“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 21
"Ayo lakukan! Patahkan semua tulang belulangnya! Tunggu apalagi? CEPATLAH!!" Lastri berteriak, suaranya menggelegar penuh kemenangan, sedetik kemudian ia terdiam kala melupakan hal penting.
"HENTIKAN!! TUNGGU!!” Kain jarik ia sing sing, lalu berlari mendekati sosok Pendi. Lastri menaikkan roknya hingga pinggang, dia mengambil sesuatu di saku androk (dalaman) berwarna putih.
“Kau tak boleh langsung mati. Harus merasakan apa itu namanya melewati hari dengan kehilangan semangat hidup, cacat, dan pusaka kebanggaan mu mati suri.” Ia cengkeram rahang Pendi, memasukkan tiga pil sekaligus. Lengannya menyanggah belakang leher pria sekarat itu, sebelahnya lagi mengambil air di wadah batok kelapa yang tinggal setengah, bekas minum Ayam.
Pil tersebut racikan Ni Dasah, terbuat dari bunga Terompet setan, bunga Jepun, dan jamur beracun. Kegunaannya melumpuhkan saraf, bila mengonsumsi lebih dari satu butir, bisa menyebabkan kehilangan sebagian memori, si penderita mengalami halusinasi parah. Sulit membedakan mana nyata dan ilusi semata.
Lastri mengguncang kepala Pendi, agar obat mujarab itu tertelan. Lalu menyeret tubuh lemas, sampai dimana ada batu sebesar paha yang sebagian tertanam di tanah.
Lastri berlutut, tanpa ragu menghantamkan kepala bagian belakang Pendi ke batu besar tadi.
Dug!
Dug!
Kemudian meraba bagian terkena batu, bibirnya naik keatas menyunggingkan senyum puas kala telapak tangannya terasa basah, lengket, berbau anyir.
“Sampai bertemu lagi Kang Pendi.” Lastri berdiri, telapak tangannya berwarna merah pekat, dipenuhi darah si pria yang dulu memperkosanya. “Kau tenang saja, kurang dari 15 menit … dua sahabatmu itu sampai sini!”
Lastri berbalik badan, berjalan dengan langkah tenang, matanya memandang sekelilingnya, di mana para Babi hutan sedang berpesta pora.
“Ayunkan lebih cepat langkah kakimu! Herman dan Gandi menuju ke sini!” Kunti memperingati, dia melepaskan hewan peliharaannya, memerintahkan Gareng membereskan jejak yang ditinggalkan oleh Lastri.
Babi hutan masih menikmati hidangan lezat berupa jagung dan juga singkong, makanan kesukaan mereka.
Hewan Gareng hijau dan hitam, hinggap di tubuh Pendi, menghisap darah mulai kering pada bagian belakang leher, lengan yang terdapat cap jari Lastri.
Deru suara mesin motor semakin keras terdengar. Herman dan Gandi berboncengan, mereka memasuki area kandang besar yang menampung puluhan Ayam jago.
“Ada apa ini?!” Gandi menurunkan standar motor, bergerak gesit mengeluarkan parang dalam sarung yang terikat di pinggangnya. Herman pun melakukan hal sama.
“PENDI!!” Herman tercengang melihat keadaan sahabatnya yang mengenaskan, lebih terkejut lagi mendapati binatang agresif bila bertemu manusia tengah menatap lekat ia dan Gandi.
“Lari!!” Gandi berseru, memasukkan lagi parangnya, berlari kencang menyelamatkan diri dari kejaran Babi. Sadar takkan menang bila memaksa melawan.
Kedua perjaka tua itu lari tunggang-langgang, berakhir naik pohon kapuk demi menghindari kejaran kawanan Babi. Dari atas mereka dapat melihat keadaan halaman yang porak-poranda.
Songkok ayam rusak, terbalik. Pintu gudang terlepas, paling miris keadaan Pendi tergeletak mengenaskan dikelilingi tanah basah yang mereka tebak itu darah.
“Kita tak boleh seperti ini, Pendi bisa mati kehabisan darah!” ucap Gandi, matanya memerah menahan amarah.
“Sepertinya ini bukan kebetulan semata, tapi di sengaja. Tak mungkin Babi hutan itu bisa sampai sini tanpa ada yang menggiringnya.” Herman mengepalkan tangan.
Gandi memotong ranting pohon kapuk. “Kau pegang ini! Biar ku potong pendek-pendek.”
Herman pun menurut, dia sudah paham apa yang hendak dilakukan temannya.
Kawanan babi yang sedang makan singkong, mulai terusik, lalu berlari saat dilempari kayu oleh Gandi dan Herman.
Kala dirasa keadaan aman, kedua pemuda tadi turun, berlari mendekati Pendi yang tidak sadarkan diri.
