NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:360
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

“Okay, jadi… kita mau nyusup ke markas pasukan kegelapan yang dijaga ketat, tanpa rencana jelas, cuma modal nekat dan satu kantong kacang rebus?” tanya Lyra sambil mengangkat alis.

Kaelen menoleh pelan, masih sibuk mengoles sesuatu ke lengan Arven yang sempat kena racun makhluk rawa kemarin. “Itu bukan kacang rebus biasa. Itu—”

“Itu cemilan,” potong Lyra cepat. “Gue ngerti lo cinta sama camilan lo, Kaelen, tapi come on. Kita literally berhadapan sama segerombolan makhluk yang bisa berubah bentuk dan mungkin bisa mencium bau ketakutan.”

“Eh, tenang. Gue udah kasih deodorant ke Arven,” celetuk Kaelen santai, bikin Arven melirik tajam sambil berdesis, “Gue bisa racunin lo, loh.”

“Bisa,” kata Kaelen, “tapi kamu nggak tega. Karena secretly, kamu sayang sama aku.”

“Gue bener-bener pengen muntah sekarang,” ucap Lyra sambil berdiri, nendang ranting di depannya. “Ayo kita berangkat sebelum aku berubah pikiran dan tinggalin kalian di sini.”

Perjalanan ke markas pasukan kegelapan nggak semegah yang dibayangkan Lyra. Nggak ada ledakan. Nggak ada jalan dramatis yang terbuka otomatis begitu mereka datang. Yang ada cuma semak berduri, nyamuk segede kelingking, dan Kaelen yang terus-terusan ngunyah kacang kayak nggak ada hari esok.

“Astaga, lo tuh bisa diem bentar nggak sih?” bisik Lyra kesal, “Lo bikin suara kayak badut sirkus yang kelaparan.”

Kaelen, dengan ekspresi tak berdosa, cuma nyengir. “Ini penting buat stamina. Lo tahu nggak, kacang mengandung protein tinggi?”

“Lo juga mengandung masalah tinggi.”

Arven, yang berjalan paling depan, tiba-tiba berhenti. “Ssst. Dengar.”

Lyra dan Kaelen langsung diam. Angin malam yang dingin menggigit kulit mereka, dan suara langkah kaki berat terdengar dari balik kabut. Tiga pasukan berbaju hitam, mengenakan helm dengan lambang seperti mata terbalik, muncul dari balik rerimbunan. Mereka membawa tombak dan, yang agak bikin deg-degan, seekor anjing penjaga yang punya dua kepala.

“Gue vote buat kabur,” bisik Kaelen.

“Gue vote buat nyamar,” sahut Lyra.

Arven mengeluarkan sesuatu dari sakunya — sejenis serbuk bercahaya. “Gue vote buat—”

TCHUUFF!!

Seketika, mereka bertiga menghilang dari pandangan, tertutupi kabut ilusi.

“Tunggu… ini sihir apa?” tanya Lyra, masih bisa lihat kakinya sendiri yang sekarang transparan kayak hantu Disney.

“Sihir kabut halusinasi,” jawab Arven pelan. “Cuma bertahan dua menit. Jangan gerak banyak.”

Mereka bertiga membeku dalam posisi paling absurd: Lyra lagi setengah jongkok, Kaelen nyender di pohon sambil tetap ngemil, dan Arven berdiri kaku kayak penjaga patung.

Pasukan itu lewat dengan tenang. Si anjing dua kepala sempat ngendus ke arah mereka, tapi hanya mengerang kecil lalu ikut jalan lagi.

Begitu suara langkah menjauh, sihir menghilang dan tubuh mereka terlihat lagi.

“Dua menit?! Itu tadi rasanya kayak dua tahun,” keluh Kaelen, langsung duduk sambil elus dada.

“Kalau kita ketahuan, lo yang gue lempar duluan, Kael,” kata Lyra. “Karena lo paling berisik.”

“Gue udah biasa difitnah,” jawabnya dramatis. “Hatiku cukup kuat.”

Setelah berhasil lolos dari patroli penjaga, mereka akhirnya tiba di dekat markas musuh: sebuah benteng tua yang dikelilingi tebing curam dan kabut abadi. Di bawah cahaya remang bulan, bangunannya terlihat seperti sesuatu dari mimpi buruk — menara hitam, jendela sempit, dan obor menyala merah di setiap sudut.

“Yup, ini dia,” gumam Kaelen, sambil ngelap keringat. “Kalau tempat ini punya review di TripAdvisor, gue kasih setengah bintang doang.”

Arven jongkok di balik semak, memandangi gerbang utama yang dijaga empat orang. “Kita nggak bisa masuk dari depan.”

“Ya jelas. Masa kita mau dadah-dadah sambil bilang, ‘Halo, kami mata-mata, izinkan kami menyelinap?’” sindir Lyra.

Kaelen merogoh tasnya dan mengeluarkan... celemek. “Tenang. Kita masuk dari dapur.”

Lyra mengerutkan dahi. “Lo bawa celemek dari mana, Kael?!”

