NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20

Pagi itu, kelas terasa sedikit lebih lengang dari biasanya. Aruna duduk di bangkunya sambil melirik ke arah kursi kosong di samping jendela. Kursi milik Aletta.

Ia menoleh ke Laras yang tengah membuka bukunya. “Aletta belum datang ya?”

Laras mengangkat bahu. “Nggak lihat juga dari tadi.”

Namun pertanyaan itu langsung terjawab saat pintu kelas terbuka keras. Aletta muncul dengan ekspresi penuh badai. Rambutnya tergerai acak, tas disandang sebelah, dan sorot matanya—tajam, lelah, dan entah kenapa, menyakitkan untuk dilihat.

Laras menyambutnya dengan suara ringan, “Al, kamu udah siapin barang buat kemah nanti belum?”

Brak!

Tangan Aletta menghantam meja Laras. “Lara kamu bisa diam, kan?”

Semua terdiam. Laras mematung, kaget. Aruna pun ikut terdiam.

Aletta berbalik dan keluar kelas. Tanpa pikir panjang, Aruna menyusulnya.

Langkah Aletta cepat. Aruna mengikuti sampai ke sudut tangga yang sepi, dan sebelum sempat bicara, Aletta menarik tangannya kasar.

“Kenapa kamu ngikutin?” ucap Aletta tajam.

Aruna terkejut, “Aku cuma—”

“Kamu tahu soal hidupku, kan?” Aletta mendesis. “Kamu juga dengar berita itu. Sekarang kamu kejar-kejar aku, mau ngasihani juga? Mau gosipin juga ke teman-temanmu?”

Aruna menatapnya, masih mencoba tenang. “Aku cuma mau berteman.”

Aletta tertawa pelan, getir. “Berteman?” Ia memandang Aruna dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu hidup kayak di surga, Aruna. Punya keluarga yang utuh, teman yang sayang, dan bahkan hubungan yang sempurna. Kamu pikir hidupku—” ia menepuk dadanya sendiri, “—cuma drama tambahan biar kamu bisa merasa lebih bersyukur?”

Aruna membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.

Aletta melanjutkan, suaranya mengecil tapi lebih tajam, “Apa aku ini hiburan buat hidup bahagiamu?”

Aruna menunduk. Sekilas, semua yang ingin ia katakan terasa hambar. Ia hanya ingin merangkul, tapi tak tahu dari mana memulainya.

“Aku nggak butuh kasihan dari siapa pun, apalagi kamu.”

Aletta pergi meninggalkan Aruna begitu saja, langkahnya cepat menuruni tangga, seolah tak ingin satu detik pun terbuang untuk melihat wajah siapapun.

Aruna mematung sejenak di sudut itu, lalu menghela napas panjang. Ada sesuatu dalam mata Aletta yang sulit ia hapus dari ingatannya—campuran marah, sedih, dan kecewa. Perlahan ia kembali ke kelas.

Begitu masuk, teman-temannya mulai berbisik-bisik. Laras melirik cemas, sementara Nadia sudah membuka mulut hendak bertanya, tapi Aruna lebih dulu bicara.

“Teman-teman,” katanya lembut, “kalau nanti Aletta balik, tolong jangan tanya-tanya atau gangguin dia dulu ya. Kasih ruang.”

Beberapa anak tampak saling pandang. Laras mengangguk setuju.

Windi yang duduk paling dekat berbisik, “Arun, beneran ya... soal kabar orang tua Aletta yang—itu?”

Aruna menggeleng pelan. “Aku nggak tahu. Dan sebaiknya kita nggak ikut menyebarkan sesuatu yang belum pasti.”

Windi menunduk, merasa bersalah.

Sementara itu, di koridor luar kelas, Aletta nyaris membelok ke arah taman sekolah—tanpa sadar menabrak seseorang.

“Hup!” suara pria itu refleks.

Aletta terhuyung sedikit, lalu mendongak. Di hadapannya, Bagas berdiri dengan alis terangkat.

“Aletta?” Bagas menatapnya dengan kening berkerut. “Kamu nggak apa-apa?”

Aletta menggigit bibirnya, menahan air mata yang tiba-tiba muncul tanpa izin.

Bagas menatapnya lebih lama dari yang Aletta harapkan.

“Kamu nggak kelihatan baik.” kata Bagas lagi, nadanya lembut tapi penuh kekhawatiran.

Aletta tertawa tipis. “Lucu ya, semua orang nanya aku baik-baik aja, padahal nggak ada yang benar-benar siap kalau aku bilang... aku nggak baik-baik aja.”

Bagas menatapnya lebih dalam. “Aletta, maksudku, kamu bisa cari teman untuk bicara."

Aletta memalingkan wajah, menghindari sorot matanya.

“Aku nggak butuh simpati, Kak Bagas.”

“Tapi mungkin kamu butuh teman,” jawab Bagas pelan.

Tangan Aletta mengepal. Hatinya berdebar aneh—antara ingin percaya... dan takut kembali dikecewakan.

Kelas mendadak hening. Semua pasang mata tertuju pada pintu.

Aletta masuk dengan langkah santai... diantar oleh Bagas.

Ya, Bagas.

Bahkan suara gesekan sepatu di lantai terasa terlalu nyaring. Bagas mengangguk kecil, lalu segera berbalik tanpa sepatah kata pun, meninggalkan kelas seperti pemeran utama dalam drama Korea yang baru saja menyelamatkan tokoh perempuan dari ancaman.

Aruna hanya diam. Mulutnya tak terbuka, tapi pikirannya berisik sekali. Antara kesal dan ingin memaklumi. Terserah deh, Bagas. Lagi-lagi kamu bikin rumit.

