Terjebak dalam sebuah pernikahan yang tidak pernah dia impikan membuat kehidupan Anik Saraswati menjadi rumit.
Pernikahannya dengan seorang dokter tampan yang bernama Langit Biru Prabaswara adalah sebuah keterpaksaan.
Anik yang terpaksa menjadi mempelai wanita dan Dokter Langit pun tak ada pilihan lain, kecuali menerima pengasuh putrinya untuk menjadi mempelai wanita untuknya membuat pernikahan sebuah masalah.
Pernikahan yang terpaksa mereka jalani membuat keduanya tersiksa. Hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka.
Jika ingin membaca latar belakang tokoh bisa mampir di Hasrat Cinta Alexander. Novel ini adalah sekuel dari Hasrat Cinta Alexander
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Putri761, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengetahui Anik Hamil
Musim hujan mulai tiba. Seperti pagi ini yang sedang dilanda gerimis, membuat Anik sebenarnya enggan untuk berangkat ke tempat kerja.
Tapi saat menatap perutnya yang masih datar, dia pun sadar jika dia harus bekerja keras untuk anaknya kelak. Dirinya tidak akan membiarkan anaknya bernasib sama dengannya meskipun harus lahir tanpa sosok Ayah.
Wanita itu pun keluar dari rumah dengan menggunakan payung. Dia pun harus berjalan beberapa meter untuk bisa menghentikan angkutan umum.
Baru saja dia melangkah keluar dari gerbang rumah kontrakannya. Sebuah mobil yang dia kenal melewatinya, kemudian mobil itu sedikit mundur dan berhenti tepat di sebelahnya hingga membuat Anik menghentikan langkah.
"Hae, ayo masuk!" teriak Biru saat membuka kaca jendela mobil.
"Nggak usah, Mas! Terima kasih!" balas Anik yang merasa tidak nyaman jika terus-menerus bertemu Biru.
"Ayolah, kebetulan kita searah." bujuk Biru. Anik merasa tidak enak jika sampai Biru merasa wanita yang menarik simpatinya terus saja menghindarinya.
" Emang apa salahnya, Ras? Aku bukan penjahat, lo!" desak Biru hingga membuat Anik serba salah.
"Baiklah, Mas Biru!" jawab Anik, hingga Biru membukakan pintu mobil dari dalam.
Wanita itu masuk ke dalam mobil setelah menutup payungnya. Anik mendapati tatapan biru yang tak berkedip hingga wanita itu pun menundukkan wajah dengan perasaan yng entah.
" Kamu sudah sarapan?" tanya Biru setelah melakukan mobilnya kembali. Senyum masih melekat di wajah tampannya apalagi saat lirikan matanya kembali tertuju pada wanita di sebelahnya.
" Sudah, Mas!" bohong Anik karena dia tidak ingin pria gagah yang mengenakan seragam dinasnya itu mentraktirnya seperti kemarin.
Sebenarnya Anik merasa nervous saat mendapati sikap Biru yang tak canggung untuk memberikan perhatian padanya.
"Tapi wajahmu pucat sekali!" jawab Biru.
" Kita sarapan dulu, ya!" lanjut Biru dengan membelokkan mobilnya di sebuah rumah makan yang jadi langganannya untuk sarapan.
" Mas Biru... "
"Tapi aku sudah sarapan." bohong Anik, dia memang enggan untuk sarapan.
" Temani aku sarapan." Biru memaksa. Dia sengaja melakukannya, karena Biru yakin Anik belum sarapan.
Biru membuka pintu mobilnya, kemudian Anik pun terlihat turun dari pintu sebelah.
Biru yang akan menghampiri Anik pun terkejut saat wanita yang baru saja menutup pintu mobil itu pun tubuhnya berangsur luruh ke bawah.
"Ras..." panggil Biru yang sedang sigap lngsung menangkap tubuh yang sambil tergeletak di tanah basah itu.
" Saras!" panggil Biru sambil menepuk-nepuk wajah pucat pasi itu.
Tak ingin berfikir panjang lagi. Biru melarikan Anik ke sebuah klinik terdekat. Pria itu merasa cemas dengan kondisi wanita yang sempat tak sadarkan diri.
Masuk ke dalam UGD dan ditanya macam-macam oleh perawat tapi dia tidak tahu harus menjawab apa, hingga akhirnya Anik dibawa ke bagian Obgyn.
" Bapak tidak tahu, jika kehamilan istri bapak sudah memasuki usia sepuluh minggu?" tanya dokter kandungan setelah melakukan pemeriksaan.
" Anak pertama ya?" lanjut dokter kandungan itu sambil tersenyum saat melihat Biru masih nampak shock.
" Wajar jika anak pertama. Lain kali periksa kandungan teratur dan jangan biarkan istri anda kelelahan ya, Pak." Dokter kandungan itu terus saja berbicara meskipun Biru masih bermain dengan rasa terkejutnya.