“Gue punya banyak rahasia,” jawab Kaelen penuh gaya. “Lo nggak tahu betapa pentingnya dapur dalam strategi infiltrasi. Semua penjaga pasti lapar.”

Dua puluh menit kemudian, entah bagaimana mereka berhasil menyelinap lewat pipa pembuangan yang baunya... ya, bayangkan kombinasi durian busuk dan kaus kaki basah seminggu. Tapi berhasil. Mereka tiba di dapur bawah tanah — tempat yang lebih mirip lab eksperimen makanan daripada dapur biasa.

Seorang koki dengan rambut keriting, janggut acak-acakan, dan wajah seperti udah tiga hari nggak tidur, berdiri di depan kuali besar. “Siapa kalian?!”

Tanpa pikir panjang, Kaelen melangkah maju. “Kami... magang. Dari Aedhira Timur. Kiriman baru.”

Si koki menyipit. “Aedhira Timur? Yang kemarin ngirim sup gosong?”

“Ehehe... itu eksperimen,” jawab Kaelen. “Kami siap menebus kesalahan dengan membuat... nasi goreng api naga!”

Koki itu tampak ragu. Tapi lalu mengangkat bahu. “Kalau kalian bisa masak, silakan. Gue butuh orang. Anak buah gue kabur semua.”

Dalam waktu lima menit, Kaelen udah sibuk masak-masak, Lyra sibuk meracik ramuan bius (katanya sih campuran daun tidur sama bawang putih — siapa tahu efektif), dan Arven berjaga di pintu.

“Gue nggak percaya kita lagi nyamar jadi chef,” desah Lyra sambil ngaduk ramuan.

“Gue bahkan nggak bisa masak mie instan tanpa bikin kebakaran,” bisik Kaelen sambil membalik telur dadar.

Namun entah gimana, ramuan tidur Lyra berhasil dimasukin ke dalam semangkuk sup daging, dan saat disajikan ke para penjaga dapur, satu per satu mulai ngantuk. Lima menit kemudian, seluruh dapur sunyi senyap.

Arven menutup pintu, mengunci dari dalam. “Cepat. Kita cuma punya waktu singkat buat nyusup ke ruang peta.”

Begitu semua penjaga dapur tumbang oleh ramuan tidur Lyra (yang diam-diam dia kasih nama Bubur Anti-Lelah), mereka langsung nyelinap keluar lewat pintu samping. Arven jalan paling depan, Kaelen di belakang sambil tetap bawa celemek (katanya buat kenang-kenangan), dan Lyra di tengah, sibuk ngintip-ngintip ke tiap sudut lorong.

“Ruangan peta harusnya ada di lantai atas, dekat menara pengawas,” bisik Arven sambil lihat denah yang dia curi dari salah satu meja penjaga.

“Bentar, itu peta asli atau gambar doodle?” tanya Kaelen, melihat coretan yang mirip ular kepanasan.

“Percaya aja,” sahut Arven. “Gue punya feeling bagus.”

Mereka naik tangga batu yang sempit, berliku, dan—tentu saja—berderit setiap kali diinjak. Seakan-akan tangganya ngomong, “Ada penyusup, guys!”

Begitu sampai di lantai dua, mereka menemukan lorong panjang dengan beberapa pintu kayu berat. Arven menghentikan langkah dan mengangkat tangan. “Pintu ketiga. Di balik situ harusnya ruang strategis mereka.”

Lyra menempelkan telinganya. “Sunyi. Tapi bisa jadi jebakan.”

“Bisa juga ruang karaoke yang lagi off,” gumam Kaelen. “Tapi ya udah, hajar.”

Arven mendorong pintu dengan hati-hati. Di dalamnya ada meja bundar besar, tumpukan gulungan peta, lilin menyala, dan—yang paling mencolok—sebuah kristal merah besar mengambang di udara.

“Mereka punya Veil Fragment!” desis Lyra.

Arven maju perlahan, memeriksa peta-peta di meja. “Ini dia... semua posisi markas bawah tanah dan jalur evakuasi mereka.”

Sementara itu, Kaelen berdiri di depan kristal. “Kalau ini Veil Fragment, kenapa warnanya merah?”

Lyra menoleh. “Karena udah dirusak. Mereka pakai untuk memperkuat ilusi dan ngerusak batas dunia.”

Arven menghela napas. “Kita harus ambil ini. Tapi gue nggak yakin bisa cabut kristalnya tanpa alarm bunyi.”

Kaelen celingak-celinguk. “Atau kita... pura-pura jadi pembersih kristal profesional?”

“Kaelen. Itu bukan karier yang nyata.”

“Tapi bisa jadi! Lihat, siapa tahu musuh butuh orang buat bersihin debu-debu sihir.”

Sebelum mereka bisa debat lebih jauh, langkah kaki terdengar dari luar. Suara sepatu berat, minimal tiga orang.

Lyra panik. “Gue bisa bikin kabut kecil buat nutupin kita keluar. Tapi cuma bertahan dua menit.”

