Berada di dunia yang mana dipenuhi banyak aura yang menjadi bakat umat manusia, selain itu kekuatan fisik yang didapatkan dari kultivasi melambangkan betapa kuatnya seseorang. Namun, lain hal dengan Aegle, gadis belia yang terasingkan karena tidak dapat melakukan kultivasi seperti kebanyakan orang bahkan aura di dalam dirinya tidak dapat terdeteksi. Walaupun tidak memiliki jiwa kultivasi dan aura, Aegle sangat pandai dalam ilmu alkemi, ia mampu meracik segala macam ramuan yang dapat digunakan untuk pengobatan dan lainnya. Ilmu meraciknya didapatkan dari seorang Kakek tua Misterius yang mengajarkan cara meramu ramuan. Karena suatu kejadian, Sang Kakek hilang secara misterius. Aegle pun melakukan petualang untuk mencari Sang Kakek. Dalam petualang itu, Aegle bertemu makhluk mitologi yang pernah Kakek ceritakan kepadanya. Ia juga bertemu hantu kecil misterius, mereka membantu Aegle dalam mengasah kemampuannya. Bersama mereka berjuang menaklukan tantangan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chu-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26
---PoV Dewi Aetheria---
“Hehehe, lihatlah anak kecil yang manis dan menggemaskan itu. Dia terlihat frustrasi,” ucap Dewi Aetheria sembari tertawa kecil, senyum anggunnya terukir di wajah.
Lunaire, yang berada di samping Sang Dewi, hanya melirik dengan tatapan datar, seolah berkata, "Kau benar-benar kekanak-kanakan untuk seorang dewi agung."
Dewi Aetheria menangkap maksud tatapan itu dan menjawab santai, “Kau tidak boleh menatapku seperti itu. Istana ini sangat membosankan, bukankah anak itu cukup menghibur?” Wajahnya berubah konyol, sangat berbeda dari citra yang selama ini dikenal.
Sosok yang biasanya penuh kewibawaan dan keanggunan kini tampak lebih ceria jauh dari bayangan dewi yang disembah dan dihormati. Lunaire hanya bisa menghela napas panjang, menyerah pada tingkah Sang Dewi.
Malam menjelang, bulan bersinar terang, dan angin malam berembus lembut di sekitar istana. Ariel terbangun dari tidurnya, merasa lelah setelah mencoba keluar dari halaman istana sepanjang siang. Perutnya mulai berbunyi keras, tanda ia kelaparan.
Dengan wajah kesal dan bingung, ia melihat di depannya berdiri megah istana Dewi Aetheria tempat ia mencoba kabur. Sambil mendengus frustrasi, ia berkata, “Aku benar-benar sial,” namun tetap melangkah masuk dengan langkah hati-hati.
“Aku sangat lapar…” gumamnya lirih.
“Hey, hey, bukankah ini anak kecil yang imut dan telah kuselamatkan?” suara lembut namun penuh nada menggoda terdengar dari belakang.
Ariel berbalik, wajahnya memerah karena kesal. “Aku bukan anak kecil!” teriaknya, dahinya berkerut hingga uratnya tampak jelas.
“Baiklah, baiklah. Aku tidak akan menggodamu lagi,” ucap Dewi Aetheria, masih dengan senyumnya yang menggoda. “Aku lapar sekarang. Apakah pria muda ini bersedia menemaniku makan?”
“Aku tidak lapar, dan aku tidak akan makan bersama Dewi yang terhormat!” balas Ariel angkuh, meskipun detik berikutnya perutnya berbunyi keras, mengkhianati kata-katanya.
Dewi Aetheria terkekeh kecil, suaranya lembut seperti denting lonceng. Tanpa berkata banyak, ia mendekati Ariel, menarik tangannya dengan lembut, dan membawanya ke meja makan yang penuh dengan berbagai hidangan.
“Makanlah,” ucapnya seraya tersenyum manis, memancarkan kehangatan.
Ariel, yang awalnya ingin menolak, tak mampu menahan rasa lapar. Dengan wajah tersipu, ia bergumam pelan, “Baiklah, kalau kau memaksa.”
Dewi Aetheria menatap Ariel dengan saksama dan senyum terukir diwajahnya. Menatap bagaimana Ariel melahap makanannya membuat kepuasan kepada batinnya.
“Kau belum boleh pergi dari istanaku, tubuhmu masih butuh pengobatan. Sementara itu,” Dewi terdiam sejenak menatap nanar tubuh Ariel.
“Jadi, kau tahu aku ingin kabur dari sini?” tanya Ariel dengan wajah penasarannya.
Dewi tersenyum, lalu berkata “Hmm, bahkan aku melihat seorang pria yang mau membakar habis tanaman spiritualku namun gagal dan hanya bisa frustasi.”
Wajah Ariel sangat malu, ia pun menghentukan aktivitas makannya. Lalu beranjak pergi.
“Terima kasih atas makanannya.” Ucapnya kemudian keluar dan berlari menuju kamarnya.
Dewi Aetheria hanya tertawa kecil melihat tingkah lucu Ariel, wajahnya yang setiap saat merona membuatnya tak henti-henti untuk terus menggodanya.
“Hufftt, sayang sekali anak seimut itu memiliki umur yang pendek. Racun ditubuhnya bukanlah hal yang baik bagi hidupnya. Kejam sekali...” Batin Dewi Aetheria.
