Malam itu Rifanza baru saja menutup bagasi mobilnya sehabis berbelanja di sebuah minimarket. Dia dikejutlan oleh seseorang yang masuk ke dalam mobilnya.
Bersamaan dengan itu tampak banyak laki laki kekar yang berlari ke arahnya. Yang membuat Rifanza kaget mereka membawa pistol.
"Dia tidak ada di sini!" ucap salah seorang diantaranya dengan bahasa asing yang cukup Rifanza pahami. Dia memang aedang berada di negara orang.
Dengan tubuh gemetar, Rifanza memasuki mobil. Di sampingnya, seorang laki laki yang wajahnya tertutup rambut berbaring di jok kursinya. Tangannya memegang perutnya yang mengeluarkan darah.
"Antar aku ke apartemen xxx. Cepat!" perintahnya sambil menahan sakit.
Dia bukan orang asing? batin Rifanza kaget.
"Kenapa kita ngga ke rumah sakit aja?" Rifanza panik, takut laki laki itu mati di dalam mobilnya. Akan panjang urusannya.
"Ikuti saja apa kata kataku," ucapnya sambil berpaling pada Rifanza. Mereka saling bertatapan. Wajahnya sangat tampan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu setelah berpisah
Malik ngga nanggung nanggung membantunya.
Sudah ada mobil di bandara yang langsung mengantarkannya ke apartemen Rifanza.
"Kita tinggal di sini, tuan muda?" Pengawalnya menatap apartemen kelas dua sebelum kemudian beralih menatap Shaka.
Shaka hanya mengangguk. Kepalanya pusing, masih jetlag. Hampir sepuluh jam dia berada di dalam pesawat. Tubuhnya terasa agak hangat, mungkin karena kurangnya waktu istirahatnya. Pagi pun di Amsterdam sudah mulai terang.
Dia hanya berharap gadis itu masih tidur di apartemennya dan belum pergi kemana mana.
Tadi dia juga sudah mampir ke toko bunga yang dia lewati. Ada bunga tulip ungu di sana.
Pengawalnya hanya menahan keheranan dalam diam.
Dia mencoba menduga duga, hingga akhirnya pertanyaannya terjawab.
Ponsel Shaka bergetar. Dia melihat pesan dari Malik
Dia ngga pergi pergi. Tadi malam sepertinya dia pulang agak larut.
Shaka menatap sekitar lorong di dekat kamar Rifanza.
Dia mengutuk dalam hati melihat ada benda yang sangat kecil di salah satu sudut lampu tempel di langit langit apartemen.
Malik sampai memata matai Rifanza. Pasti dia meminta pengawalnya memasangnya saat membeli dua unit apartemen ini.
"Kamarmu di urutan ketiga." Shaka menyerahkan kartu akses pada pengawalnya.
"Ini kamar tuan muda?"
"Bukan. Kamarku di sebelah."
Jadi ini kamar siapa? Batinnya kepo. Mau bertanya lagi tapi wajah bosnya sudah tampak sangat kelelahan.
Dia pun berjalan pelan ke kamarnya.
Terdengar bosnya mengetuk pintu kamar yang dia ingin tanyakan.
Agak kama menunggu hingga terdengar suara pintu terbuka.
Pengawalnya melirik, bersamaan dengan dia menempelkan kartu aksesnya.
Tidak terlihat, tapi bosnya tampak masih berdiri beberapa saat sebelum kemudian masuk ke dalam kamar itu.
Dia sempat melihat bosnya mengulurkan bunga yang dia bawa. Harusnya dia sudah curiga ketika bosnya.mampir di toko bunga.
Nona Rifanza? tebaknya dengan jantung berdebar keras.
Pasti. Sudah dua kali dia melihat bosnya membeli buket bunga tulip ungu.
Bosnya ngga mungkin masuk ke kamar perempuan sembarangan. Cito mulai menganalisa. Keberangkatan mereka ke Belanda yang sangat mendadak.
Tuan muda minta tolong siapa, ya, untuk nyari nona Rifanza? Sama tuan besar Fazza atau tuan besar Devin?
*
*
*
TOK TOK TOK
Kemudian Shaka menyandarkan tubuhnya di dinding di sebelah pintu unit yang barusan diketoknya. Tangannya memijat kepalanya.
Cukup lama menunggu kemudian pintu terbuka.
Rifanza terpaku saat melihat sosok yang hampir sebulan ngga dilihatnya ada di sana.
Keduanya bertatapan.
Shaka tersenyum melihat dandanan asal asalan gadis itu. Terutama rambut khasnya yang dia cepol.
Kali ini bahkan lebih parah, sepertinya dia juga baru bangun tidur dan cuci muka. Mungkin juga baru sikat gigi.
Wajahnya masih terlihat mengantuk.
Shaka mengulurkan buket bunga tulip ungunya.
Rifanza yang wajahnya masih nampak kaget, ngga menyangka akan kedatangan laki laki itu sempat agak lama menyambutnya.
Ini dia yang datang?
"Selamat atas kelulusanmu."
Mata mereka masih saling menatap.
"Terimakasih."