“Dia masih hidup, tapi denyut nadinya sangat lemah! Ini jelas ulah Ayam, tapi yang mana?” Gandi menatap sekeliling, tidak ada siapapun.
Semua Ayam jago sudah entah kemana. Mereka kesulitan menerka, dikarenakan setiap taji Ayam lomba itu diraut sedemikian runcing.
“Kita tak memiliki banyak waktu! Setiap detiknya sangat berharga. Ayo! Cepat bawa Pendi ke puskesmas!” Herman membopong temannya.
Gandi bergerak gesit, betul yang dikatakan Herman. Saat ini Pendi lebih membutuhkan pertolongan daripada mencari bukti kejahatan.
Tubuh lemas, berdarah, wajah mulai pucat itu di pangku layaknya hewan tangkapan hasil berburu. Gandi memacu motor yang sama seperti milik Pendi, dengan kecepatan penuh.
Jalanan belum di aspal serta bergelombang, membuat tubuh mereka berguncang. Debu berterbangan, cuaca kembali terang tidak jadi hujan.
Lastri tertawa riang, rasa sakit pada ulu hatinya sedikit terobati, melihat Pendi sekarat. Wanita itu menyusuri jalan setapak menuju ke suatu tempat.
Begitu sampai, Lastri membuka sandalnya, melangkah pelan dengan perasaan berkecamuk. ‘Bapak, putrimu berkunjung. Maaf, baru bisa main ke rumah barumu.’
Untuk pertama kalinya, Sawitri berziarah ke makam ayah angkatnya, pak Kasman. Pelupuk matanya berembun, setiap ayunan kakinya, dia terkenang masa silam.
Almarhum pak Kasman, sangat menyayangi Sawitri. Apapun akan dia lakukan agar putrinya selalu bahagia. Tak peduli tidak memiliki uang, saat gadis kecilnya minta jajan atau mainan yang harganya murah, tapi dikarenakan kehidupan mereka susah, tentu sulit mengabulkannya.
Maka, pak Kasman akan lebih gigih lagi dalam bekerja. Pulang dari menjadi buruh pemecah batu, dia kembali memanfaatkan tenaga yang tersisa menggarap ladang milik warga dengan upah tak seberapa.
Semua dilakukan demi menyenangkan sang putri dan istrinya. Sosoknya jarang sakit, tak pernah mengeluh, selalu sumringah menebarkan senyum ramah.
Namun, siapa sangka. Akhir hidupnya sangat tragis, mati dengan cara mengenaskan demi membalas para penjahat yang sudah memperkosa permata hatinya.
“Kau sudah selesai?” Bu Mina bertanya tanpa menatap Lastri. Tangan kanannya sibuk mengusap papan bertuliskan nama suaminya, sebelahnya lagi mengelus kepala Ayam yang duduk dengan kepala tertunduk, paruh mematuk gundukan tanah.
“Tadi, sewaktu Mamak jalan kesini … entah darimana datangnya, tiba-tiba Jalu mengekor.”
Sawitri berjongkok tepat disebelah Ayam jago yang tadi dia suruh pergi ke hutan keramat, tapi malah ikut berziarah. “Kau sangat merindukan tuan mu, ‘kah? Sama, aku juga. Kalau saja dia masih hidup, biasanya kita sering mengekorinya pergi memancing ya Jalu.”
Jalu seolah mengerti apa yang dikatakan oleh Lastri, dia menempelkan pipinya di atas tanah.
"Pak lihatlah! Darah ditanganku ini, milik dia yang dulu membekap mulutmu, menyiksa diriku!" Ia remas gundukan tanah, agar melebur dengan darah.
“Siapa yang menyangka ya Mak, takdir kita seperti ini. Kendatipun tidak berharta, dulu kita sangat bahagia hidup dalam kesederhanaan. Tak pernah tersandung masalah dengan warga, apalagi berbuat huru-hara, tapi sebagian dari mereka begitu keji, hanya dikarenakan nafsu bejat, nyawaku nyaris melayang, dan bapak pergi untuk selamanya.” Tak ada buliran bening berjatuhan, matanya kering tanpa berkaca-kaca.
Bu Mina tak jauh berbeda keadaannya. Hatinya menangis darah, tapi tidak dengan matanya.
Dua sosok wanita itu terdiam, pikiran mereka sama, tujuannya pun searah. Menghancurkan Bahri, Sugeng, beserta antek-antek nya, tanpa sisa.
Ibu dan anak itu beranjak, diikuti oleh Jalu. Langkah mereka terhenti, seketika tubuh bu Mina menegang, tatapan awas. Degup jantung berdebar kencang.
Lastri menahan napas, netranya melirik tajam. "Mak ...."
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....