Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19_Mencari Jalan
Sean membiarkan motor tuanya melaju pelan di sepanjang jalan beraspal yang basah sisa hujan. Angin sore menusuk tulang, tapi ia tidak mempercepat laju kendaraan. Seolah butuh waktu lebih lama untuk sampai. Mungkin karena ia belum siap menghadapi perasaan yang sedang menggelegak di dadanya.
Ia berhenti di depan sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Halamannya dipenuhi tanaman obat dalam pot-pot tanah liat. Beberapa daun sirih dan lidah mertua tumbuh subur, seperti tidak peduli pada kerasnya dunia di luar pagar kecil rumah itu.
Pintu kayu terbuka sebelum Sean sempat mengetuk. Ibunya berdiri di ambang pintu, mengenakan daster panjang dan selimut tipis di pundak. Kondisinya kini semakin membaik setelah mendapatkan pengobatan tepat waktu.
“Kamu tidak bilang mau pulang,” sapa ibunya pelan.
Sean tersenyum kecil, lalu mencium punggung tangan wanita itu.
“Aku kangen Ibu.”
Mereka masuk ke dalam. Rumah itu hangat dan sederhana. Aroma minyak kayu putih dan kayu manis tercium samar dari dapur. Ruang tamu dipenuhi bingkai foto tua dan rak buku berdebu. Di salah satu sudut, ada foto ayah Sean, tersenyum dengan mata yang menatap jauh ke depan.
Sean duduk di kursi rotan yang sudah sedikit goyah. Ibunya membuatkan teh jahe tanpa perlu ditanya.
“Namira baik-baik saja?” tanya ibunya setelah duduk di seberang meja.
Sean menghela napas.
“Entahlah, Bu.”
“Kalau entah, berarti kamu yang sedang tidak baik-baik saja.”
Sean tersenyum tipis.
“Kita bertengkar.”
Ibunya mengangguk, tidak kaget. Ia menatap wajah putranya dengan lembut.
“Bukan hal aneh dalam pernikahan.”
“Tapi pernikahan kami... berbeda, Bu.” Suara Sean nyaris seperti bisikan.
Ibunya tidak menanggapi langsung. Ia menyesap tehnya pelan.
“Tidak ada pernikahan yang betul-betul sama. Semua orang punya jalannya sendiri yang penting bukan bagaimana kalian memulainya, tapi bagaimana kalian menjalaninya.”
Sean terdiam. Ia menatap foto ayahnya di dinding. Ayah yang dulu menjadi panutannya. Ayah yang mengajarinya menggambar rumah, mengenalkan buku-buku arsitektur, dan membisikkan impian tentang kuliah di luar negeri.
“Kalau Ayah tidak meninggal waktu itu,” gumamnya pelan.
“Mungkin aku sudah lulus kuliah. Mungkin aku tidak perlu kerja jadi kurir. Mungkin aku bisa duduk sejajar dengan Namira.”
Ibunya diam. Tapi matanya berkaca-kaca.
Sean melanjutkan.
“Kadang aku berpikir... semua yang aku jalani ini bukan jalanku. Aku hanya berjalan karena terpaksa karena keadaan.”
“Sean,” ucap ibunya pelan.
“Jalan itu tidak selalu terlihat dari awal. Terkadang, kamu harus mencarinya sendiri. Tidak semua orang lahir di jalur yang terang. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti berjalan.”
Sean menunduk.
Ibunya menambahkan, suaranya dalam.
“Cinta juga begitu, Nak. Ia tidak datang sendiri. Cinta harus dijemput. Harus diperjuangkan. Kalau kamu merasa rindu, itu bukan kelemahan. Itu pertanda ada yang penting dalam hidupmu.”
Sean memejamkan mata. Rasa itu kembali merayap di dadanya. Rasa kosong. Rasa kehilangan. Rasa rindu.
“Namira... dia membuatku gelisah, Bu.”
Ibunya tersenyum lembut.
“Berarti dia penting.”
***
Di sisi lain kota, Namira membuka pintu apartemen dengan langkah berat. Hujan sudah berhenti, tapi langit tetap kelabu. Begitu masuk, ia disambut keheningan yang tidak biasa.
Lampu ruang tamu dibiarkan mati. Hanya cahaya dari jendela yang temaram menyapu karpet tebal dan sofa panjang. Tidak ada suara panci yang jatuh di dapur. Tidak ada suara sepatu bot yang diletakkan di dekat rak. Tidak ada suara lembut memanggilnya dengan nama panggilan yang entah sejak kapan mulai ia rindukan.
