Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.
Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SI TAMPAN YANG MENYEBALKAN
"Uh?" Megan sebelumnya tidak mengerti. Tetapi, setelah melihat tatapan mata pria itu, ia kemudian mengikuti arah pandangnya.
"Hai, Pixie?"
"Tuan Zade? Apa yang Anda lakukan di sini?" Sentak Ruby terkejut, kala matanya menangkap lebih jelas wajah Zade yang tersenyum lebar padanya.
Sedangkan Zade sedikit menilai tampilan Ruby. Celemek putih yang sedikit kotor karena sisa-sisa masakan, rambutnya terikat asal. Ia menggeleng kecil, tatapannya tidak meninggalkan wajah polos itu. "Memesan makanan dan juga ingin bertemu denganmu."
"Jadi... anda yang meminta untuk bertemu, untuk apa?" Ruby masih bingung, begitu juga dengan Megan. Ingin langsung pergi, tetapi Megan ingin tahu lebih jelas hubungan diantara keduanya.
"Aku tidak melihatmu sejak pagi. Sebab itu aku menemuimu di sini, di tempat kerjamu. Lagipula perutku lapar, jadi tidak ada salahnya, kan?"
Ruby mengangguk pasrah. "Baiklah. Tapi, aku hanya memiliki waktu sebentar karena dapur membutuhkanku. Jika Tuan memerlukan sesuatu atau ingin mengatakan apapun itu, mohon sebutkan secepatnya."
"Duduklah dulu, aku tidak mau berbicara harus mendongak seperti ini. Kau mau otot leherku menjadi tegang, huh?"
Ruby menarik kursi dan duduk di depan Zade, tetap terhalang meja. Zade yang memperhatikan gerak-geriknya tersenyum sempurna dengan kedua kaki terentang lebar, memenuhi sebagian besar ruang. Posturnya santai dan nakal, berbeda dengan Ruby yang canggung dikursi duduk.
"Ada bagusnya kita berbicara berdua saja. Kau tidak keberatan meninggalkan kami di sini, Nona manis?" kata Zade, tanpa basa-basi, tatapannya menyapu Megan.
"Tentu, tentu saja. Aku... aku juga harus melayani pelanggan lain, permisi." Megan melirik Ruby dengan tatapan penuh makna, ia tak rela, tetapi tetap bergegas pergi.
"Sekarang apa yang Anda ingin katakan?"
"Hei, aku cicipi dulu makanan ini. Kau buru-buru sekali ingin pergi dariku," sahut Zade. Ia mecondongkan tubuhnya kedepan, lalu menyendok moules frites yang sudah terbuka dari cangkangnya. Kunyahannya pelan, bersama dengan tatapannya yang tak sepenuhnya lepas dari Ruby.
Ruby memalingkan wajahnya kesamping sejenak, hanya untuk menghela nafas panjang. Jika Zade seperti ini terus, ia yakin, akan semakin sulit menghindari pria muda itu.
Keheningan menyelimuti mereka, hanya suara sendok yang beradu dengan cangkang kerang. Ruby perhatikan pria di depannya yang menikmati dua porsi makanan secara bergantian. Gerakan tangannya tak begitu terampil saat menyisihkan kerang pun menarik perhatiannya. "Aku baru sadar, Tuan memesan dua hidangan yang bahan utamanya siput dan kerang. Ya itu mungkin berbeda, tetapi masih memiliki kesamaan. Sepertinya tuan sangat menyukainya?" lontarnya memecah keheningan.
"Aku belum pernah mencoba dua menu ini, jadi aku memesannya saja. Aku kira rasanya akan aneh, ternyata salah, ini sangat enak. Mungkin juga karena dimasak olehmu."
"Ya, karena Tuan yang memaksanya, bukan?"
"Bukan memaksa," Zade menyela, garpu di tangannya terhenti menusuk daging kenyal itu. "Hanya sedikit… persuasi. Salah satu strategiku, agar aku bisa kembali merasakan hasil dari buatan tanganmu."
Ruby mendengus, sudut bibirnya sedikit tertarik. "Itu berlebihan. Karena setiap hari Tuan merasakan masakanku."
"Dan aku tidak akan pernah bosan," sahut Zade lantang, kembali mengarahkan garpu yang menusuk daging cangkang kemulutnya.
"Akupun berharap semua orang tidak akan bosan dengan masakanku. Jadi, apa yang ingin anda katakan padaku sekarang?"
"Tidak ada."
"Maksud Tuan?"
"Ya, tidak ada."
"Lantas mengapa Anda memintaku kemari? Tuan harus mengerti bahwa pekerjaanku begitu banyak di dapur, dan sekarang harus kutinggalkan begitu saja." Ruby sedikit meninggikan nada suaranya, ia kesal dan merasa di permainkan oleh Zade. Ia mulai bangkit dari duduknya.
"Hei..." Zade mengangkat wajah, cepat-cepat meraih tangan Ruby setelah wanita itu melewati kursi duduknya. Jari-jari tangannya mencengkeram pergelangan tangan Ruby, menahannya. "Sebentar saja temani aku di sini, jangan pergi dulu."
Ruby menoleh, menatap kedua tangan mereka yang bertaut, kemudian ke wajah tampan itu. "Lepaskan," desisnya, berusaha menariknya dari cengkraman kuat Zade.
"Aku harus kembali ke dapur. Aku terlalu banyak membuang waktu kerjaku, Tuan."
Zade sedikit mengendurkan genggamannya. Tatapannya menembus jauh ke dalam netra biru Ruby. Suaranya, lebih rendah dan serius dari biasanya. Ia berkata tanpa basa-basi lagi, "meskipun Rhys mengancammu untuk menjauhiku, itu bukanlah solusi terbaik. Karena aku akan selalu menemukan segala cara agar kau selalu melihatku."
Sepersekian detik Ruby tertegun, meyakini kesungguhan ucapan pria muda itu dari keseriusan wajahnya. "Apa yang harus aku lakukan agar anda berhenti?"
"Kau harus tahu hal ini. Aku bukanlah pria yang mudah berhenti begitu saja jika menyangkut seseorang yang ku kagumi."
"Hm, baiklah...." Ruby menggigit bibir bawahnya. Ia ragu-ragu. Meskipun ucapan Zade terdengar meyakinkan, usia Zade yang lebih muda membuatnya berpikir bahwa ini hanyalah sebuah fase, sebuah gairah sesaat yang akan segera sirna. "Jadi, segera lepaskan tanganku Tuan" jelasnya.
"Ya, tapi jangan menjauhiku." Zade menurut, membuat Ruby dengan cepat menyembunyikan tangannya di belakang tubuhnya sendiri.
Ruby segera pergi, meninggalkan Zade yang masih tersenyum tipis memperhatikannya. Langkahnya tergesa, namun ia cukup lega bisa melarikan diri dari anak majikannya itu. Sebelum Ruby mencapai pintu dapur, langkahnya mendadak terhenti. Megan menghalangi jalannya dengan sebuah nampan kosong.
"Kau belum memberi penjelasan. Pria muda itu siapa? Mengapa dia begitu dekat denganmu?"
Tak terhitung berapa kali Ruby menghela napas panjang. Matanya menatap lelah wanita tinggi di sampingnya yang terlihat begitu menggebu-gebu rasa ingin tahunya. Ruby menggigit bibir bawah sejenak sebelum menjawab, "Putra dari Nyonya Beatrice, dia kemari hanya ingin menyampaikan sesuatu padaku. Itu saja."