Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23. TETAP DISINI SAJA
"Kita sholat bareng yuk," ajak bu Diah ketika terdengar adzan berkumandang. Wanita paruh baya itu menatap secara bergantian pada anak dan keduanya menantunya sembari tersenyum.
Teddy langsung menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Begitupun dengan Agnes, mengangguk namun memasang wajah datar. Sementara Fiona terlihat menundukkan pandangannya.
"Ya udah, sekarang ayo kita siap-siap." Bu Diah beranjak dari tempat duduknya, lalu menuju kamar tamu yang biasa ia tempati ketika menginap. Di sana ada perlengkapan sholat yang sengaja ditinggalnya.
Fiona, serta Teddy dan Agnes pun gegas menuju kamar masing-masing. Setelah selesai bersiap-siap mereka segera menuju ruang keluarga untuk melakukan ibadah wajib tersebut.
Sholat kali ini terasa sangat berbeda bagi Fiona. Ini adalah pertama kalinya ia diimami oleh sang suami. Selama hampir dua bulan tinggal di rumah itu, ia selalu sholat sendiri di dalam kamarnya.
Setelah ibadah empat rakaat di sore hari itu berakhir, bu Diah kemudian mengajak Fiona ke kamarnya untuk membicarakan sesuatu. Hal tersebut, lagi-lagi membuat Agnes merasa cemburu, sebab biasanya bu Diah akan mengajaknya bercerita banyak hal setiap kali datang, tapi kali ini ibu mertuanya itu terkesan mengabaikannya dan lebih condong kepada Fiona.
"Sayang, ada apa?" tanya Teddy yang melihat istrinya nampak melamun.
Agnes terhenyak. "Gak apa-apa, Mas," jawabnya.
Di kamar ... Bu Diah mengajak Fiona duduk di tepi tempat tidur. Menggenggam tangan menantu ke duanya itu sembari menatapnya dengan dalam. Tujuannya datang hari ini tak sekedar hanya ingin bertemu dan membawakan makanan, tapi ia juga ingin membicarakan sesuatu pada Fiona yang cukup mengganggu dalam pikirannya selama hampir dua bulan ini.
"Boleh, Mama tanya sesuatu?"
Fiona hanya menjawabnya dengan anggukan pelan.
"Apa kamu merasa nyaman selama tinggal di sini?"
Fiona tak langsung menjawab, ia terdiam beberapa saat, mencoba mencari jawaban yang tepat. Jika ditanya apakah ia nyaman? Tentu saja tidak!
Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dan jujur saja ia merasa kebebasannya terkekang. Agnes juga melarangnya untuk keluar jika tidak ada keperluan yang penting, dengan alasan takut terjadi apa-apa padanya yang ia tahu wanita itu sebenarnya lebih mengkhawatirkan kandungannya, setelah hamil ia juga sudah tak diperbolehkan untuk bantu-bantu bi Ira di dapur. Ia hanya akan keluar kamar saat waktu makan, dan menjadi penonton kemesraan sepasang suami-istri itu.
Maka Fiona hanya menjawab dengan anggukan pelan, sebab tak mungkin memberitahukan yang sebenarnya pada sang ibu mertua.
Bu Diah menatap menantunya itu dengan lekat, ia tahu Fiona berbohong tapi ia juga tak ingin mendesaknya.
*****
"Gimana kalau Fiona tinggal di rumah Mama saja?" usul bu Diah ketika berpamitan pulang. Supir suaminya sudah datang menjemput.
"Kalau aku terserah Fiona saja," ucap Teddy sembari melirik istri ke duanya itu yang hanya diam.
"Mas." Agnes menyenggol lengan suaminya sembari menggeleng pelan, yang menandakan ia keberatan dengan usulan ibu mertuanya itu. Jika Fiona tinggal di sana, ia tidak bisa lebih leluasa untuk mengawasi suami dan madunya. Bisa saja Teddy berpamitan ke rumah sakit, tapi justru ke rumah orang tuanya menemui Fiona.
"Ma, sebaiknya Fiona tetap di sini saja. Aku ngerasa sepi kalau Mas Teddy kerja, jadi aku punya teman ngobrol kalau ada Fiona," ujar Agnes kemudian yang tak mendapat respon dari suaminya. Ia melirik madunya yang tampak menunduk dalam, terpaksa ia mengatakan hal demikian agar sang mertua tak membawa Fiona tinggal di rumahnya. Padahal yang sebenarnya, ia jarang sekali mengobrol dengan Fiona. Saat Teddy pergi bekerja, mereka berdua hanya menghabiskan waktu dengan kegiatan masing-masing.
Kini Teddy yang nampak keberatan atas penolakan istri pertamanya itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sekarang keputusan hanya ada pada Fiona, ingin mengikuti saran mamanya, atau menuruti keinginan Agnes untuk tetap tinggal di rumahnya.
Bu Diah pun mengangguk pelan. "Ya sudah kalau begitu, Mama pulang dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Teddy, Agnes dan Fiona bergantian mencium punggung tangan bu Diah.
Setelah mobil yang membawa bu Diah tak terlihat lagi, mereka bertiga pun kembali masuk ke rumah.
Seperti biasa, Fiona menghabiskan waktu di kamar, mengaji sembari menunggu waktu sholat berikutnya tiba. Keluar kamar hanya untuk makan dan setelah itu kembali lagi ke kamar, mengulangi kegiatan yang sama hingga hari-hari berikutnya.
Terkadang ia merasa jenuh, namun tetap harus ia jalani. Berada di rumah itu sudah menjadi pilihannya, sebagai bentuk pertanggung jawabannya atas apa yang sudah terjadi pada Agnes karena dirinya.
"Aku tau, Fio, kamu bersedia menjadi istri keduaku hanya untuk memenuhi permintaan Agnes, kamu ingin menebus rasa bersalah kamu terhadapnya. Dan kamu juga tau, kalau aku menikahi kamu juga karena menuruti permintaan istriku. Jadi, aku rasa kita tidak perlu memperlakukan satu sama lain seperti pasangan suami istri pada umumnya."
Ucapan Teddy saat itu juga menjadi satu alasan kenapa ia lebih memilih mengurung diri di kamar. Untuk apa bertemu jika keberadaannya tak begitu dianggap.