Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepakatan
Valeri menatap tangannya yang di tempeli plaster oleh dokter, lalu menoleh pada Mario yang menatapnya dengan tenang seolah tidak terjadi apapun, padahal dia adalah penyebab kekacauan yang baru saja terjadi. Suster menggulung sprei yang terkena darah Valeri yang menetes- netes karena jarum infus yang tercabut paksa akibat ulah Mario, lalu keluar meninggalkan mereka. Kegiatan Mario terhenti saat dia melihat darah yang keluar dari tangan Valeri, dan segera memanggil dokter untuk mengobati Valeri.
"Ayo buat kesepakatan," kata Valeri saat melihat suster keluar kamar.
Mario menatapnya datar tanpa berniat menanggapi, hingga ucapan Valeri terdengar barulah dahinya mengeryit.
"Tak perlu memaksa kalau kau mau. Aku akan melayanimu."
Kerutan di dahi Mario semakin dalam. "Aku tidak akan lari, kamu tenang saja. Aku juga akan melayanimu di atas ranjang dengan ikhlas, menunggu kau bosan lalu membuangku dengan sendirinya."
Tak mendengar tanggapan dari Mario, Valeri kembali berbicara. "Lagi pula aku juga sudah lelah." Valeri menatap kedua tangannya.
"Aku hanya meminta satu hal." Valeri mendongak. "Biarkan aku menjadi diriku sendiri. Tidak perlu kurung aku dan memintaku jadi orang lain."
Rahang Mario mengeras dengan mata tajam yang menatap Valeri. "Aku tahu, kenapa dress dan gaun putih itu ada dalam lemari."
"Kau pikir kau ada di posisi yang bisa menentukan?"
"Aku meminta bukan berniat menentukan, meskipun kehidupanku sudah kau renggut sepenuhnya dengan paksa. Tidak bisakah kamu membiarkanku sedikit bernafas? Perlukah aku berlutut untuk satu kebebasan?"
Mario terdiam masih dengan mata yang menatap Valeri. Bisa dia lihat luka yang sangat dalam disana, bukan hanya sekedar benci. Dan dia tahu itu karena dirinya. Hanya saja Mario tak ingin mengakuinya.
"Kau akan melayaniku?" Valeri bergeming saat Mario melangkah mendekat. "Kau tahu arti dari kata melayani?" Valeri tertegun saat Mario membuatnya mendongak dengan mengampit dagunya. Mario menunduk untuk meraih bibir Valeri namun gadis itu justru memalingkan wajahnya.
Bukannya marah seperti biasanya, namun Mario justru menyeringai. "Melayani seperti apa yang kau maksud, Valeri. Sementara kau bahkan tak mau melihatku?" Valeri kembali tertegun saat Mario melepaskannya dan menegakkan tubuhnya. Mario akan pergi namun dia merasakan cekalan di tangannya yang membuatnya menoleh kembali pada Valeri.
Mario masih diam dengan menatap Valeri yang berdiri dari duduknya lalu melingkarkan kedua tangan di bahunya. Kakinya berjinjit untuk menyetarakan tubuhnya lalu memiringkan wajah untuk meraih bibirnya.
Gadis itu mencium Mario lembut dengan bibir mungilnya, mencoba menguasai bibir tebal Mario dengan belaian lidahnya, hingga dia menarik diri dan menatap Mario. "Seperti itu?" Valeri menurunkan tangannya membuat kakinya yang berjinjit kembali menapak di lantai. Namun baru saja akan menjauh Mario meraih pinggangnya dan merapatkan tubuh mereka, membuat kaki Valeri kembali berjinjit dan mendekatkan kembali bibir mereka. Kali ini Valeri merasakan balasan dari Mario, dengan dia yang mencoba mengimbangi ciuman pria itu di bibirnya yang semakin lama semakin menggebu, namun setelah beberapa saat Valeri justru kewalahan dengan nafas terengah.
Merasa Valeri mulai tak sanggup Mario melepaskan dirinya dengan menyeringai.
"Begitu kau bilang ingin melayaniku. Kau bahkan tak lebih hebat dari jalang." Setelah itu Mario berbalik untuk pergi.
Valeri merasakan dadanya berdenyut mendengar perkataan Mario. Pria itu benar-benar merendahkannya, bahkan menyamakannya dengan jalang. Mario bahkan tahu pada siapa dia menyerahkan keperawanannya. Lebih tepatnya Mario memaksanya. Apakah pria itu sungguh suka melukainya.
