NovelToon NovelToon
FORBIDDEN PASSION

FORBIDDEN PASSION

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Konflik etika / Cinta Terlarang / Barat
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Lyraastra

Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.


Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

WISKI YANG MANIS

Rasa pedas dan menyengat memenuhi mulutnya, membuat Ruby memejam kuat dengan dahi yang berkerut. Di jauhkan gelas wiski dari bibirnya, mulutnya tidak bisa menerima rasa asing itu.

"Rasanya... pedas, aku tidak bisa menelannya."

Dalam duduk yang tenang, Rhys mengamati semua itu. Namun tak ada ekpresi aneh diwajahnya.

"Aku tidak akan memaksamu lagi. Tapi, kau hanya perlu meneguknya kembali, dan kau akan menerima rasa asingnya."

Seperti sihir yang menguasai pikiran, suara berat nan berbisik, seolah bujuk rayu yang memabukkan. Ruby menimang kembali, tangannya bergerak tanpa kendali, mengangkat gelas itu sekali lagi ke bibirnya. Kali ini, ia meneguknya lebih banyak, dan tiba-tiba rasa pedas itu mulai diterima.

Ini pengalaman pertamanya meminum alkohol, dan semuanya berawal dari pria yang selalu ia takuti. Ternyata, anggapannya salah. Minuman memabukkan yang selalu membuatnya muak, karena mengingatkannya pada ketergantungan Amos pada alkohol, kini dapat ia toleransi.

Ruby letakkan gelas kecil itu di meja, ia menipiskan bibirnya dan menunduk kecil.

"Bagaimana rasanya?"

"Rasanya... sangat kuat. Aku tidak terbiasa."

"Itu wajar," balas Rhys singkat. Tanpa ragu, ia turut mengambil cangkir teh chamomile yang mulai dingin, membuat Ruby memperhatikannya, bingung. Menyesapnya cepat, lalu ia mengerutkan kening, jari-jarinya yang panjang mengusap bibirnya dengan gerakan halus. Sejenak, ia terdiam, menatap teh yang tersisa di cangkir, sebelum akhirnya menambahkan, "sama seperti kau dengan wiski tadi. Aku tak terbiasa dengan rasanya."

Ruby, tanpa sadar, mengeluarkan tawa. Tubuh kecilnya terpusat sepenuhnya pada Rhys. "Tuan Rhys seperti anak kecil yang tidak menyukai sayur. Lucu sekali," racaunya.

Ini pertama kalinya Rhys melihat Ruby tertawa seperti ini, tawa kecil dan terdengar lucu, yang masih bergema samar-samar, beresonansi dalam dada Rhys, menciptakan getaran yang tak terduga. Ia terpaku, bahkan racauan wanita itu tak ia perdulikan, sibuk mengamati setiap detail wajah yang biasanya tersembunyi di balik ekspresi tegang dan waspada. Kini, di bawah cahaya redup, ia bisa menikmati wajah ayu dan tawa merdu walaupun hanya terjadi sebentar saja.

"Kau mulai mabuk."

Sengih Ruby tak luntur, justru semakin terlihat manis. Pupil birunya intens memandang wajah Rupawan Rhys yang mulai tenggelam dalam tatapannya.

"Ehm... Aku... Sedikit pusing. Tapi aku tidak mabuk, Tuan."

"Cukup segelas kecil, efeknya lebih dari pusing. Tapi kau akan merasa tenang."

Ruby mengangguk saja, lalu memiringkan kepalanya, tersenyum manis pada Rhys."Terima kasih, Tuan," katanya, suaranya hampir berbisik.

Rhys sedikit mengangkat satu alis. "Untuk apa?"

"Untuk... menunjukkan sesuatu yang baru. Alkohol—um, wiski. Ya, aku sedikit menyukai rasa anehnya," jawab Ruby, matanya berkedip-kedip menghindari tatapan Rhys. Jari-jarinya memainkan ujung meja bar. "Di sisi lain, aku... takut padamu, Tuan Rhys. Selalu."

Kemudian, dengan cepat Ruby mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum. "Tapi... tapi mungkin aku salah."

