Mela mempunyai prinsip untuk tidak pacaran sebelum menikah, membuatnya tak kunjung menikah saat usianya sudah cukup. Sampai suatu ketika, ia dijodohkan dengan orang yang sama sekali tidak ia kenali. Selain usianya terpaut cukup jauh, karakter calon suaminya juga sangat jauh dari kriteria Mela. Namun, demi membahagiakan bapaknya, Mela tetap menerima pria tersebut sebagai suaminya, berharap ia bisa merubah kebiasaan buruk dari suaminya.
Meskipun ternyata, kenyataannya tidak semudah dengan apa yang dia pikirkan. Bahkan mulai dari persiapan pernikahan pun, Mela sudah harus banyak bersabar menghadapi segala macam tingkah konyol calon suaminya. Terlebih saat sudah menjadi pasangan suami istri, semakin terlihat jelas, kebiasaan buruk dari suaminya yang ternyata sangat sulit untuk di rubah. Seperti kata mutiara, semua orang bisa tua pada saatnya, tapi tidak semua orang bisa bersikap dewasa. Kata-kata itu pantas disematkan pada suami Mela, meskipun sudah be
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KidOO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Bu!" Aku memeluk tubuh ibuku semakin erat, tanpa mampu berkata-kata lagi. Aku hanya ingin seperti ini saja, membiarkan air mataku berbicara.
Ibuku seakan tau apa yang kurasakan, dia hanya membalas pelukan, sambil mengusap-usap punggungku. Ibu tidak bertanya apa-apa lagi, beliau sepertinya paham, aku belum sanggup bercerita. Ibuku bukan orang yang berpendidikan seperti ibu mertuaku, tapi tetap saja, ibu adalah tempat ternyaman untukku.
Setelah aku merasa lebih baik, aku mulai melepaskan pelukanku.
"Ayo, masuk dulu, Mel! Nggak enak kalau ada tetangga yang lihat." Ibuku menggiringku untuk masuk ke ruang tamu. Aku menurut saja.
"Bapak di rumah nggak, Bu?" Aku memastikan, takut kalau Bapak akan mendengar ceritaku nanti. Aku berniat menceritakan semua keluh kesahku pada ibuku.
"Bapak masih di sawah, Mel. Paling nanti siang pulang, terus berangkat lagi," jawab ibuku.
"Singgih sama Sigit ke mana, Bu?" Aku juga menanyakan kedua adikku, supaya tidak terlalu terlihat bersembunyi dari Bapak.
"Biasa, pergi main."
"Ibu nggak ke sawah?" Aku bertanya lagi, takut kalau waktunya nggak pas.
"Kalau kamu di sini, ya Ibu nggak ke sawah dulu, Mel. Kapan lagi kan, kamu main ke sini?" Ibuku tersenyum menenangkan.
"Kalau boleh, Mela mau menginap juga, Bu." Entah kenapa, sekarang di rumah ini aku juga merasa jadi tamu.
"Tentu aja boleh, Mel. Tapi, kamu nggak sedang ada masalah sama Aak, kan? Kok tiba-tiba seperti ini?"
"Emm, enggak kok, Bu. Mela cuma lagi ngrasa capek, bosen dan banyak pikiran aja. Jadi pengen mencari hiburan di sini, Bu." Aku tersenyum, meskipun pasti terlihat kalau senyumku dipaksakan.
"Syukurlah kalau begitu, tapi kalau ada apa-apa, kamu jangan sungkan cerita sama Ibu, Mel. Siapa tau Ibu bisa membantu mencarikan solusi. Meskipun mungkin tidak baik juga mencampuri urusan rumah tanggamu, tapi siapa tau Ibu bisa membantu." Ibu berkata hati-hati, sebenarnya aku juga ingin menceritakan semua keluh kesahku. Tapi aku juga masih memikirkan norma, apakah bercerita masalah keluarga adalah keputusan yang baik? Atau justru memperkeruh suasana? Tapi aku memutuskan untuk bercerita saja, berharap perasaanku jadi sedikit lega.
"Bu, ternyata menikah rasanya seperti ini, ya. Mela merasa masih belum siap menghadapi semua masalah pernikahan, Bu." Aku mulai membuka ceritaku.
"Ya memang seperti itu, Mel. Semua pernikahan pasti akan menghadapi permasalahannya sendiri-sendiri. Tapi kamu harus ingat, Mel. Pernikahan itu adalah ibadah, kalau kamu bisa bersabar, maka semuanya akan bernilai pahala." Aku mengangguk, jawaban Ibu memang benar.
"Jangankan kamu yang baru saja menukah, Mel. Ibu yang sudah berpuluh tahun menikah juga kerap kali menemukan masalah. Tapi Bapak sama Ibu selalu berkomunikasi, supaya mendapatkan solusi. Entah itu masalah keuangan, atau masalah yang lainnya. Yang penting keduanya saling mengerti, jadi semua akan terasa mudah."
