simak dan cermati baik2 seru sakali ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siv fa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Julia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu. Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan. Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya. Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya. Trang! "Ah!" Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan. "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu siapa orang yang kau singgung ini!" bentak Carlon, cipratan air dari mulutnya mendarat di jasnya Julia. Julia sendiri meringkuk, menutupi telinga dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras. Ini pertama kalinya di dalam hidupnya dia merasa nyawanya terancam. Dan ada yang lebih buruk dari itu: besar kemungkinan Carlon akan mencoba memerkosanya, mungkin sekalian memberi giliran pada pengawal-pengawalnya itu juga. ... Sementara itu di kantor Wiguna Corp., di ruangan kerjanya Walton. Dia dan sekretarisnya sedang saling menggumuli satu sama lain. Si sekretaris sudah menanggalkan kemejanya dan tangan Walton menjelajahi tubuh sintalnya. Desahan-desahan dan sesekali erangan keluar dari mulut si sekretaris. Tiba-tiba, ponsel Walton berdering. Mulanya Walton hendak mengabaikannya, berharap dering itu berhenti dengan sendirinya. Tapi lama-lama dia terganggu juga. Tak ada tanda-tanda kalau si penelepon ini akan menyerah. Berdecak kesal, Walton mendorong si sekretaris menjauh, memberi isyarat kalau permainan panas mereka harus ditunda. Si sekretaris memasang muka sebal, tapi Walton tak peduli. Dia berjalan ke dekat jendela, merogoh ponselnya dari saku celana. Ternyata, yang meneleponnya itu adalah Angelica. Dia bersumpah akan mengomelinya nanti ketika mereka bertemu. "Ada apa?" tanya Walton ketus. [Julia sudah di tangan Carlon Rooney. Habislah dia.] Seketika mata Walton berbinar. Ini kabar baik yang ditunggu-tunggunya. "Seriusan?" [Iya. Dia saat ini ada di ruang VVIP di lantai 3. Dia tak akan bisa keluar dari ruangan itu tanpa memuaskan si hidung belang Carlon terlebih dulu.] Walton tersenyum lebar, nyaris tanpa sadar. Dia bayangkan Julia meronta-ronta saat tubuhnya dijamah dengan paksa oleh Carlon. Entah kenapa itu memberinya perasaan senang. "Kau tak lupa memberikan lingerie merah itu padanya, kan?" [Tenang saja. Dia tadi membawanya kok. Si mesum Carlon pasti memaksanya memakainya di hadapannya, mungkin sambil menggerayanginya.] "Wah wah, tidakkah menurutmu kita terlalu kejam padanya?" [Omong kosong! Kau jangan bertingkah sok suci, Walton! Aku ingat betul kau tersenyum lebar saat mendengar aku menjelaskan rencanaku ini padamu waktu itu.] "Hahaha... Iya, iya. Aku tidak merasa suci kok. Justru aku puas kalau si brengsek Carlon itu menggerayangi Julia dan kemudian memerkosanya. Aku ingin tahu bagaimana Martin akan merespons aib istrinya ini nanti." [See? Kau malah lebih jahat dariku.] "Hahaha..." Mendapati Walton tertawa puas, sekretarisnya bertanya padanya apa yang lucu. Walton mengangkat tangannya yang kiri, memberi isyarat agar wanita itu tak mengganggunya dulu. "Sekarang kau di mana?" [Masih di Klub Ballein.] "Sebaiknya kau segera cabut dari sana, jaga-jaga kalau-kalau Carlon bertindak terlalu jauh dan membuat Julia pingsan atau apa. Jangan sampai kau ikut-ikutan terseret jika polisi-polisi nanti ke sana." [Iya, ini aku juga mau cabut kok.] "Oke. Kita ketemu di ruanganku nanti, ya. Sekitar satu jam lagi tapi. Aku mau menyelesaikan sesuatu dulu." [Sesuatu? Kau main lagi sama sekretarismu itu?] "Well, itu pertanyaan yang tak perlu kujawab." Walton mengakhiri panggilan, tersenyum penuh kepuasan. "Jadi, apa tadi yang membuatmu tertawa sepuas itu?" tanya si sekretaris sambil menggelayut ke Walton. "Julia. Sebentar lagi dia akan diperkosa