Raka secara tak sengaja menemukan pecahan kitab dewa naga,menjadi bisikan yang hanya dipercaya oleh segelintir orang,konon kitab itu menyimpan kekuatan naga agung yang pernah menguasai langit dan bumi...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mazhivers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27
Mereka menyusuri lorong rahasia yang gelap dan berliku-liku untuk waktu yang cukup lama. Lorong itu sesekali menurun curam, memaksa mereka untuk berhati-hati agar tidak terpeleset. Udara di dalamnya terasa dingin dan lembap, dengan bau tanah dan batu yang khas. Akhirnya, lorong itu membawa mereka keluar menuju sebuah hutan yang tampak berbeda dari hutan yang mereka lalui sebelumnya. Pepohonan di sini lebih tinggi dan lebih rapat, menciptakan suasana yang lebih teduh dan sunyi.
Kakek Badra menghela napas lega. "Sepertinya kita berhasil lolos dari kejaran Kaldor untuk saat ini," katanya sambil melihat ke belakang. "Tapi kita tidak boleh lengah. Dia pasti akan terus mencari kita."
Mereka bertiga setuju dan memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah naungan pohon yang sangat besar. Raka menurunkan kedua Kitab Dewa Naga dengan hati-hati. Cahaya redup dari celah-celah dedaunan menerangi sampul kedua kitab itu.
"Kita harus memanfaatkan waktu ini untuk mempelajari kitab-kitab ini," kata Raka, mengambil kitab emas yang lebih besar. Ia membukanya dan kembali mengamati halaman-halamannya yang penuh dengan aksara dan ilustrasi kuno. Kali ini, dengan pengalaman yang baru ia dapatkan dan bimbingan dari Kakek Badra, ia merasa seolah-olah ada tabir tipis yang mulai tersingkap dari pemahamannya.
Kakek Badra menunjuk ke sebuah gambar yang menggambarkan Pedang Sinar Naga yang dikelilingi oleh lingkaran-lingkaran cahaya. Di dekat gambar itu, terdapat beberapa aksara yang tampak berbeda dari yang lain. "Simbol-simbol ini sering muncul di dekat gambar-gambar yang berhubungan dengan kekuatan suci," jelas Kakek Badra. "Mungkin ini adalah mantra atau kata-kata yang bisa membantumu mengendalikan pedang itu."
Raka memusatkan perhatian pada simbol-simbol itu, mencoba mengingat kembali kata-kata "Sinar Penghancur" yang pernah ia ucapkan. Ia mencoba mengucapkan beberapa kombinasi bunyi yang menurutnya mungkin terkait dengan simbol-simbol itu. Tiba-tiba, saat ia mengucapkan sebuah rangkaian kata yang terdengar seperti gumaman kuno, ia merasakan Pedang Sinar Naga di sampingnya berdenyut dengan energi yang lebih kuat. Cahayanya menjadi sedikit lebih terang, dan ia merasakan kehangatan yang menyenangkan mengalir melalui gagang pedang ke tangannya.
"Aku merasakannya!" seru Raka dengan nada terkejut bercampur gembira. "Aku merasa ada hubungan dengan pedang ini saat aku mengucapkan kata-kata itu."
"Bagus sekali, Nak!" seru Kakek Badra dengan senyum bangga. "Kau mulai memahami bagaimana cara berkomunikasi dengan kitab ini dan dengan artefak-artefak suci para Dewa Naga. Ingatlah, hati yang murni dan niat yang tulus adalah kunci utama."
Maya dan Sinta ikut mendekat, penasaran dengan apa yang baru saja terjadi. Raka menceritakan pengalamannya. Maya kemudian melihat gambar di halaman lain kitab emas itu. Gambar itu menunjukkan seorang ksatria yang mengenakan zirah bersisik naga, sangat mirip dengan penglihatan yang pernah dialami Raka, sedang menunggangi seekor naga emas yang besar. Di bawah gambar itu, terukir sebuah kalimat yang kali ini juga bisa dibaca oleh Raka di benaknya dengan lebih jelas: "Sang Penunggang Takdir akan bangkit di saat kegelapan terpekat."
"Lihat ini, Raka," kata Maya dengan nada antusias. "Gambar ini seperti menceritakan tentangmu!"
Raka menatap gambar itu dengan perasaan yang campur aduk. Apakah ia benar-benar ditakdirkan untuk menjadi seorang penunggang naga? Pikiran itu terasa begitu luar biasa dan sulit untuk dipercaya.
Sinta kemudian melihat sebuah peta lain di dalam kitab emas itu, kali ini lebih detail dan lebih fokus pada wilayah pegunungan. Beberapa tempat ditandai dengan simbol-simbol yang berbeda, dan salah satu tempat yang ditandai dengan simbol yang tampak seperti mata yang bersinar berada tidak terlalu jauh dari lokasi mereka saat ini.
"Lihat, Kakek, Raka," kata Sinta. "Ada tempat lain yang ditandai di peta ini. Simbolnya seperti mata yang bersinar. Apakah Kakek tahu tempat apa itu?"