"Nah itu masalahnya, Bu. Mas Aak nggak pernah bisa diajak diskusi, berunding mencari solusi bersama, Bu. Jadi Mela yang harus mengerjakan apa-apa sendiri, mencari solusi sendiri. Rasanya benar-benar capek, Bu. Capek jiwa dan raga. Mas Aak masih belum bisa bersikap dewasa, Bu. Dia maunya dimengerti, tapi tidak pernah mau mengerti Mela, Bu." Aku mengingat-ingat kembali perlakuan Mas Aak padaku, kebanyakan memang seperti itu.
"Contohnya saja seperti saat ini, Bu. Mas Aak memilih jalan-jalan bersama teman-teman vespanya, katanya capek kerja, bosen di rumah, pengen refreshing. Trus gimana dengan Mela, Bu? Mela juga capek kerja, bahkan kerjaan Mela nggak cuma di sekolah, tapi juga di rumah. Tapi Mas Aak nggak ngerti itu, Bu. Boro-boro bantuin, ngerti aja enggak. Kadang bikin gemes banget, Bu. Ditambah kondisi Mela sekarang lagi hamil, stamina dan emosinya nggak stabil. Tapi Mas Aak bukannya memanjakan Mela, bantuin kerjaan rumah atau apa gitu, malah nambah-nambahin jengkel terus bisanya." Aku meluapkan semua keluh kesahku yang selama ini kupendam sendiri.
"Nggak papa, Mel. Kamu kan dari dulu sudah dididik untuk jadi anak yang kuat, Ibu yakin kamu pasti bisa, meskipun kondisimu sedang hamil. Mengerjakan pekerjaan rumah akan membuat kamu jadi bisa melahirkan dengan normal dan lancar, Mel. Yang penting jangan mengangkat beban yang terlalu berat. Kalau misal mengangkat cucian yang banyak, jangan diangkat sekaligus. Lebih baik kamu bagi jadi beberapa bagian, terus dibawanya bergantian. Banyak berjalan juga akan membuat proses persalinan akan lebih mudah, Mel." Aku tertegun sejenak, benar juga apa yang dikatakan oleh Ibu. Selama ini aku hanya fokus dengan emosiku sendiri, tapi aku tidak pernah melihat sisi positifnya, manfaat apa yang akan kudapatkan kalau tetap bekerja meskipun sedang hamil.
"Ibu dulu juga gitu?" Aku jadi bertanya pengalaman Ibu dulu.
"Tentu saja, Mel. Ibu mana pernah bermanja-manja, meskipun sedang hamil. Hamil muda sambil muntah-muntah pun Ibu tetap ke sawah, Mel. Bantuin bapakmu. Karena Ibu berharap, kalau Ibu kuat, anak-anak Ibu juga akan jadi orang yang kuat. Dan ternyata terbukti, kan? Kamu dan adik-adikmu semuanya jadi anak yang kuat juga mandiri." Ibu tersenyum, aku melihat kebanggaan dalam sorot matanya.
Aku justru bertanya pada diri sendiri, apa aku memang kuat seperti apa yang Ibu katakan? Aku tidak yakin. Karena nyatanya aku masih sering mengeluh tentang beratnya pekerjaan yang kulakukan setiap hari.
"Berarti aku juga harus seperti itu, kalau mau anakku jadi anak yang kuat ya, Bu?"
"Iya, tentu saja. Pokoknya lakukan sebisamu, Mel. Kalau merasa capek, istirahat, nanti disambung lagi. Tapi jangan males-malesan, nggak baik juga untuk kamu dan janinmu." Ibu kembali memberiku nasehat yang sangat menyentuh.
Selama ini mungkin aku memang yang terlalu berharap ingin bersantai, bermalas-malasan, jadi aku tidak ikhlas melakukan pekerjaanku. Padahal kalau dipikir-pikir, nyatanya aku bisa melewatinya selama ini, kan? Aku memantapkan hatiku, untuk menjadi lebih semangat lagi, melakukan semua pekerjaanku.
"Oh ya, Bu. Aku mau menggarap sawah bagiannya Mas Aak, lumayab buat tabungan kalau melahirkan. Tapi gimana ya? Bapak sama Ibu mau bantuin Mela nggak? Sepertinya Mela belum bisa kalau bertani sendiri." Aku mengalihkan pembicaraan, meminta bantuan lebih tepatnya.
"Ya bisa aja, nggak masalah, Mel. Kapan mau mulai?" Ibu menjawab dengan semangat, beliau sepertinya sangat mendukungku.
"Hari Minggu depan aja gimana, Bu? Kalau Mela libur gitu." Aku memutuskan seorang diri, terserah Mas Aak mau membantu atau tidak, yang penting aku punya bantuan lain. Meskipun terkesan merepotkan.
"Ya bisa aja, nanti Ibu bilang ke Bapak." Ibu kembali tersenyum.
"Trimakasih banyak ya, Bu. Maaf selalu merepotkan Bapak dan Ibu. Padahal harusnya aku sudah bukan jadi tanggung jawab Bapak dan Ibu." Aku tertunduk lesu. Aku jadi bingung, apa keputusanku meminta bantuan adalah keputusan yang tepat?