Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.
Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.
“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”
Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.
Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.
Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Suasana di tengah bara.
Malam datang membawa ketenangan semu di rumah Gahanim. Ayano duduk bersila di lantai ruang tamu lantai satu, menonton video walkthrough game terbaru di ponselnya, sesekali tertawa kecil atau mengumpat pelan.
Cloe duduk di kursi, menggigit sepotong buah apel, malas-malasan membolak-balik majalah dekorasi yang tidak benar-benar ia baca. Ayano benar-benar tidak membiarkan Cloe sendiri.
“Hari ini lumayan membosankan, ya, Kak,” gumam Ayano tanpa menoleh.
Cloe mengangkat bahu. “Daripada ada keributan, aku lebih suka bosan.”
Ayano tertawa kecil. “Bagaimana Kakak bisa tahan dikurung begitu lama? Sekarang aku mengerti alasan kenapa Kakak berusaha melarikan diri.”
Mereka menghabiskan waktu dalam keheningan nyaman—aneh, mengingat betapa selama ini rumah ini terasa seperti penjara. Apa sebaiknya Cloe meminta pada Elad agar Ayano tinggal di sini saja? Ia tak tahu sampai kapan Sehan akan di sini.
Oh, tidak! Itu juga ide yang buruk. Semakin banyak mata di rumah ini, semakin sulit ia melarikan diri.
Suara mobil mendadak terdengar di luar. Ban mobil mengerem kasar di depan pintu. Ayano dan Cloe saling pandang, sama-sama merasa ada yang tidak biasa.
BRUK!
Pintu rumah terbuka keras, menabrak dinding. Suara langkah berat memasuki ruang tamu, cepat dan penuh kemarahan.
Cloe menahan napas. Ayano berdiri dengan gugup.
Elad muncul di ambang pintu. Bajunya masih setelan bisnis, tapi berantakan: dasi setengah terlepas, rambut acak-acakan, wajahnya keras dan serius, juga ada bercak arang hitam di tubuhnya. Sepasang matanya menyorot ke seluruh ruangan, berhenti di Cloe dan Ayano. Lantas dia bernapas lega.
“Ayano,” suara Elad berat, dingin. “Tidak ada yang mengacau kalian seharian ini, kan?”
“Tidak ada, memangnya ada apa? Oh, Abang seperti dari tempat pembakaran.”
Elad menghempaskan diri ke sofa, tiba-tiba dia mendaratkan kepala di pangkuan Cloe. Tatapan dingin Cloe ia abaikan, justru ia tertawa melihat ekspresi tidak bersahabat itu.
“Tolong kasihani aku, aku sangat lelah,” pinta Elad menyatukan kedua tangan, memohon setelah bertindak.
Sehan muncul menuruni tangga, melihat seluruh anggota keluarga di rumah ini berkumpul di sana, dia lekas menghampiri. Sehan bersandar santai, menenggak jus miliknya sebelum berbicara.
“Apa yang terjadi? Aku baru saja melihat berita kebakaran cabang di luar negeri.”
Ayano dan Cloe tersentak, mereka berdua baru mendengarnya. Baru mengerti kenapa Elad tampak lelah dan seakan menahan kemarahan yang membuncah. Tergolong hebat Elad masih bisa tertawa dan bercanda, tidak melampiaskan emosi pada siapapun terlepas sepanas apa kepalanya saat ini.
Elad masih stay di pangkuan Cloe kendati suasana mulai serius, dan seluruh tatapan tertuju padanya. Dia melipat tangan di atas mata, menutup matanya.
“Ya, karena konslet listrik dan kebocoran gas,” jawab Elad.
Mata Sehan memicing. “Kau yakin? Bagaimana kalau itu sabotase?”
Elad tertawa kecil. “Bagaimana mungkin? Semua orang mencintaiku, Tuhan juga sudah meluangkan tempat di surga untukku.” Elad kemudian menghadap ke perut Cloe, memeluk erat. “Cloe, kalau kau bersamaku kau akan masuk surga. Buang rencana pelarianmu.”
“Kalau bersamamu, itu namanya neraka, bukan surga.”
“Sama aku aja, Kak. Kita masuk ke dunia game,” sambung Ayano.
Sehan masih belum mau teralihkan dengan pembicaraan yang ia mulai. “Tapi, Elad—”
“Tidak, tidak. Itu murni kecelakaan,” bantah Elad.
Sehan mengecilkan matanya, seolah ingin menguliti kebohongan dari nada santai Elad. Tapi Elad terlalu berpengalaman untuk terseret. Ia hanya menguap besar-besaran, memeluk perut Cloe makin erat, seakan berusaha menghirup ketenangan darinya.
Cloe sendiri hanya menahan napas, menahan diri untuk tidak mendorong kepala keras itu dari pangkuannya.
