Menjadi yang ke-dua bukanlah keinginan juga pilihan yang terbaik bagi Lea. Apalagi harus berada dalam lingkaran poligami. Baginya, pernikahan adalah ibadah terpanjang dan sakral.
Namun, karena sang calon imam tak kunjung datang saat akan ijab qobul, Bagas dengan sukarela menjadi pengganti. Lea mengira Bagas tulus menikahinya. Akan tetapi, ia salah karena Bagas hanya ingin menggunakan rahimnya untuk menjadi ibu pengganti dari benihnya dan Melissa.
Bak sedang bermain api, Bagas justru terjebak dengan perasaannya pada Lea. Sebaliknya Lea yang memang tak mencintai Bagas, sikapnya selalu dingin pada sang suami.
Belum lagi karena Bagas tak bisa menerima kehadiran baby Sava, anak yang diadopsi Lea sebelum ia mengandung benih dari Bagas dan Melissa.
Pertengkaran pun sulit terhindarkan diantara mereka, karena Lea dan Bagas tak sepemikiran. Belum lagi kehadiran Wira yang semakin membuat Bagas naik pitam.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka selanjutnya? Ayo kepoin guys.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. PYTD
Bagas langsung menghambur semua benda yang ada di atas meja kerja setelah membaca surat gugatan cerai itu. Menggenggam kuat cincin kawin Lea dengan mata memerah.
“Argh! Lea, kamu pikir bisa lepas begitu saja dariku, hah!” pekik Bagas dengan emosi berapi-api.
Ia merogoh saku celana mengeluarkan ponsel kemudian menghubungi seseorang lalu sang istri. Amarahnya kian memuncak karena Lea enggan menjawab panggilan darinya.
“Sial! Selalu saja seperti ini!” umpat Bagas kemudian meninggalkan ruangan itu.
.
.
.
Di salah satu mall, area tempat bermain anak, pandangan Lea tertuju ke arah anak-anak yang sedang asik bermain.
Sesekali ia meringis, mengusap perutnya yang sejak tadi terasa sakit tak beraturan. Ponsel yang bergetar diabaikan begitu saja.
“Sssttt, akh! Kenapa perutku sakit nggak beraturan begini?” keluh Lea. “Nggak mungkin kan, aku akan melahirkan. Kandunganku baru saja berusia tujuh bulan.”
Seketika Lea teringat akan ucapan Wira seminggu yang lalu. Khawatir tentu saja ia rasakan. Takut jika akan mengalami pendarahan. Apalagi setelah mendengar perdebatan Bagas juga Panji, perutnya tiba-tiba saja kram disertai rasa sakit.
Lea beranjak dari tempat duduk. Tujuannya kini adalah, pulang ke rumah untuk beristirahat.
“Sayang, kamu baik-baik, ya di dalam sini?” bisik Lea sembari mengelus perut buncitnya yang kian terasa sakit.
Ia merogoh tas lalu mengeluarkan ponsel. Menatap layar kemudian membuka pesan yang dikirim oleh mama Yola.
✉️: Lea, mama dan paman nggak berada di rumah. Kami sedang menghadiri undangan nikah rekan kerja paman mu. Sava kami bawa soalnya Cantika belum pulang.
Seusai membaca pesan itu, Lea tersenyum sembari lanjut mengayunkan langkah. Setibanya di basement mall, keningnya berkerut tipis karena mendengar suara orang sedang marah.
“Mas Bagas, bagaimana dia tahu aku berada di sini?” Lea bersembunyi di balik tembok. Mencuri dengar obrolan sang suami yang sedang berbicara dengan seseorang lewat ponsel.
“Cepat cari dia dan jangan sampai lepas! Satu lagi, culik bayi haram itu, lalu kirim ke tempat yang jauh!” perintah Bagas tak ingin dibantah.
Mendengar perintah keji sang suami, tubuh Lea langsung gemetaran. Seketika ia menjadi panik. Perutnya semakin terasa sakit disertai air mata yang kini mengalir deras.
‘Mas, keji banget niatmu,’ batin Lea. “Akh!”
“Lea, sedang apa kamu di sini sendirian?” tanya Wira yang kebetulan baru tiba.
Lea langsung memutar badan sembari mencengkram kuat jaket Wira. “Mas Wira ... Sava ... tolong ... akh! Perutku sakit banget Mas!”
Ucapan tak jelas bunda Sava membuat Wira bingung. Akan tetapi, tangisan serta cengkeraman kuat di jaketnya, mengisyaratkan jika Lea sedang tidak baik-baik saja.
“Mas ... tolong ... Sa—”
Belum sempat Lea menyelesaikan kalimatnya, wanita hamil itu langsung terjatuh tak sadarkan diri.
“Lea!” panggil Wira. Pria itu langsung menggendongnya.
Sesaat setelah mendudukkan Lea di kursi mobil, Wira mengerutkan kening karena mendapati tangannya berdarah.
“Astaga, Lea!” Wira menjadi cemas.
.
.
.
RSAL ....
Lea langsung dibawa ke ruangan UGD.
“Dokter Wira, pasien ini harus segera dioperasi. Jika tidak, nyawa bayi dalam kandungannya nggak bisa diselamatkan,” tegas rekan kerja Wira.
