Kepergian Nayla menjelang pernikahannya, membuat semua orang bersedih, termasuk Laura sang kakak.
Ketika takdir membalikan kehidupan dan menulis cerita baru, Laura harus menerima kenyataan bahwa ia harus menjadi pengantin pengganti sang adik, Nayla. Untuk menikah dengan calon suaminya bernama Adam.
Namun, ketika akad nikah akan berlangsung, sang ayah justru menolak menjadi wali nikahnya Laura. Laura ternyata adalah anak haram antara ibunya dengan laki-laki lain.
Pernikahan yang hampir terjadi itu akhirnya dibatalkan. Fakta yang baru saja diterima lagi-lagi menghantam hati Laura yang masih di rundung kesedihan. Laura lalu meminta pada Adam untuk menunda pernikahan hingga dia bertemu dengan ayah kandungnya.
Bagaimana perjalanan Laura mencari ayah kandungnya? Apakah dia akan bertemu dengan ayah biologisnya itu? Dan bagaimana kisah cintanya dengan Adam? Baca kisah selanjutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Lima
Laura menatap layar proyektor dengan penuh konsentrasi. Di sampingnya, Daniel, bosnya yang selalu bersemangat, mengatur berkas presentasi dengan sigap. Suasana di ruang rapat itu tegang namun bersemangat. Mereka berada di tengah persaingan tender untuk proyek besar yang ditunggu-tunggu. Laura merasa jantungnya berdegup kencang, namun dia tetap berusaha menampilkan wajah tenang.
“Laura, kamu siap?” tanya Daniel sambil menatap gadis muda itu dengan penuh harapan.
“Siap, Pak. Kita pasti bisa,” jawab Laura sambil tersenyum sedikit. Sikap optimis Daniel selalu membuatnya merasa lebih percaya diri.
“Luar biasa! Ingat, jangan hanya tampil baik, tapi tunjukkan bahwa kita adalah pilihan terbaik untuk mereka.”
Laura mengangguk, mencoba menyerap semangat yang ditularkan oleh Daniel. Mereka berdua masuk ke dalam ruang rapat besar yang dikelilingi oleh dinding kaca. Di dalamnya sudah ada beberapa anggota tim dari perusahaan lain, dan di tengah mereka menanti wasit utama—investor asing yang dikenal sangat ketat.
Saat pesertanya mulai berkumpul, Laura merasakan ada sesuatu yang janggal. Dari jarak jauh, pandangannya menangkap sosok yang tidak asing. Seorang pria dengan jas hitam rapi, paras yang dia kenali, tapi tidak ingin dia akui. Ariel. Ayahnya. Jantung Laura bergetar. Dia merasa terjebak dalam pusaran emosi yang sulit dia atasi.
Bukan saja Laura yang tampak terkejut, tapi juga Ariel. Diam-diam dia mencuri pandang ke arah putrinya itu. Dia bertanya dalam hati, kenapa gadis itu bisa ada dan mendampingi Daniel, perusahaan saingannya.
“Laura? Kenapa wajahmu pucat?” Daniel menepuk bahunya, menariknya kembali dari lamunan.
“Tidak apa-apa, Pak. Hanya sedikit … terkejut,” jawab Laura, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Presentasi dimulai. Dalam hitungan menit, tim Laura bangkit, menjelaskan konsep dan ide dengan penuh semangat. Laura mendemonstrasikan fitur produk dengan baik, seringkali mencuri perhatian investor yang terlihat tertarik.
“Dan dengan kerjasama yang kami tawarkan, kami yakin dapat menggandakan profit Anda dalam waktu singkat,” tandas Laura dengan percaya diri.
Namun, saat mereka beralih kepada tim Ariel, ketegangan ini semakin terasa. Ariel berdiri di depan dengan karisma yang kuat, menjelaskan rencana bisnis mereka. Laura mendengarkan dengan cermat, perasaannya bercampur aduk. Dia ingin bersaing, tetapi di saat yang sama, ada rasa sakit yang tidak dapat dia hapus, perasaan karena tidak diakui sebagai putrinya.
Setelah presentasi tim Ariel berakhir, investor asing memberi kesempatan untuk bertanya. Laura mengangkat tangan, berani menjawab pertanyaan sulit yang dilemparkan para investor.
“Jadi, bagaimana Anda memastikan bahwa proyek ini tidak hanya menguntungkan tetapi juga berkelanjutan?” tanya salah satu investor.
Laura menjawab dengan lugas. “Kami tidak hanya fokus pada keuntungan jangka pendek. Kami merancang proyek ini dengan visi jangka panjang, yang memastikan kontribusi sosial dan keberlanjutan lingkungan akan menjadi bagian penting dari strategi kami.”
Mendengar jawaban itu, Ariel melirik Laura, alisnya terangkat. Namun Laura tidak ingin terpengaruh. Dia terus memberikan yang terbaik dalam presentasinya hingga akhir.
Setelah sesi tanya jawab berakhir, investor mengumumkan pemenangnya. Dalam diam, semua orang menantikan keputusan yang sudah ditunggu-tunggu.
“Dan pemenangnya adalah … tim yang dipimpin oleh Laura!” teriak investor tersebut dengan bersemangat.
Laura terkejut dan hampir tidak percaya. Jika hanya memikirkan tentang ketegangan yang tadi dia rasakan di dalam ruangan, dia tidak pernah membayangkan akan berakhir dengan kemenangan.
