Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Seminggu sudah tiga anak manusia itu terbingkai dalam pernikahan spesial poligami. Tidak ada yang berubah, semuanya tetap sama. Harum masih menjalani hari-harinya sendiri, seperti biasanya, tanpa cinta Hangga.
Bedanya, kini Harum tidak begitu kesepian. Rumah dua lantai itu terasa lebih ramai karena kehadiran Bi Jenah dan juga Nata tentunya.
Hubungan Harum dan Nata juga terjalin sangat baik layaknya adik dan kakak. Tidak ada gontok-gontokan berebut suami seperti di drama televisi.
Tentu saja tidak ada rebutan suami, karena Hangga sepenuhnya adalah milik Nata. Hati Hangga masih sama. Hanya mencintai Nata. Hanya menginginkan Nata.
Tidak dapat berpaling ke lain hati dan ke lain body.
Hanya kepada Nata saja.
Sungguh, Hangga adalah lelaki yang setia.
Dan Harum hanya bisa pasrah dan mengikhlaskan. Kan cinta tidak bisa dipaksakan. Kalau memang Hangga tidak mencintainya, ia pun tidak dapat berharap banyak. Membiarkan saja semuanya mengalir apa adanya.
Hatinya masih tegar hingga saat ini.
Entah esok nanti.
Adapun Harum tidak sedikit pun menyalahkan Nata dalam hal ini. Sebab Nata memang telah lebih dulu hadir di kehidupan Hangga dan telah lama bersemayam di hati suaminya itu.
Harum meyakini bahwa Nata juga sama terluka seperti dirinya. Sebab tidak ada seorang pun perempuan yang ingin dikhianati atau diduakan.
Pagi ini, Nata bangun pagi sekali. Lebih tepatnya dibangunkan oleh sang suami. Sepulang dari masjid usai menunaikan salat Subuh, suaminya itu malah membangunkan dan mengajaknya bercinta lagi.
Istri kedua Hangga yang cantik itu menyambutnya dengan sukacita. Nata juga menyukai “morning sex” karena akan membuat moodnya lebih baik seharian nanti.
Usai memadu cinta, Nata ingin melanjutkan kembali tidurnya, tetapi langsung dicegah oleh Hangga.
“Jangan tidur lagi dong, Yang. Kita olahraga, yuk,” ajak Hangga.
“Barusan tadi ‘kan olahraga, masa mau olahraga lagi,” sahut Nata dengan mata terpejam.
“Ih, bukan itu.” Hangga mencubit gemas pipi Nata. “Maksudnya, jalan-jalan pagi, yuk!”
“Memangnya jam berapa ini?” kata Nata sembari menggeliat meregangkan tubuh.
“Jam 5 lewat, mau setengah 6.”
“Jam 6 aja ya jogingnya,” elak Nata.
“Iya, tapi ‘kan kita harus mandi dulu.”
“Bentar lagi ih. Masih ngantuk.” Nata berbalik badan memunggungi Hangga.
Hangga ikut bergerak, memeluk Nata dari belakang. “Kalau mandi bareng mau enggak?” katanya sembari mendaratkan kecupan di leher bening Nata.
Mendengar Hangga mengajaknya mandi bareng, Nata kembali berbalik badan menghadap Hangga. “Ayo!” katanya penuh semangat.
Tanpa menyahut, Hangga bangun lalu menggendong perempuan yang sangat dicintainya itu ke kamar mandi, diiringi suara tawa manja Nata.
Usai bercumbu mesra sekali lagi dan mandi, keduanya turun ke lantai bawah dengan memakai pakaian joging.
Nata mengenakan celana panjang training warna marun dengan setrip putih di pinggirnya, dipadukan dengan kaus sweter lengan panjang warna putih dengan logo merek perusahaan sepatu terkenal asal Jerman. Sementara Hangga mengenakan celana panjang training warna hitam serta kaus warna senada yang begitu pas di tubuh. Menampakan bentuk tubuhnya yang bagus.
Di lantai bawah, keduanya berpapasan dengan Harum yang hendak masuk ke kamar.
“Rum,” panggil Nata.
“Iya, Kak.” Harum yang hendak membuka pintu kamar, menoleh pada Nata.
“Ikut joging, yuk!” ajak Nata.
“Enggak ah, Kak,” tolak Harum dengan sopan.
“Ayo ikut dong, biar seru. Sekalian kita cari sarapan. Hangga lagi pengen bubur katanya,” sahut Nata.
“Eng ....”
“Ikut, Rum. Ayo cepat ganti baju!” titah Nata.
“Kalau Harum enggak mau, jangan dipaksa, Nat,” sela Hangga.