“Ya sudah, lakukan segera. Aku yang akan bertanggung jawab sepenuhnya pada pasien ini!” perintah Wira.
“Baik.”
Beberapa menit berlalu ....
Lea langsung dibawa menuju ruangan operasi setelah disterilkan serta memenuhi prosedur bedah.
Sebelum dibawa masuk ke ruangan operasi, Wira memandangi Lea yang masih belum sadarkan diri. Mengusap kepala lalu turun ke perut wanita hamil itu.
“Lea, semoga operasimu berjalan lancar. Aku tahu ini mendadak dan sangat berisiko karena bayimu harus lahir dalam keadaan prematur. Semoga kalian baik-baik saja,” ucap Wira dengan lirih.
Keduanya harus berpisah takala brankar didorong oleh perawat juga dokter masuk ke dalam ruangan operasi.
Sambil menunggu, Wira langsung menghubungi mama Yola sekaligus memberitahu keadaan Lea. Ia meminta wanita paruh baya itu untuk segera ke rumah sakit AL.
“Apa maksud Lea, tolong Sava? Dia seperti sedang ketakutan tadi?” gumam Wira bertanya-tanya. “Apa Sava dalam bahaya? Nggak akan terjadi apa-apa pada Sava, Lea, percayalah padaku.”
.
.
.
Di mall, Bagas begitu kesal setelah tak menemukan keberadaan Lea di sana. Sedetik kemudian ia tersenyum sinis.
“Aku tahu kelemahanmu adalah bayi sialan itu!Jika kamu nggak membatalkan gugatan cerai itu, maka jangan salahkan aku jika kamu nggak akan pernah bertemu lagi dengan putrimu!” ancam Bagas sambil mengepalkan kedua tangan .
Pluk!
Seseorang menepuk pundaknya seraya menyapa.
“Sayang, sedang apa kamu di sini?” tanya Melissa.
Bagas tak menjawab melainkan acuh. Emosi yang tak stabil membuatnya malas meladeni Mellissa.
“Sayang, kamu kenapa sih?! Ditanya malah membisu,” kata Melissa kesal.
“Lantas, aku harus jawab apa?!” bentak Bagas tak bisa menahan emosi. “Apa kamu tahu? Lea menggugat cerai diriku!”
Melissa langsung tertawa sekaligus merasa puas. “Loh, bukankah itu bagus? Jadi nggak ada lagi penghalang untuk kebahagiaan kita,” balas Melissa kegirangan. “Sepertinya kita harus merayakan kebahagiaan ini, Sayang.”
“Bahagia?! Nggak, aku nggak bahagia, Mel justru sebaliknya!” tegas Bagas kesal.
“Kamu jangan egois! Apa sih yang membuatmu tergila-gila pada pelakor itu?!”
Bagas tak menanggapi melainkan meninggalkan Melissa yang masih merasa kesal.
.
.
.
Suara derap langkah kaki terdengar cepat sedang tertuju ke arah Wira yang. Pria itu seketika melirik kemudian bangkit dari tempat duduk.
“Tante, Paman, Sava,” sebutnya.
“Nak Wira, kenapa bisa seperti ini? Kandungan Lea baru tujuh bulan, apa harus secepat itu dia melahirkan?!” cecar mama dengan mata berkaca-kaca.
“Pagi tadi dan sebelum ke kantor Nak Bagas, dia baik-baik saja,” timpal pak Saleh.
“Aku kurang tahu pasti, Paman, Tante, soalnya kami bertemu secara nggak sengaja di basement mall. Dia seperti ketakutan lalu menyebut nama Sava,” jelas Wira lalu mengambil baby Sava dari gendongan mama Yola.
“Kita akan tahu penyebabnya setelah Lea siuman dari pengaruh obat bius,” sahut pak Saleh. “Bu, sebaiknya hubungi Bagas.”
Dengan patuh mama Yola menurut. Tanpa pikir panjang ia segera menghubungi pria itu.
*********
Sementara itu, Bagas yang baru saja akan membuka pintu mobil, merogoh saku celana.
“Mama?” gumamnya dengan kering berkerut tipis lalu menjawab panggilan itu.
“Ya, Mah ada apa?”
“Nak Bagas, sebaiknya kamu segera ke rumah sakit. Lea mengalami pendarahan dan terpaksa dioperasi,” jelas mama Yola to the poin.
“A—apa?!” sahut Bagas terkejut. “Di rumah sakit mana, Mah?” Bagas langsung merasa khawatir serta cemas.
“RSAL,” jawab mama Yola kemudian memutuskan panggilan telepon.
‘Sial! Kenapa harus rumah sakit itu!’ umpat Bagas dalam batin.
********
Sambil menggendong baby Sava, Wira tampak berpikir sekaligus menelaah ucapan pak Saleh barusan.
“Paman, ada urusan apa Lea ke kantor Bagas?”
“Dia ingin mengantarkan langsung surat gugatan cerai untuk Nak Bagas,” jelas pak Saleh.
Wira mengangguk mengerti. Ia menyimpulkan jika semua yang terjadi pada Lea, pasti ada hubungannya dengan Bagas.
‘Akhirnya Lea mengambil keputusan yang tepat seperti yang dilakukan oleh ibuku,’ batin Wira sembari mengelus punggung baby Sava dengan lembut.
...----------------...