aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB
Ramli mendekat, mencoba meredakan emosi. Sepertinya suamiku begitu takut saat Wulan meminta cerai padahal baru menikah beberapa jam
“Wulan... tolong, jangan kayak gini. Kita baru saja menikah, masa kamu minta cerai? Aku tahu ini salah. Tapi rumah ini nggak bisa ditempati tanpa izin istriku…”
“Mas pikir aku mau tinggal di kontrakan jelek?!” teriak Wulan sambil menepis tangan Ramli. “Kamu itu orang kaya, Mas! Jangan mau ditindas sama istri tua kamu itu." tunjuknya padaku dengan pandangan bengisnya.
“Benar,” balasku tenang. “Aku perempuan tua. Tapi perempuan tua yang berjasa membangun rumah ini dari tiang ke tiang. Sedangkan kamu? Masuk cuma modal dada dan air mata.”
Wulan mencak-mencak, tapi aku menutup pintu perlahan membiarkan mereka berdua ribut di luar.
Dari balik kaca, aku lihat Ramli berusaha membujuknya. Tapi aku tahu, semua rayuan itu akan sia-sia. Karena kenyataan sudah menyambut Wulan seperti tamparan keras: pernikahan yang ia impikan hanya membawa kekecewaan.
Akhirnya, suamiku dan Wulan, bersama kedua anaknya, benar-benar pindah ke kontrakan kecil di pinggir desa. Kontrakan sempit dan cat temboknya mengelupas, bahkan gentengnya bocor di beberapa titik. Itu tempat yang cocok untuk mereka mulai dari nol—kalau memang niat mereka baik. Tapi aku tahu, bukan itu yang mereka cari.
...****************...
Sementara itu, di kontrakan kecil yang pengap itu…
Wulan duduk di atas tikar lusuh yang sudah mulai sobek di beberapa bagian. Kedua anaknya tertidur lelap, kelelahan setelah seharian bermain di luar. Matanya terus menatap pintu yang tak kunjung terbuka, bibirnya menggerutu kesal.
"Ke mana sih laki-laki tua itu? Sudah jam segini belum pulang juga!" desisnya.
Ia berdiri, lalu berjalan mondar-mandir. Kepalanya penuh dengan perhitungan. Beras tinggal sedikit. Uang belanja habis. Anak-anak butuh jajan. Dan suaminya, Ramli, malah lebih sering mondar-mandir ke rumah istri tua daripada mengurus dirinya.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki di luar. Pintu terbuka. Ramli masuk dengan wajah letih dan keringat yang masih membasahi pelipisnya.
"Maaf, Wulan… Mas baru pulang dari toko, sekalian mampir ke rumah," ujarnya pelan, seperti biasa, suaranya nyaris tak terdengar.
Wulan menyambutnya dengan tangan di pinggang.
"Rumah?! Maksudmu rumah istri tuamu itu?! Apa kau ke sana untuk minta uang?"
Ramli tertunduk.
"Iya… tadi Mas sempat bicara… tapi dia belum kasih jawaban."
"Astaga! Kamu ini laki-laki atau bukan sih? Sudah punya istri muda, tapi masih juga nurut sama perempuan tua itu? Mana harga dirimu, Mas Ramli?"
Ramli hanya terdiam, tak kuasa melawan bentakan Wulan. Ia tahu benar, hidupnya sekarang seperti terjepit di antara dua dinding yang keras—istri tua yang penuh luka dan harga diri, dan istri muda yang penuh ambisi dan tuntutan.
Wulan mendekat, menatap Ramli dengan tajam.
"Besok, kamu harus minta uang itu! Katakan padanya, aku istrimu sekarang. Aku butuh uang. Anak-anak butuh makan. Jangan terus-terusan jadi laki-laki pengecut yang cuma bisa diam!"
Ramli menelan ludah.
"Mas akan coba… besok."
Wulan memutar mata dan mendengus.
Wulan menarik napas panjang lalu berkata,
"Aku nggak nyangka, Mas... Aku kira hidupku bakal berubah setelah menikah sama orang kaya." Ia mendengus, lalu menatap Ramli dengan tajam.
"Tapi kenyataannya, aku malah tinggal di kontrakan sempit, makan seadanya, dan tiap hari cuma nungguin laki-laki tua pulang dari rumah istri tuanya."
Ramli terdiam. Tangannya mengelap keringat di leher, tak sanggup membalas.