Mata Rhys tidak pernah meninggalkan mata Ruby, dengan tatapan yang tak terbaca. Sudut bibirnya tertarik sedikit. "Aku memang bukan orang yang mudah didekati. Tapi, jika kau mau mencoba memahami, aku tidak selalu seperti yang kau bayangkan. Aku bisa menjadi sangat berbahaya... atau sangat lembut, tergantung padamu." Ia menekankan kata "berbahaya," suaranya berdesir di telinga Ruby.

"Uh, apa aku bisa mencobanya?"

"Malam ini saja. Besok, kau akan kembali dengan ketakutanmu. Malam ini kita bisa bermain-main dengan melawan rasa takutmu."

Ruby menggaruk tengkuk, menatap Rhys dengan polos. "Bagaimana caranya?"

Rhys membiarkan keheningan menyelimuti mereka sejenak, menikmati ketegangan yang tercipta. Lalu, dengan gerakan yang begitu halus sehingga hampir tak terlihat, Rhys menarik kursi Ruby lebih dekat, membuat wanita itu berpegangan pada lengannya. Kemudian, dengan suara rendah dan berat, ia berbisik, "dengan membiarkan aku menunjukkan padamu, betapa menyenangkannya melepaskan kendali."

"Melepaskan... kendali?" ulang Ruby. Matanya mencoba menghindar, namun ia bisa merasakan tatapan itu membakar kulitnya.

"Benar. Ingin mencoba?"

Ruby ragu mengangguk.

Rhys mencondongkan tubuhnya. Napasnya hangat di leher Ruby, menciptakan sensasi geli yang tak terduga. Bibir Rhys menyentuh kulit lehernya, sentuhan lembut yang berubah menjadi kecupan singkat, meninggalkan jejak panas yang merayap di kulit Ruby. Ruby meremang, tubuhnya menegang, namun rasa gelisah itu bercampur dengan sensasi aneh yang membuatnya tak mampu menolak. Rhys melanjutkan, menelusuri garis rahangnya hingga ke telinga, menghembuskan nafas hangat nan sensual, membuat Ruby setengah sadar, terlena dalam suatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia ingin menolak, ingin menepis, mendorong Rhys, namun tubuhnya terlalu lemas, pikirannya terlalu kabur karena efek wiski.

Rhys sendiri merasakan efek wiski yang masih berputar di kepalanya. Sensasi hangat dan sedikit kehilangan kesadaran membuatnya berani melakukan hal yang biasanya tak akan pernah ia lakukan. Sentuhan Ruby, kehangatan tubuhnya yang dekat, memicu sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang ia sendiri tak mengerti. Ia menikmati reaksi Ruby, ketegangan, ketakutan, dan sedikit... hasrat? Pikirannya melayang, terbawa oleh aroma rambut Ruby yang lembut, sentuhan kulitnya yang halus. Biasanya ia selalu terkendali, selalu dingin dan kalkulatif, tetapi malam ini, wiski dan kedekatan dengan Ruby telah mencairkan lapisan es yang selama ini membungkusnya.

Ia menarik sedikit kepalanya, menatap wajah merona wanita di dekatnya itu. "Katakan padaku, apa kau suka?"

"I-iya... sedikit. Tapi aku tidak terbiasa."

"Ini hanya permulaan. Tapi aku tidak akan melakukan hal lebih padamu, aku akan menahan diri."

Ruby mengerjap, masih sedikit linglung. "Apa maksudnya...?"

"Maksudku, untuk saat ini tidak. Nantinya, kita lihat saja."

Ruby semakin dibuat bingung. Pria itu terlalu berbelit untuknya yang sekarang dibawah kendali alkohol. Akan tetapi, ia memilih diam sembari memperhatikan sosok Rhys yang menenggak penuh isi dari gelas kecil. Tanpa sadar ia tersenyum kecil, Rhys telalu tampan bahkan hanya dilihat dari samping. Terus memindai, semua yang ada pada pria itu terlalu sempurna.

Dan mungkin, wajah tampan itulah yang akan terus terbayang hingga ia tertidur.

...****************...

Pagi hari di mansion Throne adalah kekacauan yang tak terkendali. Margareth, kepala pelayan sekaligus pengawas dapur memberikan instruksi kepada para pelayan, termasuk juga Ruby. Namun, berbeda dari biasanya, sang koki itu tampak linglung, kesulitan menangkap apa yang dikatakan Margareth. Tetapi Margareth sadar akan itu, mata tuanya terus memperhatikan Ruby yang sebelumnya beberapa kali salah mengambil bahan masakan.