oleh Calron Rooney," jawab Walton. "Memang bodoh dia itu. Mau-mau saja ditipu Angelica." "Apakah itu artinya Bu Julia akan segera dipecat?" "Kurasa begitu. Setelah ini aku dan Angelica akan menyebarkan rumor kalau Julia sengaja mendatangi Carlon Rooney di Klub Ballein dan menawarkan tubuhnya kepadanya, dengan maksud meminta bantuan dari Carlon untuk mendapatkan proyek dari PT Alat Kesehatan Makmur. Reputasi Julia akan hancur. Kakek sudah pasti langsung memecatnya sebab dia sudah mencoreng nama baik Keluarga Wiguna." Pupil si sekretaris melebar. Ada antusiasme yang kuat di kedua matanya. "Pak Walton, kau akan memenuhi janjimu padaku, kan? Setelah Bu Julia dipecat nanti, kau akan merekomendasikan aku untuk mengisi posisi kepala divisi pemasaran yang ditinggalkan olehnya, kan?" "Jangan khawatir. Aku pasti memenuhi janjiku, asalkan kau melayaniku dengan baik." Walton langsung memegangi leher sekretarisnya itu dan menciumnya. Dengan mata terpejam, si sekretaris membalas ciumannya. Mereka melanjutkan pergumulan mereka tadi. ... Sementara itu di rumah sakit Pelita Kasih, di ruang kerja direktur rumah sakit... "Demikian yang ingin kami paparkan, Tuan Martin. Segala sesuatunya telah siap. Operasi transplantasi sum-sum tulang belakang terhadap putri Anda sudah bisa dilakukan. Tinggal menunggu kesedian dari keluarga dan kesiapan Anda selaku pendonor," kata Ringga, direktur rumah sakit Pelita Kasih. "Bagus. Aku senang mendengarnya," kata Martin sambil mengangguk-angguk. Dia akan menelepon Julia nanti, memberitahunya kabar baik ini. Saat ini Julia mestinya sudah berada di kantor PT Alat Kesehatan Makmur. Dia harap semuanya berjalan lancar. Keluar dari ruangan kerjanya Ringga, Martin kembali ke ruang rawat inapnya Jesina. Saat ini Fanny sedang menunggu Jesina di sana. Tadi saat dia bilang dia harus keluar sebentar untuk mengurus sesuatu, ibu mertuanya itu memasang muka ketus dan menatapnya dingin. Martin bisa merasakan kebencian Fanny padanya yang begitu kuat. Dan kini ketika dia kembali, Fanny lagi-lagi memberinya tatapan itu. Jujur saja, tatapan Fanny itu membuat Martin tak nyaman. Bagaimanapun mereka satu keluarga. Tidak bisakah Fanny bersikap biasa saja padanya? "Ayah!" sapa Jesina tiba-tiba. Dia masih terbaring di ranjang pasien, tapi kini raut mukanya sudah jauh lebih baik. Dan dia barusan tersenyum. Martin pun tersenyum, senang sekali melihat perkembangan kondisi Jesina. Baru saja dia akan membalas sapaan Jesina tapi kedulian oleh omelan Fanny. "Jesina! Sudah kubilang berhenti memanggil orang tak berguna ini ayah! Dia ini tak pantas menjadi ayahmu!" Jesina langsung terlihat sedih. Dia menatap Martin lagi, hendak mengatakan sesuatu, tapi tak jadi. Martin merasa dadanya sesak. Kini dia jadi ingin menguliahi Fanny. Meski memang Fanny adalah ibu mertuanya, tidak lantas berarti dia boleh membentak Jesina seperti itu, terlebih lagi di hadapannya. Martin membuka mulutnya, kata-kata sudah akan terlontar dari lidahnya, tapi ponsel di saku celananya bergetar. Martin mengambil ponselnya itu, mengecek layar, mendapati sebuah pesan masuk dari Julia. Dibukanya pesan itu, tapi isinya hanya ini saja: Klub Ballein. Raut muka Martin mendadak serius. Dia punya firasat buruk. 'Klub Ballein? Bukankah itu nama kelab malam? Apakah Julia ada di sana?' pikirnya. Dia coba telepon Julia, tapi panggilannya tak tersambung. Sesuatu pasti terjadi. Begitu dia berpikir. Dia pun langsung balik badan dan keluar dari ruang inap. Dia abaikan omelan-omelan dari Fanny yang mengira dia mangkir dari tugasnya menemani dan mengurus Jesina. Berjalan di koridor, Martin mencoba menelepon Julia sekali lagi, tapi kembali tak tersambung. Dia pun mempercepat langkahnya. Kalau sesuatu sampai terjadi pada Julia di kelab malam itu, dia tak akan memaafkan siapa pun dalang di baliknya. ...