"Aku pikir kamu punya segalanya. Tanah hektaran, toko material, uang! Tapi ternyata, semua dikendalikan istrimu yang tua itu. Apa gunanya aku jadi istrimu kalau bahkan buat beli beras saja harus nunggu belas kasihannya?!"
Wulan berdiri, berjalan ke depan Ramli.
"Kamu tahu, Mas? Aku ini janda dua anak. Aku butuh kepastian. Butuh kenyamanan. Bukan hidup kayak begini!" katanya dengan nada tinggi.
Ramli mencoba menenangkan.
"Wulan, sabar dulu. Mas akan usahakan... nanti Bapak akan bicara lagi ke istri tua."
Wulan menatapnya dengan kecewa.
"Sudah cukup! Jangan panggil dirimu 'Mas' seolah-olah kamu punya wibawa. Kamu itu cuma laki-laki tua bangka yang ditertawakan orang. Bahkan keluargaku pun syok lihat aku nikah sama kamu!"
Suasana mendadak sunyi. Anak-anaknya ikut diam, merasakan aura panas di ruangan kecil itu.
Wulan kembali duduk, lemas.
"Kalau begini terus, aku nyesel, Mas... Nyesel nikah sama orang yang bahkan rumahnya aja nggak bisa aku tempatin. Istrimu terlalu kuat. Dan kau? Terlalu lemah…"
Wulan menunduk sambil menatap lantai yang retak-retak. Hatinya penuh dengan penyesalan dan amarah yang membakar dada.
"Aku bodoh... dari awal aku bodoh," gumamnya lirih, namun masih bisa didengar oleh Ramli.
Wulan mengangkat wajahnya, kali ini menatap Ramli dengan mata yang basah oleh air mata.
"Aku dulu bisa balik lagi sama mantan suamiku. Dia datang, minta rujuk.... Tapi aku tolak. Aku tolak karena kupikir aku bakal punya hidup yang lebih baik sama kau!" suaranya meninggi.
Ia menepuk dadanya dengan keras.
"Aku tergiur, Mas... Aku tergoda sama cerita orang-orang yang bilang kamu punya sawah berhektar-hektar, toko material, uang ngalir dari mana-mana!"
Wulan tersenyum miring, getir.
"Tapi ternyata? Rumahmu nggak bisa aku tempatin. Istrimu yang tua itu kuasai semuanya. Dan kamu? Kamu bahkan nggak punya keberanian untuk membela aku."
Ramli membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar. Tatapannya kosong, penuh rasa bersalah.
"Kalau aku tahu begini, Mas... Aku lebih baik balik sama mantan suamiku. Setidaknya dia masih bisa kasih aku rasa dihargai. Bukan begini—jadi istri yang cuma numpang nama, hidup di kontrakan sempit, dan harus nunggu dikasihani istri pertamamu!"
Ramli mengusap wajahnya pelan, tubuhnya gemetar.
"Wulan, maaf... Mas nggak bermaksud begini. Mas cuma... pengen tanggung jawab."
"Tanggung jawab?" Wulan tertawa sinis.
"Kamu bahkan nggak bisa kasih aku rumah. Anak-anakku harus tidur di lantai dingin begini. Dimana tanggung jawabmu?"
Suasana kembali hening. Hanya suara kipas angin kecil yang berdengung lemah.
Wulan berdiri, menatap keluar jendela kecil mereka.
"Kalau aku bisa memutar waktu, Mas... aku nggak akan pernah pilih kau. Lebih baik hidup sederhana tapi tenang, daripada jadi istri dari laki-laki tua bangka yang hidupnya dikendalikan istri tuanya."
Jujur saja, Ramli begitu takut. Ketakutan yang selama ini berusaha ia pendam, kini mulai merayap naik hingga membuatnya sulit tidur.
Ia tahu betul, Wulan bukan wanita biasa. Bukan tipe yang bisa menerima kesederhanaan tanpa menggertak atau menuntut lebih. Dan Ramli sadar betul—janji yang pernah ia ucapkan dulu, sebelum pernikahan, bukan janji kecil. Ia pernah bersumpah akan memberikan segalanya untuk Wulan. Hidup enak. Rumah layak. Uang yang cukup untuk menghidupi dua anak Wulan. Bahkan sesekali jalan-jalan ke luar kota.
Namun, semuanya buyar sejak Rukayah—istri sah yang sudah puluhan tahun mendampinginya—turun tangan.