Suasana di ruang rapat itu mendadak riuh. Laura merasakan tepuk tangan menggema. Daniel hampir saja memeluknya karena gembira. Saat melihat Laura menghindar, dia baru tersadar. “Nah, benar'kan! Aku sudah bilang padamu, kita pasti menang!”
Laura tersenyum lebar, namun saat matanya beralih ke arah Ariel, tatapan ayahnya sangat dingin. Dia merasa seolah dia bukan siapa-siapa baginya. Ariel berpaling dan mulai meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan selamat atau bahkan menatapnya.
“Laura!” Daniel memanggilnya saat dia terlihat tertegun. “Kita perlu merayakannya!”
Laura terdiam, hatinya berat. Dia tidak dapat mengejar ayahnya. Kenapa harus begini? Kenapa dia tidak bisa mengakui keberadaannya?
“Laura?” Daniel menepuk bahunya lagi. “Kau tidak mendengarkan'ku?”
“Aku … maaf. Aku masih terkejut. Tak percaya dengan semua ini,” jawab Laura dengan suara bergetar.
“Semua ini nyata, Laura. Kau memang hebat. Kita harus merayakan ini!” Daniel tersenyum, lalu melanjutkan percakapan dengan anggota tim lainnya.
Laura melangkah ke sisi jendela besar, menatap keluar sembari memikirkan perasaannya. Dia tahu bahwa kemenangan itu terasa pahit. Di satu sisi, dia berhasil membuktikan kemampuannya. Namun, di sisi lain, dia merasa sepi.
Satu suara mengganggu lamunannya. “Jadi, kamu menang.” Suara itu keras dan penuh nada sinis.
Laura berbalik. Ariel berdiri di sana, dengan ekspresi dingin di wajahnya.
“Kenapa kamu tidak memberitahu mereka siapa kamu?” tanya Ariel sambil mempersempit pandangannya.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Pak Ariel,” jawab Laura coba bersikap tenang, meskipun hatinya bergejolak.
“Tidak ada yang perlu dimengerti. Kenapa kamu harus berada di sini? Kenapa kamu harus bersaing dengan saya?” suara Ariel terdengar tegas, bahkan menyakitkan.
Laura merasa terjepit. Kenapa ayahnya selalu menganggapnya sebagai ancaman? “Karena aku merasa ini adalah apa yang seharusnya aku lakukan. Ini adalah impianku.”
“Impianku juga, Laura!” Ariel langsung memotong ucapan gadis itu, suaranya meninggi. “Kita bukan di sebuah film. Ini adalah dunia nyata!”
Laura mengalihkan pandangannya, merasakan cairan hangat di sudut matanya. Dia tidak ingin menangis di hadapan pria ini. “Maaf, tapi aku tidak minta untuk dilahirkan. Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu kita. Tapi aku ingin membuktikan ada sesuatu yang dapat aku capai.”
Tatapan Ariel mulai melunak, tetapi ia segera mengalihkan pandangannya. “Kamu tidak perlu membuktikan apa pun padaku. Aku tau kamu ingin menunjukkan kemampuanmu!"
“Pak Ariel salah. Aku melakukan semua ini karena tanggung jawabku sebagai karyawan, bukan untuk membuktikan pada Bapak!"
Ariel seakan tersentak oleh kata-kata Laura. Dia terdiam sejenak, namun segera menatapnya lagi dengan penuh ketidakpedulian. “Hidup ini bukan cuma tentang kemenangan dan pembuktian kemampuan!"
Dan dengan itu, Ariel berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi. Laura seakan kehilangan semua semangatnya. Dia berdiri terpaku, di mana dia baru saja meraih kemenangan, tetapi dianggap sebagai perlawanan sama ayah kandungnya. Bukannya mengucapkan selamat, tapi pria itu seperti menyalakan permusuhan.
Ketika Laura sedang melamun, Daniel datang menghampirinya. “Laura, kamu melakukan pekerjaan luar biasa hari ini. Kita harus merayakannya.”
Laura tersenyum pahit. “Terima kasih, Pak. Aku akan berusaha sekuat tenaga. Tapi … terlalu banyak yang harus aku atasi.”
“Kita bisa melewatinya bersama. Ingat, kamu tidak sendiri,” kata Daniel, tulus.
Laura mengangguk, meresapi kata-kata itu. Meskipun dia merasa tersakiti oleh kehadiran ayahnya, setidaknya dia memiliki dukungan dari seseorang yang menghargainya.
“Baiklah, mari kita rayakan kemenangan ini!” teriak Daniel, menyebarkan kebahagiaan di antara tim mereka.
Namun, di dalam hati, Laura tahu perayaan itu hanya akan menjadi pengalih perhatian sementara. Kemenangannya belum tentu berarti dia telah mendapat pengakuan dari orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya, yang membuat dia hadir ke dunia. Tapi, Laura tetap bertekad akan terus maju, dan berusaha menjadi yang terbaik walau tanpa apresiasi dari kedua orang tuanya.
Di ruangan kantor lain, tampak Adam sedang termenung. Dia ingin sekali menemui Laura, tapi sudah beberapa hari ini dia mengawasi gadis itu, dia tampak sibuk dan sedang dekat dengan seorang pria, membuat niatnya ingin bertemu diurungkan.
"Apakah Laura masih mau bertemu denganku dan melanjutkan hubungan kami setelah dikecewakan papa Ariel?" tanya Adam dalam hatinya.
yang dl gak setuju sama Laura
Daniel kah
atau bapak nya?
gantian jd pengganti