NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Manis Strawberry

Bagas berdiri di depan dengan mikrofon kecil yang nyaring.

“Selamat pagi, peserta kemah SMA Bintang Nusantara!” soraknya. “Karena kalian semua keliatan ngantuk, kita mulai perjalanan ini dengan... karaoke!”

Satu dua orang mulai bersorak.

"Pak Raden kayaknya excited banget," bisik Nadia.

Aruna melirik Bagas yang memainkan mikropon. "Emang dasarnya dia nggak bisa diem," jawab Aruna sambil nyengir kecil.

Bagas memencet remote dan musik intro diputar—lagu legendaris Sheila on Seven. Beberapa langsung berseru.

“Lagu lawas banget!” celetuk Nadia.

“Tapi lucu,” Aruna tersenyum.

Bagas menyanyikan bagian pertama dengan suara yang cukup... unik. Beberapa murid tertawa, yang lain malah ikut bernyanyi. Suara sumbangnya tidak mengurangi semangat.

Nadia memandang Aruna. “Eh, kamu senyum-senyum dengerin dia.”

“Memangnya nggak boleh?” Aruna pura-pura membalikkan badan ke jendela.

“Boleh aja... cuma kamu bilang dia lucu. Biasanya kamu bilang dia nyebelin.”

Aruna terkesiap sebentar, lalu nyengir.

“Ya... lucu dan nyebelin itu beda tipis,” bisiknya.

Bagas melempar mikrofon ke bangku tengah. Siswa lain melanjutkan lagu. Kini bagian reff, dan seluruh bus bersorak serempak:

“Dan aku ingin engkau tahu... diriku di sini menunggu dirimu...!”

Aruna dan Nadia ikut bernyanyi.

Sesekali Bagas melirik ke arah bangku tengah, di mana Aruna duduk sambil menatap ke luar. Saat Aruna menoleh dan pandangan mereka bertemu, Bagas mengangkat alis. Aruna hanya menggeleng pelan.

Perjalanan masih panjang. Tapi suasana di dalam bus sudah cukup hangat—bahkan sebelum api unggun dinyalakan.

Satu jam sejak bus melaju, suasana mulai hening. Murid-murid yang tadi ramai bernyanyi, kini mulai tertidur. Beberapa terdengar mendengkur pelan, beberapa bersandar ke jendela dengan hoodie menutupi mata.

Bagas berdiri perlahan dari kursi depan, berjalan menyusuri lorong bus, memastikan semua berjalan baik. Sesekali ia merapikan tas yang hampir jatuh dari rak atas.

Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari barisan tengah.

“Pak Bagas…”

Bagas menoleh. Aletta.

“Aku agak pusing,” katanya sambil memegang pelipisnya. Wajahnya pucat, atau sengaja dibuat seperti itu—Aruna tidak yakin.

Bagas mengangguk dan langsung melirik ke arah depan, “Bu Kamila! Aletta pusing.”

Bu Kamila datang dengan botol minyak kayu putih dan menenangkan Aletta.

Aruna yang duduk beberapa bangku di belakang mereka, menyandarkan kepala ke jendela. Mulutnya manyun, tangan dilipat.

Nadia melirik dari samping, diam-diam tersenyum.

“Kamu ngambek?” bisik Nadia.

“Engga. Ngambek sama siapa?” jawab Aruna cepat. Terlalu cepat.

“Oke… tapi kayaknya kamu juga pusing, ya?”

Aruna mendongak dramatis. “Iya deh, aku pusing juga. Aku juga butuh obat.”

Nadia terkekeh. “Kamu ada-ada saja.”

Saat itu, Bagas berjalan kembali melewati barisan. Ia melirik sekilas ke arah Aruna. Aruna buru-buru duduk tegak, memasang wajah biasa—sedikit terlalu biasa.

“Semua baik di sini?” tanya Bagas datar.

“Biasa aja,” jawab Aruna.

“Kalau ada yang butuh apa-apa, bilang,” kata Bagas sebelum melanjutkan langkah ke kursi paling belakang.

Ia duduk sendiri. Memandang keluar jendela.

Dari tempatnya, Aruna bisa melihat refleksi wajah Bagas di kaca. Diam. Seperti menahan sesuatu.

Aruna membetulkan posisi duduknya. Nadia masih menatapnya seperti detektif.

“Kamu lagi nyimpen rahasia, ya?” bisik Nadia pelan.

Aruna mendesis. “Nggak.”

“Yakin?”

“Yakin banget.”

Aruna hanya melipat tangan dan menatap jendela.Perjalanan masih panjang. Dan drama kecil itu baru permulaan.

Bus berhenti perlahan di depan sebuah area wisata kebun strawberry. Udara dingin menyambut saat pintu bus terbuka. Sejauh mata memandang, hamparan tanaman hijau dengan buah merah menggoda menghiasi setiap jalur kebun.

Bu Kamila berdiri di depan pintu bus, suaranya lantang tapi bersahabat.

“Anak-anak, kita akan berhenti di sini selama dua jam. Silakan nikmati kebun strawberry ini. Nanti jam dua kita kumpul lagi di bus, ya!”

“Yeaaay!”

Sorak murid-murid langsung membahana. Beberapa melompat kecil saat turun, ada yang langsung merogoh ponsel dan kamera untuk mengabadikan momen.

Windi berjalan ke arah Aruna yang sedang menuruni tangga bus. Wajahnya kusut.

“Runa… tolong, jangan pernah doakan aku satu kursi lagi sama Aletta,” katanya sambil memijat tengkuknya.

Aruna menahan tawa. “Emangnya kenapa?”

“Dia kayak pangeran drama. Setiap lima menit, ganti posisi. Ngeluh pusing, lapar, takut angin. Aku cuma diam, tapi dalam hati teriak!”

“Makanya jangan suka duduk bareng yang bawa cuaca sendiri,” jawab Aruna sambil menepuk pundaknya.

Keduanya ikut barisan murid yang mulai masuk ke kebun strawberry. Para petugas kebun membagikan keranjang kecil untuk memetik sendiri buah yang mereka suka.

“Silakan dipetik secukupnya. Jangan diinjak tanamannya,” kata salah satu pemandu kebun ramah.

Aruna berjalan perlahan di antara bedengan tanaman, matanya mengamati buah mana yang paling matang. Ia mengambil satu, memutarnya pelan, lalu memasukkannya ke keranjang.

“Yang ini manis banget, coba deh,”

Suara yang familiar itu muncul dari samping.

Bagas.

Ia memegang strawberry berwarna merah terang, dan menyodorkannya ke arah Aruna.

Aruna melirik tajam. “Bapak guru jangan suka ganggu murid sedang berkebun.”

“Lho, saya kan cuma kasih rekomendasi rasa,” jawab Bagas enteng.

Aruna mengambil buah dari tangan Bagas. “Makasih, tapi saya bisa cari sendiri.”

Dari belakang, Windi yang memperhatikan cuma menggeleng pelan, lalu mundur perlahan. “Oke, dua orang ini butuh waktu.”

Aletta terlihat tak jauh dari situ, tengah berpose dengan teman-temannya sambil memegang keranjang strawberry. Sesekali matanya melirik ke arah Aruna dan Bagas.

“Eh,” gumam Aruna pelan. “Tuh kan, Aletta liatin terus.”

Bagas menoleh sekilas. “Ya biarin. Kita cuma lagi petik strawberry, bukan berantem di TV nasional.”

Aruna mengerutkan alis. “Kenapa kamu ke sini? Harusnya kamu jaga Aletta.”

Bagas tersenyum miring. “Aku guru di sekolah ini. Bukan pengawal pribadi siapa pun.”

Aruna menahan senyum, meski wajahnya sedikit memerah. Ia memetik satu strawberry besar dan memasukkannya ke keranjang.

“Kalau strawberry yang ini aku kasih buat kamu,” kata Aruna tiba-tiba, nada suaranya seperti bercanda—tapi matanya jujur.

Bagas tertawa. “Wah, terharu banget. Terima kasih, Putri Strawberry.”

Aruna berdecak. “Ih, jangan panggil aku gitu. Nggak lucu.”

“Tapi kamu manis,” kata Bagas santai sambil berjalan mendahului.

Aruna mematung sesaat. Hatinya mendadak kebas.

“…asem,” bisiknya sambil tertawa pelan.

“Runa! Foto dulu yuk!”

Suara Nadia memecah obrolan ringan Aruna dan Bagas.

Aruna menoleh, lalu memberi anggukan kecil. “Nad, tungguin ya!” katanya pada Bagas sebelum melangkah cepat menghampiri temannya.

Bagas hanya menatap kepergiannya, satu tangan masih menggenggam keranjang strawberry. Angin lembut menyapu dedaunan, menyisakan aroma segar dan sedikit getir di dadanya.

Sementara itu, Aletta dari kejauhan melihat kejadian tadi dengan pandangan tajam. Ia berjalan mendekat ke arah Aruna yang baru saja berpose bersama Nadia.

“Aku lihat kamu tadi sama Pak Raden.” Suara Aletta tenang, tapi nadanya tajam seperti pisau yang diselipkan di balik bunga.

Aruna mengangkat alis. “Iya, tadi dia muncul pas aku lagi petik. Dia cuma nyapa.”

Aletta mendengus, matanya tak mau lepas dari wajah Aruna. Ia masih ingat Bagas menolaknya tadi malam.

Nadia buru-buru menarik tangan Aruna. “Eh, ayo dong foto lagi. Sekali lagi sebelum kita balik ke bus.”

Aletta melipat tangannya, bibirnya mengerucut. Ia menoleh pergi tanpa bicara.

Satu pose ceria diambil dengan latar kebun yang cerah. Senyum Aruna di foto itu tampak manis, tapi hati Nadia mulai merasa sesuatu tak beres. Bukan karena pose—tapi karena sorot mata temannya sendiri.

Setelah sesi foto singkat itu, kelompok murid mulai berpencar. Windi sudah pergi ke arah utara kebun bersama beberapa teman laki-laki. Aruna memilih duduk di kursi bambu rindang bersama Nadia.

Keranjang kecil berisi strawberry hasil petikannya tergeletak di pangkuan Aruna. Ia memetik satu dan menggigit pelan.

“Manis,” gumamnya.

Nadia duduk di sampingnya, memutar satu strawberry di jari. Ia melirik Aruna dengan sudut mata.

“Runa…” tanyanya perlahan. “Kamu sama Pak Raden...”

Aruna menoleh cepat. “Apa?”

Nadia buru-buru menggeleng. “Nggak. Nggak apa-apa. Aku cuma... penasaran aja. Soalnya akhir-akhir ini kamu sering... ya, kelihatan... gimana gitu.”

Aruna menatap temannya dalam. Tapi ia tak menjawab.

Hanya senyum samar, lalu kembali memetik strawberry, dan menatap langit yang mulai teduh.

Di dalam dadanya, ada sesuatu yang belum sanggup ia beri nama. Tapi makin lama, makin sulit ia abaikan.

1
Oetami Ningtyas
kl terlalu lama up..bikin lupa ceritanya..kl cerita ga dilanjut..di sunting aja
Nda
menunggumu Thor..
Nda
lanjut Thor..
kalea rizuky
lanjut donk
kalea rizuky
aruna ne jual. mahal repot amat lu
kalea rizuky
aneh si alet ne nyalahin aruna salahin bapak loe yg tukang selingkuh
kalea rizuky
bagas suka aleta kah hmmm aneh
Nda
menunggu up nya Thor..
Nda
aku suka alur ceritanya Thor .. semangat💪,aku tunggu up selanjutnya..
Nda
luar biasa
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!