Di sela-sela obrolan mereka, seorang perawat datang memberi tahu jika Anik sudah siuman.
" Iya ,Dok." jawab Biru memaksakan diri bersikap biasa. Dia pun tidak bisa memberikan jawaban apapun kecuali mengiyakan.
Mereka pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Anik yang tengah berbaring di ruang periksa dokter.
" Bagaimana, Ibu? Apa sudah merasa lebih baik?" tanya dokter wanita itu dengan begitu ramahnya.
Anik pun menoleh ke arah dokter tersebut, kemudian tatapannya tertuju ada pria disebelah sang dokter dan berkata, " alhamdulilah lebih baik, Dok!" jawab Anik.
" Saya boleh langsung pulang, kan,Dok?" lanjut Anik.
" Boleh, tapi dengan syarat nggak boleh capek dan vitaminnya di minum ya,Bu!" jawab dokter kandungan itu.
Anik dan Biru keluar dari ruangan obgyn, mereka berjalan untuk membayar administrasi dan mengambil vitamin yng sudah di resepkan. Sempat terjadi perdebatan kecil karena Anik tak ingin semua biaya di bayar Biru, tapi pria tetap bersikeras untuk membayarnya.
Keduanya masih membisu hingga akhirnya mereka masuk ke dalam mobil.
"Kamu sudah menikah?" tanya Biru. Dia masih penasaran dengan status bayi yang dikandung Anik. Entah kenapa mengetahui wanita di sebelahnya ada sedikit rasa kecewa ada diri pria gagah itu.
"Saya janda, Mas." jawab Anik singkat.
"Mantan suami kamu tahu, kamu hamil?" lanjut Biru, meskipun merasa sedikit kecewa tapi wanita di sampingnya bukan istri orang.
" Tidak."
" Dia berhak tahu." sela Biru. Dengan perasaan yang entah, ada kecewa, senang dan satu lagi perasaan yang dia sendiri tidak bisa mengerti.
" Saya yakin dia tidak peduli dan tidak mengharapkan ini." jawab Anik. Matanya yang berkacamata menatap pria yang sejak tadi fokus padanya.
Melihat wajah sendu dengan sorot mata berkaca-kaca membuat hari Biru tak kuasa menahan rasa Iba. Pria itu menggenggam tangan Anik, " Jika butuh sesuatu atau bantuan jangan sungkan memberitahu aku. Aku pasti akan berusaha membantumu!" balas Biru membuat Anik berlahan menarik tangannya dan tersenyum canggung pada Biru.
" Terima kasih, Mas." jawabnya dengan pandangan menunduk.
Anik pun menjadi salah tingkah, dia tidak tahu tahu lagi, harus menyikapi kebaikan Biru. Pria itu memang selalu bersikap baik , bahkan terkesan lebih perhatian. Tapi, sisi lain dari jiwanya tidak bisa menerima kebaikan pria manapun apalagi pria yang tidak dikenal dengan baik.
Gerimis pun sudah reda. Anik meminta, Biru mengantarnya ke butik saja. Biru yang menyarankan Anik untuk istirahat pun harus mengalah dengan keinginan wanita itu.
"Kamu tinggal di kompleks mana? Kakakku juga rumahnya di komplek O2 nomer 07." Biru mengajak Anik mengobrol saat tatapannya masih fokus pada jalanan yang ada di depan.
Anik menoleh, wanita itu terlihat kaget mendengar pria itu menyebut nomer rumah yang dia tempati.
" Mbak Nirani, kah, Mas?" Seketika Biru juga menoleh saat Anik menyebut nama Kakaknya.
" Itu nama Kakaku!" jawab Biru masih dengan rasa penasaran.
"Oh, Mbak Nirani yang punya rumah kontrakan ku." jelas Anik. Dia juga tak menyangka jika Nirani adalah kakaknya Biru.
" Oh kamu yang tinggal di rumah samping Mbak Nira. Kenapa nggak bilang sama ku, Ras." Biru pun seperti merasa kebetulan. Sikap pria itu kembali mencari saat obrolan mereka berganti topik.
" Terima kasih, Mas, sudah mengantarku." ucap Anik pada pria yang sudah mengenakan seragam kerja.
" Sama-sama. Jika butuh sesuatu hubungi aku." sambut Biru, saat Anik berdiri di luar mobil. Entah kenapa saat menatap Anik, pria itu merasa ingin melindungi dan menjaganya.
" Iya, Mas." jawab Anik sekenanya.
Biru pun tersenyum pada Anik, sebelum melajukan kembali mobilnya menuju butik tempat Anik bekerja.
Pria itu sangat senang saat melihat wanita yang menarik perhatiannya bersikap lebih lunak. Dia juga merasa senang mendengar Anik tinggal di rumah kakaknya yang sengaja dikontrakkan.