Perjuangan Abimanyu untuk mendapatkan kembali cinta Renata, sang istri yang telah berulang kali disakitinya.
Tidak mencintai gadis yang menjadi wasiat terakhir ibunya membuat Abimanyu seringkali menyiksa dan menyakiti hati Renata hingga berkali-kali.
Akankah Bima bisa kembali mendapatkan cinta istrinya? Sementara hati Renata telah mati rasa akibat perbuatan Abimanyu yang telah menyebabkan buah hati dan ibunya meninggal dunia.
"Mas Bima-"
"Panggil aku Tuan seperti biasanya, karena kau hanyalah seorang pembantu di sini!"
"Ta-tapi Mas, kata Nyonya-"
"Ibuku sudah meninggal. Aku menikahimu karena keinginan ibuku, jadi kau jangan berharap dan bermimpi kalau aku akan menuruti keinginan ibuku untuk menjagamu!"
"I-iya, Tu-Tuan ...."
Yuk! Ikutin ceritanya, jangan lupa siapin tisu karena novel ini banyak mengandung bawang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazwa talita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 HARUS MENGAKHIRI SECEPATNYA
"Apa maksudmu dengan bekerja, Renata?" Suara Bima meninggi saat mendengar ucapan Renata.
Sementara Renata menarik napas panjang mendengar teriakan suaminya.
"Semalam kau bilang tidak ingin tinggal di rumah ini lagi, kau bilang kau hanya akan datang dan membersihkan rumah ini saja, kau juga meminta untuk dicarikan orang untuk membantumu membereskan rumah ini, dan sekarang, kau bilang kau akan berangkat bekerja?"
"Memangnya uang yang kuberikan padamu tidak cukup untuk menghidupimu dan keluargamu?" Bima menatap Renata dengan tajam. Ia sungguh geram mendengar ucapan Renata.
"Saya hanya bersiap pergi sebelum Tuan dan Nyonya rumah ini mengusir saya. Apa saya salah, karena saya cukup tahu diri kalau saya tidak diinginkan di rumah ini?"
"Aku tidak pernah mengatakan kalau aku akan mengusirmu dari rumah ini, Renata. Aku tidak-"
"Tuan memang tidak pernah mengatakan kalau Tuan akan mengusir saya dari rumah ini. Tapi perjanjian tidak tertulis yang Tuan katakan kalau Tuan hanya ingin pernikahan kita hanya sampai satu tahun membuat saya mau tidak mau harus menyiapkan diri untuk mencari uang sendiri."
"Tuan pasti sangat tahu kalau saat ini saya adalah kepala keluarga karena saya adalah anak tertua dan saya sudah tidak mempunyai ayah, karena itu saya harus bekerja keras sebelum Tuan dan Nyonya Shinta mengusir saya dari rumah ini!" Suara Renata tidak kalah keras. Gadis itu merasa kesal karena Bima seringkali menggunakan amarah saat berbicara dengannya.
"Aku dan Shinta tidak akan mengusirmu dari sini karena biar bagaimanapun kau adalah-"
"Saya akan tetap bekerja meskipun kau melarangnya, Tuan!"
"Renata, kau ...!"
"Sebaiknya Tuan sarapan dulu, biar tidak marah-marah terus!"
Bima menatap Renata yang entah kenapa semakin menarik di matanya.
"Saya pergi dulu, Tuan. Tuan bisa telepon istri Tuan untuk menemani Tuan sarapan," ucap Renata saat dia sudah selesai memberikan makanan pada Bima.
"Istriku sedang berada di hadapanku, untuk apa aku meneleponnya?" Bima menatap Renata sambil menyuapkan
makanan ke dalam mulutnya.
Sementara Renata menatap pria itu dengan kesal.
"Saya pergi dulu-"
"Temani aku makan, kalau tidak, aku tidak akan mengizinkanmu pergi dari sini, Renata!" potong Bima cepat saat perempuan itu beranjak dari duduknya.
"Tuan, saya sudah terlambat. Saya tidak mungkin-"
"Sayang ... apa yang kau lakukan? Kenapa pembantu itu duduk di hadapanmu dan makan bersama kamu?" Suara seorang perempuan yang tidak asing di pendengaran Renata, memotong ucapannya.
Renata menghela napas panjang. Mencoba menetralkan perasaannya. Perempuan itu beranjak dari hadapan Bima yang saat ini sedang menatap Shinta dengan penuh cinta.
"Sayang ... kau datang?"
Bima beranjak dari duduknya, mendekati perempuan yang kemarin meninggalkannya di Bandara.
"Kau sungguh menyebalkan! Kenapa kau tidak menemuiku di apartemen?" Shinta memeluk Bima sambil merajuk manja.
"Kamu bilang, aku tidak boleh menemuimu seminggu ke depan, jadi aku sengaja membiarkan kamu menenangkan diri."
"Kamu ini benar-benar tidak peka!" sungut Shinta. Wajah cantiknya terlihat cemberut.
"Aku kan lagi hamil, mood aku berubah-ubah. Kenapa kamu nggak ngerti juga?"
"Maafkan aku, Sayang ...." Bima mendekap erat perempuan yang dicintainya itu. Sementara Renata menatap mereka dengan jengah, kemudian beranjak pergi meninggalkan kedua orang yang sedang dimabuk cinta itu.
Renata menarik napas panjang berkali-kali, mencoba menetralkan rasa sakit yang mengalir ke dinding hatinya. Perempuan itu menepuk dadanya yang terasa sesak, sekuat apapun mencoba menepis, tetap saja, rasa sakit itu kian terasa.
*Sabar, Renata, ini baru awal. Kau masih harus menyiapkan hatimu untuk beberapa bulan ke depannya.
Beberapa bulan?
Tidak! Sepertinya aku harus mengakhiri semua ini secepatnya*.
Bersambung ....