"Ada apa denganmu, Nak? Tidak biasanya kau kacau seperti ini." Margareth meletakkan sendok kayu yang dipegangnya dan mendekat pada Ruby.

"Ah... aku tidak apa-apa, Bibi," jawab Ruby, suaranya serak. Ia menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan yang masih berlumuran tepung. "Hanya sedikit pusing saja."

Saat itu juga, Eden datang tergesa-gesa, membawa bahan masakan; sekeranjang buah dan sayur segar. "Bibi Margareth! Maaf, hanya ada satu kotak stroberi yang tersisa. Aku sudah mencarinya ke mana-mana, tetapi tidak ada lagi."

"Baiklah, tidak apa-apa. Gunakan saja stroberi yang ada."

Ruby menerima keranjang dari Eden dan mengeluarkan isinya. Ia terdiam sejenak, lalu berkata, "jika stroberi tidak cukup, kita bisa juga menggunakan alpukat atau pisang. Letakkan semuanya di atas pancake dan oatmeal. Setengah stroberi bisa digunakan untuk milkshake Nona Celeste."

Eden melirik Margareth, lalu berdehem. "Sayangnya, Signor Rhys sangat membenci pisang."

"Ouh..." Ruby memanggut. "Jika begitu, porsi Tuan Rhys hanya menggunakan stroberi saja."

"Ya, Nak. Pastikan saja. Kita harus memastikan semua hidangan siap tepat waktu. Jika ada kesulitan lain, segera beri tahuku."

"Terimakasih bibi Margareth."

Margareth mengangguk, lalu berbisik sesuatu kepada Eden sebelum menuju ruang makan untuk memeriksa persiapan meja makan. Wajahnya yang serius membuat Eden mengerutkan dahi.

"Kau sakit?" ucap Eden, intinya.

"Aku sudah baik-baik saja, Eden. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sekarang. Salah, bukan sekarang, sudah beberapa hari kemarin."

"Ruby, ceritakan padaku jika kau ingin berbagi, tidak perlu memaksakan diri menampung semuanya."

Ruby mendesah, tangannya memotong buah dengan gerakan lembut. Pisau kecil itu terasa berat, seakan beban pikirannya ikut menambah bobotnya. "Aku takut dengan sidang putusan paman pagi ini. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana akhirnya nanti."

Eden yang sedang mencuci tangan di wastafel terhenti, kepalanya seketika menoleh kaget pada Ruby. "Sidang putusan? Apa yang terjadi dengan pamanmu? Dia dituduh? Atau ini kasus salah tangkap?"

Ruby tampak ragu, jari-jarinya memegang pisau kecil yang sedari tadi ia genggam erat. "Aku tidak bisa menjelaskan semuanya padamu. Terlalu rumit dan menyakitkan untuk diungkapkan. Tapi, pamanku... terbukti bersalah."

"Kau tidak ingin menjelaskannya semuanya, ya? Ah, baiklah. Aku tidak akan memaksamu. Apa pun hasilnya nanti, kau tidak sendirian dan semoga pamanmu tetap tegar menghadapi semuanya."

Bibir Ruby mengerucut, ia tinggalkan pisau kecil itu begitu saja. Menghadap pada Eden yang menunjukkan wajah empati untuknya. "Eden... terima kasih. Aku sedikit lega setelah kau mendengar ceritaku," lontarnya.

"Jangan dibiasakan dipendam sendiri, itu tidak baik untuk kesehatan mentalmu. Kau boleh berbagi cerita pada siapa pun itu, termasuk padaku."

"Akan ku usahakan," jawab Ruby. Ia menarik napas dalam-dalam, bibirnya menipis. "Boleh aku meminta satu hal lagi padamu Eden?"

"Tentu saja. Apa pun itu, aku akan membantumu semampuku."

"Sidang di adakan pagi. Setelah selesai dengan semua ini aku harus bersiap-siap ke pengadilan. Bisa tolong kau yang siapkan sarapan ini ke meja makan?"

"Hanya itu? Dengan senang hati. Ini adalah pekerjaanku sehari-hari," balas Eden dengan riang, menunjukkan kesediaannya untuk membantu.

"Terima kasih, Eden. Kau sangat baik."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!