"Kau menganggapku sebagai jalang?" Valeri terkekeh. "Sayang sekali aku menganggapmu sebagai suami." Langkah Mario yang hendak mencapai pintu berhenti. Namun tanpa berbalik pria itu kembali semakin menyakitinya dengan perkataannya.
"Bermimpi saja," ucapnya dengan membuka pintu. "Aku tak punya waktu untuk terus mendengar omong kosongmu." Mario menggerakkan kepalanya agar pengawal menggiring Valeri untuk segera pulang.
"Tak punya waktu tapi datang untuk menjemput." Valeri mengusap air matanya dengan kasar lalu mengikuti pengawal yang tentu saja tak akan pergi sebelum dia benar- benar mengikuti Mario keluar dari gedung rumah sakit.
Di dalam mobil yang terpisah itu Valeri merenung. Apa yang harus dia lakukan agar Mario luluh padanya. Sedangkan meski dia sudah merendahkan dirinya Mario tetap saja membencinya.
Apakah dia terlalu tak menarik? Tapi, jika dibandingkan Jasmine tentu saja dia tak ada apa-apanya.
Belum apa-apa Valeri sudah merasa rendah diri dan ingin menyerah.
Tiba di rumah, Valeri melihat Mario memasuki ruang kerjanya, sementara Valeri menghampiri Hilda. "Senang anda sudah pulang, Nona," ucapnya.
"Kamu benar-benar senang Hilda. Tidak lihat aku masih pakai baju putih?" Valeri berjalan dengan kesal menaiki tangga untuk masuk ke kamarnya.
Hilda tersenyum kecil mengikuti langkah Valeri. Saat Valeri membuka kamarnya dia tak melihat ada yang aneh. Hingga dia memutuskan untuk mandi dan membersihkan diri. Barulah dia melihat sesuatu yang tak biasa. Valeri bergerak ke arah lemari lalu membukanya. Kali ini bukan hanya ada warna putih yang membuat matanya sakit. Namun berbagai macam warna, hingga Valeri tersenyum lebar.
"Dia setuju?" gumamnya.
"Kapan dia merubah isi lemari?" Padahal dia baru saja mengungkapkan keinginannya beberapa saat lalu. Apakah itu artinya Mario setuju dia menjadi dirinya dan tidak mengurungnya lagi?
Valeri mengenakan kaos lengan pendek berwarna merah muda dengan rok rempel selutut warna hitam. Rambutnya dia gulung tinggi menyisakan beberapa anak rambut, hingga menunjukkan tengkuk putih bahkan tulang selangka di bagian depan yang sangat cantik, dan menggoda. Tubuh Valeri di bagian dada yang tak terlalu besar membuat Valeri terlihat seperti remaja yang manis. Meski kini usianya sudah 24 tahun.
Di jam makan malam Valeri turun dengan senyum yang nampak di bibirnya. Mungkin karena pakaian yang dia kenakan, dia jadi nampak lebih ceria. Untuk pertama kalinya dia akan menjadi dirinya.
Bibir Valeri masih tersenyum, hingga senyum itu tiba-tiba hilang saat melihat Mario yang berdiri di ujung tangga menatapnya dengan datar. Valeri menatap dirinya lalu kembali pada Mario yang masih menampakan wajah datar.
"Terimakasih untuk pakaiannya." tanpa menanggapi ucapan Valeri, Mario pergi ke arah meja makan. Begitu pun Valeri yang mengekori dari belakang.
Tiba di meja makan Valeri yang melihat Mario sudah duduk di kursinya berjalan mendekat lalu mendudukkan dirinya di pangkuan Mario.
Valeri menarik senyumnya dengan menatap Mario. "Kau ingin makan dengan apa?" tanyanya tak peduli dengan tatapan tajam Mario padanya.
"Apa yang kau lakukan?"
Valeri masih tersenyum. "Aku sedang melayanimu. Kau ingat kesepakatannya? Kamu mengizinkan aku menjadi diriku, dan aku akan melayanimu. Melayani suamiku. Dan apa yang aku lakukan sama seperti apa yang kau perintahkan. Duduk di pangkuanmu."
mario jangan sampai kau terluka karna kau harus menyembuhkan luka batinnya valeri 🥺
hemm 🤔🤔
#ngelunjak..🤭
ngga sabar nunggu kelanjutannya...
makin rame ceritanya ..
semangat up ya Kaka author....💪🤗
yakin pasti nyesel bgt 🤭
penuh teka-teki siapa dalang sebenarnya dalam peristiwa pengeboman 🤔