Kakek Badra mengamati peta itu dengan seksama. "Tempat itu… konon adalah sebuah mata air suci yang dijaga oleh roh-roh kebijaksanaan. Airnya diyakini memiliki kekuatan untuk menyembuhkan dan memberikan pencerahan. Mungkin kita bisa menemukan jawaban atau petunjuk lebih lanjut di sana."
Dengan berbekal peta dari Kitab Dewa Naga, mereka melanjutkan perjalanan menuju lokasi mata air suci yang ditandai dengan simbol mata bersinar. Kakek Badra memimpin jalan, diikuti oleh Raka yang dengan hati-hati membawa kedua kitab dan Pedang Sinar Naga, serta Maya dan Sinta yang berjalan di belakang mereka.
Perjalanan menuju mata air itu membawa mereka melintasi hutan yang semakin lebat dan kuno. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi, menciptakan kanopi hijau yang menutupi hampir seluruh cahaya matahari. Suara-suara hutan menjadi lebih misterius, dengan kicauan burung-burung yang tidak dikenal dan desiran angin yang membawa bisikan-bisikan samar.
Sesekali, mereka menemukan jejak-jejak kaki aneh yang sama dengan yang mereka lihat sebelumnya, mengingatkan mereka akan bahaya yang mungkin masih mengintai. Mereka juga beberapa kali melihat bayangan hitam besar terbang di kejauhan, membuat mereka selalu waspada terhadap kemungkinan serangan dari Kaldor atau para pengikutnya.
Saat mereka beristirahat di tepi sungai kecil, Maya bertanya kepada Kakek Badra, "Kakek, apa Kakek tahu tentang mata air suci itu? Apa yang akan kita temukan di sana?"
Kakek Badra mengangguk pelan. "Mata air itu adalah tempat yang sangat istimewa, Nak. Konon, airnya berasal dari air mata Dewi Ananta, dewi kebijaksanaan dan penyembuhan. Para penjaga kuil di masa lalu sering datang ke sana untuk mencari pencerahan dan menyembuhkan luka-luka mereka."
"Apakah airnya memiliki kekuatan magis?" tanya Sinta dengan nada penasaran.
"Diyakini begitu," jawab Kakek Badra. "Airnya konon bisa menyembuhkan penyakit, memperkuat tubuh, dan mempertajam pikiran. Tapi yang paling penting, mata air itu dipercaya sebagai tempat di mana batas antara dunia fana dan alam para dewa menjadi sangat tipis."
"Mungkin kita bisa mendapatkan petunjuk lebih lanjut tentang cara menggunakan kitab dan pedang di sana," kata Raka, merenungkan kata-kata Kakek Badra.
Saat mereka semakin mendekati lokasi yang ditandai di peta, hutan mulai berubah. Pepohonan menjadi lebih jarang, dan mereka memasuki sebuah lembah yang luas dengan padang rumput hijau yang terbentang sejauh mata memandang. Di kejauhan, mereka melihat sebuah bukit kecil yang puncaknya tampak memancarkan cahaya samar-samar, meskipun matahari belum terbit.
"Itu pasti tempatnya," kata Kakek Badra, menunjuk ke arah bukit itu. "Mata air suci berada di puncak bukit itu."
Mereka mempercepat langkah mereka, merasa semakin bersemangat saat tujuan mereka semakin dekat. Saat mereka tiba di kaki bukit, mereka melihat sebuah jalan setapak kecil yang berkelok-kelok menuju puncak. Mereka mulai mendaki dengan hati-hati, mengikuti jalan setapak itu.
Semakin tinggi mereka mendaki, cahaya di puncak bukit semakin terang. Ketika mereka akhirnya mencapai puncak, mereka melihat pemandangan yang menakjubkan. Di tengah puncak bukit, terdapat sebuah kolam air yang jernih dan tenang. Airnya tampak berkilauan dengan cahaya keperakan, dan di atas permukaan air, kabut tipis menari-nari dengan indah. Di sekeliling kolam, tumbuh berbagai macam bunga yang berwarna-warni dan mengeluarkan aroma yang sangat harum.
Di tengah kolam, tepat di atas permukaan air, melayang sebuah batu berbentuk mata yang sangat besar, memancarkan cahaya lembut yang memenuhi seluruh tempat itu. Itulah mata air suci yang mereka cari.
Mereka bertiga terdiam, terpukau dengan keindahan dan kedamaian tempat itu. Kakek Badra tersenyum lembut. "Selamat datang di Mata Air Dewi Ananta," katanya dengan nada penuh hormat. "Semoga tempat ini memberikan kalian kebijaksanaan dan kekuatan yang kalian butuhkan."
Raka merasakan tarikan yang kuat menuju kolam itu. Ia melangkah mendekat dan menatap airnya yang jernih. Ia melihat bayangan dirinya terpantul di permukaan air, dan di atas bayangannya, ia melihat sekilas sosok seorang ksatria yang mengenakan zirah bersisik naga, memegang Pedang Sinar Naga dengan gagah berani. Apakah ini pertanda? Apakah ini gambaran takdir yang menantinya? Saat ia hendak menyentuh air kolam itu, tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang dan mendengar suara bisikan samar yang membuatnya merinding. Kedamaian tempat itu terasa seperti ilusi yang rapuh, menyembunyikan misteri dan bahaya yang mungkin tersembunyi di dalamnya.