“Makanya kamu dong yang ajak Harum. Kalau kamu yang ajak, Harum pasti mau,” sahut Nata.
“Udah Rum, ikut aja,” ujar Hangga.
Karena Hangga yang memintanya ikut, Harum pun akhirnya menurut. Kan perkataan suami harus dipatuhi.
“Rum, punya baju jogingnya enggak? Mau pakai punya aku?” tawar Nata.
“Enggak usah, Kak. Terima kasih,” sahut Harum. “Saya ganti baju dulu.”
Tidak lama kemudian, Harum keluar dengan memakai baju joging muslimah. Celana training yang tidak ketat, kaus tunik yang panjangnya hampir menyentuh lutut, serta jilbab panjang yang menutupi sampai bawah dada.
“Ayo, Rum!” Nata menggandeng lengan Harum.
Ketiga anak manusia yang terbingkai dalam pernikahan spesial itu berolahraga ringan dengan berjalan kaki atau sesekali berlari kecil di sekitar kawasan kompleks perumahan. Tidak usah olahraga yang berat-berat, yang penting berkeringat.
Hidup ketiganya kan sudah berat. Sama-sama harus saling menjaga hati.
Nata berjalan bergandengan tangan dengan Harum, sementara Hangga berjalan di belakang kedua istrinya. Baru beberapa langkah berjalan, mereka bertemu dengan keluarga Pak RT dan beberapa ibu-ibu lainnya.
“Pagi Neng Harum, Neng Nata, Mas Hangga,” sapa Bu RT yang juga tengah joging bersama suaminya.
“Pagi Bu RT, Pak RT,” sahut Harum, Hangga dan Nata bergantian.
“Jalan-jalan nih Mas Hangga?” tanya Pak RT basa-basi.
Enggak, Pak. Lagi koprol (Kata otornya)
“Iya, Pak RT,” sahut Hangga ramah.
“Wah, luar biasa Mas Hangga nih. Hehehehe.” Pak RT tertawa nyengir.
Hangga yang paham apa arti “luar biasa” yang dimaksud Pak RT memilih untuk segera berlalu. Tidak ingin berlama-lama terperangkap dalam obrolan tidak karuan.
“Kami duluan ya, Pak RT, Bu RT. Mari,” ucap Hangga berpamitan. Lalu segera menggiring pergi kedua istrinya.
“Wah Mas Hangga itu sungguh pria yang beruntung di dunia. Udah istrinya dua, cantik-cantik, akur lagi. Wirid-nya apa ya kira-kira?” ujar Pak RT sembari memandangi langkah Hangga dan kedua istrinya.
“Mau apa nanya wiridnya Mas Hangga? Bapak pengen poligami juga ya? Bapak mau doain ibu biar ibu mau dipoligami gitu?” sahut Bu RT dengan mata melotot.
Pak RT lekas menggelengkan kepalanya. “Enggak enggak. Bapak mah enggak muluk-muluk. Mau doa yang pasti langsung dikabulkan aja,” sahutnya.
“Doa apa yang langsung dikabulkan, Pak RT?” tanya ibu lainnya yang berada di situ.
“Doa makan. Begitu kita berdoa, pasti langsung bisa makan. Hehehe.” Pak RT nyengir lagi.
“Nih dengar ya bapak-bapak. Kawin dengan banyak pasangan itu bukan prestasi. Tidak perlu dibanggakan karena hewan pun banyak yang melakukan,” ujar Bu RT.
“Cakep, Bu RT.”
“Eh, tapi masih mending Mas Hangga sih menikah lagi secara terang-terangan, enggak sembunyi-sembunyi. Daripada Pak Udel yang di blok F, dengar-dengar punya istri simpanan loh ibu-ibu." Genderang pergibahan mulai ditabuh.
“Istri muda gitu maksudnya?”
“Iya. Padahal ya, sepandai-pandainya suami menyimpan istri muda, akhirnya bakal tua juga.”
"Hahaha." Beberapa orang tertawa.
“Tapi kalau saya sih, Bu. Enggak masalah kalau suami mau menikah lagi,” kata seorang ibu lainnya.
“Wah, Mama super sekali. Benar-benar istri soleha,” sahut suaminya dengan hidung kembang kempis. “Yang penting papa bisa adil kan, Mah?”
“Yang penting ... bukan Papa yang mau kawin lagi!”
“Hahahaha.”
“Udah, udah, pada bubar semuanya. Subuh-subuh malah pada menghibah!” seru Pak RT membubarkan kerumunan.
"Gara-gara Mas Hangga, orang-orang jadi bergibah," gumam Pak RT dalam hati.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu