Menikahi Ayah Sahabatku

"Agam.. kau pulanglah dulu, tak perlu menungguku, aku ada janji dengan Seno sore ini"

Agam memang sering menjemput Rossa di lokasi syuting dan pemotretan sepulang dari kantor.

"kenapa kau tak bilang kalau ada janji dengan kekasihmu?"

"bagaimana aku mau bilang kalau janjinya itu dadakan"

"ya sudahlah.. itu kekasihmu sudah datang" ucap Agam sambil menunjuk dengan dagunya kearah seorang pria yang baru saja memasuki ruangan kemudian pergi meninggalkan Rossa

Saat berpapasan dengan Seno, tatapan dari sorot mata Agam begitu tajam. Seolah menunjukkan ketidaksukaannya.

"sayang.. kamu jemput aku? katanya ketemu di kafe aja?" ucap Rossa sambil mencium pipi kanan Seno

"ya gak papa sayang, tadi kan aku lewat sini jadi ya jemput kamu sekalian"

"sayang dia siapa?" tanya Rossa mengerutkan keningnya menatap wanita cantik yang berada di samping tubuh Seno

"oh ya kenalkan dia Claudya sepupu aku"

Rossa dan Claudya pun berjabat tangan dan berkenalan.

"sayang, apa Claudya akan ikut bersama kita?"

"iya.. karena Claudya baru datang di kota ini, jadi sekalian saja ajak dia jalan jalan sambil memperkenalkan tempat tempat di daerah sini. Apa kau keberatan?"

"tidak" jawab Rosaa singkat, padahal ia begitu kecewa sengan Seno, harusnya ini menjadi kencan indah mereka berdua. Tapi ini malah bertiga.

Akhirnya ketiganya asik bersenda gurau di cafe tersrbut. Tapi Rossa merasa ada yang aneh dengan sikap Claudya, ia terlihat begitu dekat dengan kekasihnya. Namun Rossa menepis pikiran aneh itu. Ah mana mungkin sesama sepupu ada something.

Setelah selesai makan, Seno mengantarkan Rosa pulang ke Apartemennya.

Seno menatap punggung Rossa yang baru saja keluar mobil dan menjauh memasuki area loby apartemen.

"aku tidak suka dengan sikap dia yang seenaknya menciummu didepanku" seru Claudya menatap Seno

"dia itu kan kekasihku? bukankah itu wajar? apa kau cemburu?"

"tentu saja"

"tenang saja, aku sangat mencintaimu.. aku menjadikan dia kekasih hanya ingin mendongkrak popularitasku di dunia hiburan sayang.."

"baiklah aku percaya"

...****************...

2 bulan berlalu, hubungan Farel dan Vania masih tetap sama, bahkan terlihat semakin menjauh.

Vania sudah tak mampu lagi mempertahankan hatinya, tak mampu mempertahankan semuanya. Ia lelah terus mengejar dan mengharakan cinta dari suaminya.

Kali ini ia benar benar ingin bertekat pergi dari Farel.

Vania masih ingat betul kejadian semalam saat ia diperlakukan semena mena oleh Farel. Betapa tak dihargainya ia sebagai seorang wanita.

Vania memang tak pernah memasak lagi, karena menurutnya percuma saja , toh nantinya juga gak bakal dimakan.

Entah mengapa kemarin Farel tidak pulang malam seperti biasanya, ia pulang sore.

"Vania... mana makanannya?"

"maaf mas, aku tidak memasak, aku pikir kamu pulang larut malam lagi dan tidak makan seperti yang sudah sudah"

"kamu pikir aku tidak lapar pulang kerja?" mendekati Vania yang semakin mundur dan terus mundur sampai tersudut ke dinding.

Farel memajukan wajahnya mencium kasar bibir Vania, ******* serta menggigitnya sampaisesikit bengkak dan berdarah. Farel tak menghiraukan rintihan dan kesakitan Vania.

Sebenarnya Farel mati matian menahan gejolaknya selama ini. Ia menuruti keinginan Angel yang mengatakan tak boleh menyentuh Vania. Namun ssmakin ia menahan semakin ia tersiksa. Dan ini puncaknya, ia tak bisa menahan lagi hasratnya.

maafkan aku Angel

Farel merobek kasar baju Vania. Menelusuri setiap lekuk tubuh indah istri kecilnya. Farel melakukannya diatas meja makan. Sungguh hal tragis bagi Vania.

Tak cukup sampai disitu, setelah mendapatkan pelepasannya, Ia menggeret kembali Vania dengan kasar ke kamar mereka. Menghempaskan tubuh kecil itu ke ranjang.

"karena kau tak membuatkan aku makanan, maka malam ini kau yang aku makan"

Farel kembali mencium kasar, membuat banyak sekali tanda merah di tubuh istrinya.

kenapa rasanya aneh? seolah olah ini adalah yang terakhir kali aku bisa melakukannya.. jujur, aku mencandui tubuh Vania.

Awalnya Vania memang berontak, tapi apalah daya, tenaganya tak akan mampu melawan Farel. Ia pasrah. Vania membiarkan Farel melakukan apa yang dia inginkan.

Vania hanya diam tanpa ekspresi. Dan itu membuat Farel murka. Ia lebih memilih Vania yang berontak, bukan pasrah seperti ini.

Farel semakin geram, ia semakin gencar dan kasar mencumbui Vania. Bahkan Farel melakukan penyatuannya dengan sangat kasar. Sebenarnya Vaniapun merasakan sakit dan ngilu di perut bagian bawahnya, ia takut janin yang ada dalam kandungannya kenapa kenapa.

Ia hanya dapat berdoa semoga janinnya baik baik saja dan kuat menerima perlakuan kasar dari ayahnya.

Lelah dengan pertarungan melawan birahinya, Farel puas, akhirnya terkulai lemas dan tidur disamping Vania yang terus menangis dalam diam.