“Lakukan,” sahut Arven cepat. Dia gulung beberapa peta ke dalam tas dan menarik Lyra ke belakang. “Ayo, sekarang!”

Lyra menggenggam liontin kristalnya dan berbisik cepat. Kabut lembut perlahan keluar dari tangannya, memenuhi ruangan kayak uap dari kukusan bakpao.

“Pergi... sekarang!” bisik Lyra.

Mereka menyelinap keluar tepat saat tiga penjaga masuk—dan mulai batuk-batuk karena kabut beraroma... euh, sedikit seperti campuran bawang dan sandal basah.

Mereka lari menuruni tangga, Kaelen hampir terpeleset dua kali. “Bisa nggak misi kita sekali aja nggak drama?”

Arven menahan tawa. “Nggak bisa. Udah takdir.”

Mereka berlari menyusuri lorong belakang, kaki mereka memantul cepat di atas batu licin. Di belakang, suara alarm mulai meraung—nggak pelan-pelan, tapi kayak kucing terjepit amplifier. Ya, berarti kristal merah itu terhubung ke sistem keamanan. Oops.

“Gimana bisa nyala?!” teriak Kaelen sambil terus lari.

“Mungkin karena ada yang PAKAI tangan kosong buat nyentuh kristal supermagis?” semprot Lyra, sambil melirik ke Arven yang... ya, masih ngantongin pecahan kecil kristal tadi.

Arven cengengesan. “Waktu itu kelihatannya kayak batu permen. Gimana gue tahu itu alarm aktif?”

“Bro, warnanya MERAH. Apa lo pikir itu dekorasi Natal?” Kaelen nyaris kepleset (lagi), tapi berhasil kembali seimbang seperti ninja gagal.

Di ujung lorong, mereka menemukan pintu kecil setengah tersembunyi. Arven menghantamnya dengan bahunya—dua kali, karena yang pertama malah dia yang meringis.

Begitu pintu terbuka, mereka langsung disambut hembusan udara malam. Di kejauhan, pasukan musuh mulai bergerak, banyak yang bawa obor, dan satu yang—anehnya—bawa ukulele. Entah kenapa.

“Lewat hutan!” teriak Lyra. “Itu satu-satunya jalan!”

Mereka masuk ke semak belukar, daun dan ranting mencakar-cakar tubuh mereka. Setiap beberapa langkah, Kaelen mengaduh, “Sumpah ini bukan skincare yang gue harapkan hari ini.”

Arven menoleh cepat. “Kita harus cari jalur air. Biasanya itu cara tercepat untuk keluar dari wilayah benteng.”

Mereka menemukan sungai kecil di balik semak dan langsung nyemplung. Airnya dingin banget, kayak pelukan mantan yang masih nyimpen dendam.

Mereka menyusuri aliran itu sejauh mungkin. Beberapa panah musuh sempat melesat dari balik pepohonan, satu hampir kena telinga Kaelen—yang langsung melipir dan nemplok ke Arven kayak cicak takut hujan.

“Lo yang bawa kristal, lo tamengnya!” teriak Kaelen sambil tetap pegangan.

“Ini bukan gojek syariah!” balas Arven sengit, tapi nggak nyuruh dia lepas juga sih. Cie.

Setelah satu jam penuh drama air dan pelarian setengah basah kuyup, mereka akhirnya menemukan gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun mini.

Begitu masuk, mereka menjatuhkan diri di atas batu-batu yang relatif kering. Nafas berat. Mata sembab. Kaelen nyaris ngorok.

Lyra duduk dan meraih tas. “Oke, mari kita lihat hasil panen hari ini.”

Dia mengeluarkan peta, beberapa catatan yang tampak kayak jurnal strategi musuh, dan pecahan kristal merah.

“Apa kita bisa memperbaiki ini?” tanya Arven, melihat kristal.

Lyra menggeleng. “Tapi kita bisa menelusuri energinya. Ini kayak GPS mistis.”

“Dan musuh sekarang tahu kita punya peta dan kristal,” tambah Kaelen, mencoba memeras bajunya tapi malah dapet lumpur.

“Yap. Kita resmi jadi target utama,” kata Arven santai, seolah itu berita gembira.

Mereka saling pandang. Mata Lyra menyala—bukan beneran nyala sih, cuma ekspresi penuh semangat dan nekat.

“Kita balik ke Aegiria. Kita tunjukin ini ke Dewan. Dunia harus tahu apa yang direncanakan oleh Duskborn. Kita bukan cuma bertahan... kita serang balik.”

Kaelen mengangkat tangan. “Tapi bisa makan dulu nggak sebelum revolusi? Gue udah mimpiin nasi goreng dari dua jam lalu.”

Semua tertawa—capek, getir, tapi juga lega. Perjalanan belum berakhir. Tapi malam ini, di gua sempit dengan langit berbintang yang mencuri-curi intip dari balik celah batu, mereka tahu satu hal pasti:

Mereka nggak sendiri. Dan mereka nggak akan berhenti.

---

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!