Beberapa tahun berlalu, Dewi Aetheria masih terus mengobati Ariel, luka terkena perang sudah sembuh seutuhnya. Namun, racun ditubuh Ariel belum bisa disembuhkan oleh kekuatan Dewi. Ariel yang dulu suka melayap untuk kabur namun tetap saja masih berada di istana dewa.
Lunaire dalam transmisi suaranya, “kenapa kau belum melepaskannya?”
“Hmm, racun ditubuhnya belum sepenuhnya kusembuhkan.” Jawab Aetheria santai.
“Racun itu tidak ada hubungannya denganmu, lagian kau sudah merawatnya begitu lama. Ditubuhnya ada 1001 racun, setengah racun sudah kau sembuhkan. Kau telah memberikan beberapa tahun itu perpanjang hidupnya. Itu merupakan berkah baginya.” Cicit Lunaire kesal.
“Kau sangat kejam Lunaire, Aku Dewi Cahaya dan Kehidupan menyembuhkan orang adalah tugasku.” Ucapnya, “namun bahkan Aku seorang dewi belum mampu membersihkan semua racun itu. Hufft.”
“Jika kau masih membiarkan dia disini, lambat laun seluruh dunia ini akan gempar mengetahui kau membawa pulang orang dari dunia kegelapan.” Sahut Lunaire.
Dewi Aetheria menarik ekor Lunaire, memeluknya mengelus wajahnya di helai-helai bulu Lunaire. Membuat Lunaire menjadi geli.
“Kau semakin lama semakin banyak berbicara saja.” Ucap Dewi yang terus menggoda Lunaire mengalihkan percakapan mereka.
“Oh iya, Lunaire ayok temani Aku bertemu Guru Dewa. Aku ingin menyakan beberapa hal padanya.” Sambung Sang Dewi.
Sang Dewi Aetheria, bersama Lunaire, melesat menuju gunung suci tempat Dewa Guru tinggal. Dengan kecepatan luar biasa yang hanya dimungkinkan oleh kekuatan ilahi Lunaire, mereka menempuh jarak 10.000 mil dalam sekejap mata. Sesampainya di gunung, suasana hening menyambut mereka—udara segar bercampur aroma herbal yang menenangkan, sementara kabut tipis menyelimuti puncaknya.
Dewi Aetheria melangkah ringan namun penuh penghormatan, memasuki aula besar tempat Dewa Guru sering menyambut para dewa lainnya. Sang Guru, yang duduk di atas singgasana yang sederhana namun memancarkan aura kebijaksanaan, tersenyum kecil melihat kedatangan muridnya.
“Aetheria,” panggil Dewa Guru dengan suara lembut namun berwibawa. “Ada apa hingga kau menempuh perjalanan sejauh ini?”
Dewi Aetheria membungkukkan badan, memberi salam hormat. “Guru, aku datang untuk meminta bimbinganmu terkait beberapa racun.”
Dewa Guru mengangguk pelan, matanya memancarkan pemahaman mendalam. “Racun, ya... Kau tampak begitu tertarik pada seni penyembuhan racun belakangan ini. Ikutlah denganku.”
Dewa Guru bangkit dari tempatnya dan memimpin mereka ke sebuah ruangan besar di belakang aula utama. Ruangan itu dipenuhi dengan rak-rak tinggi yang dipenuhi tanaman, botol ramuan, dan gulungan kitab kuno. Aroma rempah dan bunga memenuhi udara, menciptakan suasana magis.
“Ini adalah koleksi tanaman dan obat-obatan yang telah aku pelajari dan kembangkan selama ribuan tahun,” jelas Dewa Guru, sambil menunjuk ke berbagai tanaman yang bersinar lemah di bawah cahaya kristal di langit-langit ruangan.
“Racun adalah seni yang rumit, begitu pula penyembuhannya. Kau harus memahami esensinya, bukan hanya menyingkirkannya.”
Dewi Aetheria menyimak dengan penuh perhatian. Ia menjelaskan kepada gurunya tentang karakteristik racun yang ada di tubuh Ariel racun yang seolah memiliki kesadaran dan terus menyesuaikan diri dengan setiap usaha penyembuhan.
“Racun seperti itu...” gumam Sang Guru, lalu terdiam sejenak, merenung. “Itu adalah salah satu racun langka yang hanya berasal dari dunia kegelapan. Racun itu dirancang bukan hanya untuk menghancurkan tubuh, tetapi juga jiwa seseorang.”
Dewi Aetheria menahan napas mendengar penjelasan itu. “Adakah cara untuk menyembuhkannya, Guru?” tanyanya, matanya memancarkan harapan.
Dewa Guru tersenyum tipis. “Setiap racun memiliki penawarnya, tetapi harga untuk menyembuhkan racun seperti itu tidaklah murah. Kau harus siap menghadapi konsekuensinya, Aetheria.”
“Apapun risikonya, aku akan melakukannya,” jawab Dewi dengan tegas.
Dewa Guru terdiam sejenak, memandang muridnya dengan penuh kebijaksanaan. “Apakah orang yang ingin kau sembuhkan begitu berarti bagimu? Kau begitu bersemangat.”
Sang Dewi terdiam sejenak, dia menggelang “Tidak dia hanya pengawal yang ku selamatkan, hanya saja Aku sebagai Dewi Kehidupan merasa sangat menyedihkan jika tidak dapat menyembuhkan orang.” Ucap Dewi Aetheria.