“Nam-Nam.”
Ia berdiri diam di ambang pintu, matanya mengelilingi ruangan yang kini terlalu sunyi. Sean tidak ada.
Namira meletakkan tas kerja di meja dan melepas sepatu perlahan. Dingin lantai merambat ke tubuhnya. Ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas tanpa tujuan. Biasanya akan ada kotak makanan sisa masakan Sean. Kali ini... kosong.
Ia duduk di kursi dapur, lalu menunduk, menggigit bibir bawahnya.
“Mengapa hening ini justru menyakitkan?”
Perlahan, pikirannya kembali pada hujan di basement tempo hari. Sorot mata Sean saat ia berjalan menjauh. Diamnya yang membuat Namira benci. Bukan karena tidak bicara, tapi karena Sean terlalu tenang, seolah tidak ada yang berubah, seolah... tidak peduli.
Namun kini, dalam kesunyian apartemen yang terlalu mewah untuk satu orang, Namira mulai mengerti. Ketika Sean ada, hening pun terasa hidup. Ketika Sean bicara, walau pelan, selalu terasa penuh makna.
Ketika Sean memanggilnya Nam-Nam dengan suara lembut dan sedikit geli di ujungnya itu seperti satu-satunya hal yang membuat hari terasa ringan dan sekarang, semua itu hilang.
Ia menatap ponsel di meja. Masih belum ada pesan dari Sean. Ia juga belum mengirim satu pun.
“Aku bisa saja mengirim pesan duluan,” gumamnya.
Tapi jari-jarinya hanya diam. Ragu. Takut. Marah. Bingung.
Semuanya bercampur jadi satu.
“Apa ini... yang disebut rindu?”
Namira menatap jendela. Langit malam masih menggantung kelam. Lalu tiba-tiba, bayangan Sean muncul di benaknya dengan wajah basah hujan, dan mata yang diam-diam menahan luka. Ia menunduk, menyembunyikan wajah di kedua telapak tangan. Ia ingin membenci Sean. Tapi ternyata lebih sulit membenci, daripada merindukan.
***
Sean masih duduk di teras rumah ibunya, menatap halaman yang mulai diselimuti embun malam. Di tangannya, secarik kertas bekas sketsa yang belum ia sobek semalam. Ia menggambar sesuatu tapi tidak selesai. Ibunya menyusul keluar, membawa selimut.
“Jangan duduk di luar terlalu lama. Udara malam bisa membuatmu sesak,” katanya, menyerahkan selimut ke bahu Sean.
“Dulu Ayah sering duduk di sini, ya, Bu?” Sean bertanya tanpa menoleh.
“Ya. Setiap malam. Menunggu kamu pulang main. Kadang, cuma duduk diam menatap langit.”
“Apa dia juga sering merasa gagal?”
Ibunya tersenyum.
“Ayahmu tidak pernah merasa gagal. Dia hanya takut. Tapi dia tidak pernah berhenti mencoba.”
Sean mengangguk pelan. Ibunya menepuk bahunya.
“Kalau kamu benar-benar menyayangi Namira, jangan diam. Perempuan bisa bertahan dalam banyak hal, tapi tidak pada perasaan ditinggalkan.”
Sean menghela napas dalam.
“Lalu... kalau dia memang tidak memilihku?”
Ibunya tersenyum, kali ini penuh keyakinan.
“Setidaknya kamu sudah mencoba menjemput cintamu.”
Sean menatap langit dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak ayahnya meninggal, Sean merasa ia harus berjalan lagi. Walau jalannya belum terlihat. Walau hatinya belum yakin. Tapi ia tahu satu hal. Ia tidak ingin melepaskan Namira... tanpa berjuang lebih dulu.
***
Di apartemennya, Namira membuka laptop untuk mengecek email kerja. Di antara tumpukan pesan dari klien, satu email masuk... dari alamat yang tidak dikenal.
Subjek : Video Sean
Namira membeku. Jari-jarinya gemetar saat mengarahkan kursor ke sana.
Lalu klik.
Layar menampilkan cuplikan gambar buram... wajah Sean... dan perempuan yang tidak ia kenal. Matanya membelalak. Detik berikutnya, ponselnya berdering.
Bima.
Sudah lihat, Namira?
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.