"Aku datang saat kamu sidang, tapi agak telat. Kamu sudah pergi." Kepala Shaka terasa semakin berdenyut.
"Kamu.... datang?" Rifanza menatap laki laki itu ngga percaya.
"Ya. Harusnya kamu kasih tau kalo jadwalnya dimajukan," protes Shaka.
Rifanza menaikkan sedikit sudut bibirnya. Sekarang perasaannya sudah tidak sesemraut tadi malam sampai dia sulit memejamkan mata.
Mungkin karena laki laki ini mau datang? Hatinya seolah sudah tau.
Kenapa bisa begitu?
"Bunganya indah," ucap Rifanza salting setelah semua prasangka yang ada di pikirannya menemukan titik jawab. Pipinya tanpa dia sadari merona.
"Kamu suka?"
"Sangat."
Hening dan hanya diwarnai tatap dalam penuh rindu.
Dia merindukan laki laki ini? Jantungnya berdegup keras.
Kedatangan laki laki ini yang tiba tiba, juga buket bunganya dan juga sikapnya.... Salahkah dia berharap kalo laki laki ini juga memiliki perasaan yang sama?
Shaka membuka pintu apartemen Rifanza lebih lebar. Dia tau pengawalnya masih mengawasinya. Belim lagi Malik dengan kamera cctvnya.
Selain itu dia merasa kepalanya bertambah sakit, juga tubuhnya agak ngga menentu.
"Biarkan aku masuk, ya. Kepalaku pusing. Aku sepertinya sakit," ucapnya sedikit mengeluh.
Bagai terhipnotis, Rifanza mundur dan membiarkan laki laki itu memasuki kamarnya.
Kemudian Shaka menutup pintunya yang langsung terkunci otomatis.
Jantung Rifanza seperti mau meledak.
Dia tidak sedang bermimpi, kan? Dia sekarang malah membiarkan laki laki itu berdua saja dengannya di dalam kamarnya.
"Aku sakit," pelan Shaka berucap lagi. Seolah mengadu pada kekasihnya
Tubuh Rifanza makin membeku ketika laki laki itu menjatuhkan wajahnya di pundaknya.
Dia bahkan sampai terdorong hingga menyandar di dindingnya.
"Kamu panas....." Kulit bahunya dapat merasakan hawa panas yang menguar dari wajah Shaka yang menempel di sana.
Shaka hanya mengangguk.
Gesekan hidung laki laki itu membuat dia meremang.
"Aku kangen," bisik Shaka lagi.
Jantung Rifanza makin cepat berdetak. Dia pun dapat merasakan detak cepat jantung Shaka.
Saat ini dia tidak bisa bergerak.
Shaka mengangkat wajahnya dan jarak mereka kian dekat.
Shaka makin mendekatkan wajah mereka perlahan sedangkan dalam sisa keterkejutannya Rifanza hanya diam saja, mematung seakan menunggu eksekusi laki laki itu selanjutnya.
Bahkan matanya terpejam membuat Shaka tersenyum.
Shaka reflek menggendong Rifanza yang juga spontan mengalungkan tangannya pada leher laki laki itu.
"Kamarmu?"
Rifanza seperti anak kucing manis yang penurut. Dia menunjukkan dengan isyarat wajahnya tanpa membantah.
Shaka membawanya ke sana.
Ranjangnya masih terlihat cukup berantakan. Mungkin saat Shaka datang, Rifanza baru bangun tidur.
Shaka membaringkannya perlahan. Dia juga ikut berbaring di sana. Memeluknya erat seolah ingin mentransfer rasa panas di tubuhnya. Jasnya pun masih dia kenakan.
"Kamu panas banget....?" Rifanza dapat merasakan hawa panas dari wajahnya yang menempel.di leher laki laki itu.
Suhu tubuhnya memang sangat tinggi.
Shaka hanya mengangguk. Dagunya berada di atas kepala gadis itu. Pelukannya terasa lebih erat.
"Aku akan membelikanmu obat." Rifanza mencoba berpikir normal. Dia takut tidak bisa mencegah hal hal yang mungkin akan mereka sesali nantinya.
"Tidak perlu. Obatku hanya dirimu."
DEG DEG DEG
Rifanza tau dia sudah ngga bisa lari lagi.
"Kenapa harus aku?" Dia teringat perempuan perempuan yang selalu berada di dekat Shaka dan selalu menci umnya.
"Jangan tolak aku hari ini. Hargai pengorbananku yang habis meeting langsung naek pesawat ke sini. Aku sama sekali belum beristirahat Sekarang aku sakit. Jangan khawatir, aku ngga akan aneh aneh kalo bukan kamu yang minta. Aku hanya ingin memelukmu. Memelukmu, Rifanza."
Shaka seperti meracau, mungkin karena panas tubuhnya yang sangat tinggi.
Pelukannya semakin erat.
Rifanza dapat merasakan hawa panas itu menyentuh wajahnya.
"Kamu sangat panas Shaka." Rifanza jadi cemas.
"Kalo gitu.... biarkan aku tidur sambil memelukmu."
Gimana reaksi mereka y'jadi penasaran.
sehat selalu thorrr