“Aku tidak suka kebetulan yang terlalu sempurna,” gumam Sehan sambil memutar gelas jus di tangannya.
“Kalau kau mau cari teori konspirasi, mending tulis novel,” balas Elad sambil tertawa malas. “Aku sudah capek mengurusi yang nyata, tidak perlu menambah beban dengan drama fiktif.”
Ayano menguap besar, lalu menggeser duduknya lebih nyaman di lantai. “Kalau aku jadi Abang Elad, aku sudah pingsan dari tadi.”
“Kalau aku, mungkin sudah bakar kantor musuh-musuhku juga sekalian,” Cloe bergumam sinis.
Elad mendongak sedikit, menatap Cloe dari bawah bulu matanya yang tebal. “Tolong jangan bakar kantorku, Sayang. Aku baru berencana membangun kantor baru untuk kau hancurkan di masa depan.”
Cloe mendengus pelan. Tidak bisakah dia sedikit serius? Dia yang paling santai di antara mereka saat ini. Tapi ada sedikit senyum tipis di ujung bibir Cloe, yang berusaha ia sembunyikan.
Sehan memperhatikan interaksi itu dengan tatapan tak terbaca. Lalu dia tersenyum miring. “Kalau kau butuh bantuan, sepupu ... aku selalu siap. Meski kau diambang batas, aku rela menjadi investor di tempatmu.”
“Aku tahu.” Elad membuka satu mata, menyeringai. “Makanya aku pastikan tak pernah butuh bantuanmu.”
Sekilas, sesuatu melintas di mata Sehan—seperti kilatan tidak suka—sebelum ia cepat-cepat menutupinya dengan tawa ringan.
“Ayano, angkat kakak iparmu kalau dia pingsan di situ,” Sehan berdiri, menyelesaikan jusnya dalam sekali teguk. “Aku mau tidur duluan.”
Tanpa menunggu balasan, Sehan berjalan santai menaiki tangga, langkahnya tenang, tapi punggungnya tampak sedikit kaku.
Begitu Sehan hilang dari pandangan, suasana ruang tamu berubah.
Ayano bangkit, meregangkan badan. “Aku ke dapur, Kak. Mau bikin teh. Mau sekalian?” tawarnya.
“Boleh,” jawab Cloe pelan.
Ayano pergi, meninggalkan Elad dan Cloe berdua. Hanya suara jarum jam yang terdengar berdetak perlahan.
Elad menarik napas panjang di pangkuan Cloe. Ia seperti tidak mau bergerak, seolah dunia luar bisa menunggu. Sebaliknya, Cloe menatap ke luar jendela, ke arah langit malam.
Diam-diam, ia bertanya dalam hati.
‘Berapa banyak lagi badai yang akan datang setelah ini?’
Dan lebih penting lagi, bisakah ia bertahan di tengah semua ini, tanpa kehilangan dirinya sendiri?
“Elad...” Cloe akhirnya bersuara.
“Hm?” sahut Elad setengah malas.
“Kalau kau jatuh, kau mau aku ikut jatuh bersamamu, atau tetap berdiri?”
Elad membuka matanya perlahan, menatap wajah Cloe yang diterangi cahaya lampu hangat.
Ia tersenyum. Tapi senyumnya bukan tawa, bukan ejekan, bukan rayuan.
Senyum itu ... sejenak tampak lelah.
“Tetap berdiri, Cloe,” jawabnya perlahan. “Karena aku mungkin perlu seseorang untuk menarikku berdiri lagi nanti.”
Cloe terdiam.
Untuk pertama kalinya, di balik semua arogansi dan sikap tengil itu, ia melihat Elad sebagai manusia. Bukan penguasa. Bukan suami bajingan. Tapi manusia biasa, yang terluka.
Malam itu, tanpa banyak kata lagi, mereka hanya diam di sana. Cloe khawatir dirinya akan menjadi seperti Dhara, persis seperti Ayano katakan tadi siang. Ayah Elad, Bahar, memiliki simpanan dan anak di luar kota, tapi Dhara tidak peduli selama Bahar tidak menunjukan ke publik dan tidak memberikan warisan keluarga pada simpanan dan anaknya.
Semua warisan kekayaan milik anak Dhara: Elad dan Ayano. Simpanan dan anaknya cukup dengan pemberian uang dari Bahar.
Dengan kepala Elad yang berat di pangkuan Cloe.
Dan tangan Cloe yang, tanpa sadar, bergerak perlahan membelai rambut Elad—dengan gerakan kecil yang bahkan tidak disadarinya sendiri. Lekas Cloe mengambangkan tangan, menggunakannya untuk menjitak kepala sendiri.
‘Aku tidak ingin menjadi seperti ibu mertua!’
Bersambung....