Jam istirahat tiba. Di kantin, Aruna duduk di meja biasa, menatap makanan yang ada di hadapannya sambil mengaduk-aduk tanpa niat.

“Ini makanan atau pasir, Runa?” tanya Laras dengan alis terangkat.

“Lagi malas makan,” jawab Aruna singkat, masih mengaduk nasi goreng yang sudah nyaris berubah jadi bubur.

Windi ikut mencondongkan badan, melihat ke arah meja lain. “Ooo... atau karena dia?” bisiknya pelan.

Aruna mendongak dan melihat Aletta duduk bersama Atta. Keduanya tampak serius membahas sesuatu. Entah tugas, entah kehidupan, atau... mungkin menu makan siang?

“Aku ke toilet dulu,” ucap Aruna tiba-tiba sambil mengambil ponselnya dan berdiri.

“Sakit perut atau sakit hati, Bu?” goda Windi.

Aruna hanya mengangkat alis. “Lebih tepatnya, nyari ruang napas.”

Lalu ia pergi. Meninggalkan makanan, meninggalkan tatapan teman-temannya... dan meninggalkan satu pertanyaan besar di benaknya: Kenapa semuanya jadi serumit ini?

Aruna berdiri di depan wastafel, menyalakan air dan membiarkannya mengalir di sela-sela jarinya. Air dingin sedikit menenangkan pikiran yang sedang tidak tenang. Ia menatap bayangannya di cermin, mencoba menarik napas panjang.

Tenang. Ini cuma makan bareng... dan diantar ke kelas. Nggak berarti apa-apa. Kan?

Pintu toilet terbuka. Aletta masuk, langkahnya mantap, ekspresinya tak terbaca. Aruna langsung membenarkan jaketnya, bersiap untuk pura-pura tenang.

“Aku nggak mau kamu salah paham,” kata Aletta, langsung to the point.

Aruna berpaling pelan. “Salah paham tentang apa?”

Nada suaranya terdengar datar, tapi sorot matanya menunjukkan sedikit pertahanan.

Aletta menyandarkan tubuhnya ke dinding. “Aku udah tahu kamu tunangan sama Kak Bagas.”

Aruna mengangguk kecil, membasuh sisa sabun di tangannya. “Nggak ada yang disembunyikan. Lagipula, kalau Pak Bagas mau dekat dengan siapapun... termasuk muridnya sendiri, itu hak dia, kan?”

Nada bicara Aruna tetap tenang, namun dingin. Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibir Aletta.

“Kamu ngerti maksudku,” ucap Aletta pelan, tapi tajam. “Jangan terlalu polos.”

Aruna tidak menjawab. Ia hanya menatap cermin lagi, kali ini membiarkan bayangannya menatap balik Aletta.

Aletta merapikan rambutnya, lalu berjalan keluar sambil berkata, “Aku harap kamu nggak marah sama Kak Bagas.”

Dan pintu toilet tertutup kembali, meninggalkan Aruna sendirian, diam dalam banyak kemungkinan.

Kelas mulai kembali seperti semula, seolah ledakan emosi tadi tidak pernah terjadi. Nadia melirik cepat ke arah Aletta yang kini duduk sambil tersenyum kecil, wajahnya sedikit lebih cerah dibanding tadi pagi.

“Lihat deh,” bisik Nadia pelan pada Windi, “Aletta udah bisa senyum.”

Aruna tidak menanggapi. Ia hanya menarik napas dan duduk kembali di bangkunya, mencoba menenangkan pikiran yang masih berisik. Dari sudut matanya, ia melihat Aletta menoleh ke arahnya.

“Aruna. Kita akan berkemah, kan?” tanya Aletta tiba-tiba.

Aruna menoleh cepat. “Iya. Hari Jumat.”

Aletta mengangguk pelan, lalu kembali diam. Windi mendekat, berbisik hati-hati. “Ada masalah?"

Aruna menggeleng pelan, tanpa kata. Windi tidak mendesak.

Sore itu, sepulang sekolah, Aruna berjalan ke lapangan basket. Ia tidak membawa tujuan lain selain melempar bola sekeras yang ia bisa. Setidaknya itu bisa sedikit meredam rasa aneh di dadanya.

Ia melempar bola sekali. Pantas. Dua kali. Lebih baik. Ketiga kalinya, bola itu tertangkap oleh seseorang.

Atta.

Cowok itu memantulkan bola pelan sambil mendekat. “Mau ikut main?”

Aruna menggeleng sambil tersenyum tipis. “Nggak. Aku mau pulang.”

Atta menahan bola di pinggang, matanya serius menatap Aruna. “Aletta satu kelas sama kamu, kan? Aku harap kamu bisa berteman baik.”

Aruna menaikkan alis. “Aku udah bersikap baik. Aku temenan sama dia. Kalau Aletta menolak, aku bisa apa.”

Atta menggeleng pelan. “Maksudku... jangan bahas soal keluarganya. Apalagi di sekolah. Dia lagi rapuh.”

Aruna mengerutkan kening. “Aku nggak pernah bahas, Ta.”

Atta terdiam sesaat, lalu mengangguk, seolah puas dengan jawaban itu. “Oke. Aku cuma... mau jaga dia juga. Dia orang yang baik. Cuma lagi kacau.”

"Kamu menuduhku?"

"Nggak. Orang tua kita berteman baik sudah seharusnya anak-anaknya berteman juga."

Aruna mengangguk pelan. “Aku ngerti.”

Tapi dalam hati, ia bertanya-tanya. Apa semuanya sekarang harus menjaga Aletta? Lalu siapa yang menjaga perasaan dirinya sendiri?

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!