi dan Rosidah duduk menonton televisi sambil sesekali tertawa kecil.
Sementara Doni duduk di samping ranjang Laras, menatapnya dengan penuh cinta dan perhatian. Tangannya menggenggam tangan Laras, seolah tak ingin berpisah lagi, cukuplah cinta mereka selama 4 tahun tertunda.
Ferdi sangat menyukai acara berita, terutama yang menayangkan perdebatan panas antara pendukung Prabowo dan Jokowi yang sedang bersaing dalam Pilpres. Ia duduk santai di kursi, matanya fokus ke layar televisi.
Tiba-tiba, berita mendadak berganti.
"Pemirsa, polisi berhasil mengamankan pelaku human trafficking di Pelabuhan Tanjung Priok. Kelima pelaku tertangkap saat hendak menyelundupkan sepuluh anak kecil ke Singapura..."
Gambar para pelaku pun ditampilkan di layar.
Jantung Ferdi langsung berdetak kencang.
Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Matanya membelalak.
Wajah-wajah di televisi itu... sangat ia kenal.
"Pak..." ucap Rosidah pelan, menunjuk ke arah televisi. "Itu kan orang yang mau adopsi Melati..."
Ferdi langsung tegang. Ruangan memang ber-AC, tapi keringat dingin mulai bercucuran dari pelipisnya. Tangannya gemetar, dan jantungnya berdebar keras.
"Gimana ini, Pak?" tanya Rosidah panik.
"Pak, cepetan balikin uangnya, Pak! Kalau uangnya masih ada di kita... bahaya, Pak! Bisa-bisa kita ikut ditarik ke kantor polisi," desak Rosidah dengan suara bergetar.
Ferdi tak menjawab. Ia hanya menatap layar televisi dengan wajah pucat—seperti baru saja melihat hidupnya di ujung kematian,,”berakhir sudah berakhir” pikirnya dalam hati
Ketegangan melanda Ferdi.
Uang seratus juta bukan jumlah yang sedikit—sayang sekali kalau harus dikembalikan. Tapi jika tidak dikembalikan, dan polisi mulai melakukan penyidikan, mereka pasti akan menelusuri aliran dana... dan aliran itu jelas mengalir ke rekening pribadinya.
Ferdi menggigit bibir. Matanya gelisah.
Kalau uangnya dibalikin sekarang, setidaknya aku bisa berdalih. Bilang aja aku nggak jadi jual anak... bilang aja aku tertipu dan aku sadar. Lagipula, Melati juga masih ada, belum sempat dibawa pergi.
Pikiran Ferdi berputar cepat, mencari solusi, menimbang untung dan rugi. Ia gelisah, tak bisa duduk tenang.
Rasanya seperti berjalan di atas api—salah langkah sedikit, habis.
"Pak, gimana ini?" tanya Rosidah, nada suaranya mulai kesal karena Ferdi hanya diam.
"Ibu, jangan bikin aku tambah ruwet aja!" balas Ferdi dengan nada tinggi, emosinya mulai meledak.
Tiba-tiba ponsel jeleknya berdering nyaring.
Nada deringnya sumbang, membuat suasana makin panas.
"Tit... Tit... Tit..."
Nama yang muncul di layar: Arsyad.
Ferdi menatap layar ponselnya dengan wajah tegang.
Jantungnya kembali berdebar kencang. Masalah belum selesai, sekarang datang lagi masalah lain.
Tanpa sengaja, tangan Ferdi menyentuh tombol hijau—panggilan tersambung.
Suara dari seberang langsung menghantam telinganya, tajam dan penuh ancaman