Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Sore harinya.
Ayesha berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayangannya dengan mata sembab. Air hangat dari pancuran baru saja membasuh kulitnya, tetapi rasa dingin dan kotor di dalam dirinya terasa semakin nyata, tidak terhapuskan oleh sabun atau air.
Rambut hitamnya yang panjang basah tergerai di bahu. Di depannya, di atas meja rias, ponselnya berkedip. Ada notifikasi dari Jefry, mengirimkan kembali instruksi dan peringatan terakhir. Waktu terus berjalan, dan jarum jam sudah menunjukkan pukul 17:30.
Waktu yang tersisa untuk menolak, untuk lari, atau untuk memohon bantuan, telah habis.
"Lima ratus juta," bisiknya pada bayangannya, suaranya parau. Angka itu adalah tembok beton yang mengurungnya. Tembok itu bukan hanya menahan dirinya, tetapi juga menahan Bu Ratih yang terbaring lemah. Keselamatan ibunya lebih utama dari segalanya. Lebih utama dari harga dirinya, lebih utama dari benih cinta yang baru tumbuh di hatinya untuk Arsha.
Ayesha terus berfikir sembari berdandan di depan cermin.
Ibu harus dioperasi lusa. Menolak Jefry sekarang berarti operasi itu batal, dan denda itu akan membuat mereka terlilit utang selamanya.
Membebani Arsha dengan hutang ini, terasa seperti mengkhianati kebaikan dan rasa hormat yang Arsha berikan.
Ayesha merasa bahwa jika dia meminta bantuan, dia akan mengukuhkan dirinya sebagai 'wanita bermasalah' yang memanfaatkan.
Ayesha meraih kuas riasnya. Tangannya gemetar, tetapi keputusannya sudah bulat dan pahit.
"Aku tidak pantas mendapatkan Arsha," gumamnya, memaksakan diri untuk menerima kenyataan yang paling menyakitkan. "Cinta seperti miliknya, kebahagiaan sejati, bukan untuk wanita sepertiku."
Dia mulai memoles wajahnya, mengubah penampilan yang tadi pagi polos dan penuh harapan menjadi topeng yang profesional, eksotik, dan cerdas, persis seperti permintaan klien dari Timur Tengah itu.
Setiap sapuan eyeliner dan polesan lipstick terasa seperti menutup pintu untuknya kembali kepada kehidupan yang normal.
Dia mengeluarkan gaun malam yang biasa ia pakai untuk pekerjaan ini, gaun hitam elegan yang ketat, menonjolkan lekuk tubuhnya, namun tetap terlihat berkelas.
Perhiasan minimum, tetapi berharga, untuk menyamai standar klien kelas atas.
Saat Ayesha selesai, wanita yang menatapnya di cermin tampak asing. Itu bukan Ayesha yang tersenyum saat disuapi ibunya, dan bukan Ayesha yang mengirim pesan selamat pagi kepada Arsha. Itu adalah talen profesional, yang terlatih untuk memikat dan melayani.
Dia menyentuh layar ponselnya, dan menatap chat Arsha. Pesan terakhirnya pagi tadi, "Hay, Ayesha. Semoga harimu menyenangkan. Sampai jumpa lusa."
Sebuah isakan tertahan di tenggorokannya. Ia ingin sekali mengetik, "Tolong aku, Arsha. Aku tidak bisa melakukan ini."
Namun, tangannya berhenti.
Aku tidak boleh menghancurkan kepercayaannya, dan aku tidak boleh mengambil risiko ibuku.
Ayesha menghapus air mata yang sempat merusak riasannya. Dia mengunci chat Arsha, lalu membuka detail pesan dari Jefry. Ia harus berangkat sekarang.
Ketika taksi yang dipesannya melaju perlahan menuju pusat kota dan siluet Hotel Gading yang mewah mulai terlihat di kejauhan, Ayesha memejamkan mata.
Dia merasakan penyesalan, rasa hampa, dan kebencian yang kuat terhadap dirinya sendiri karena harus kembali ke lubang gelap ini. Rasa mual kembali menyeruak.
"Malam ini adalah batas akhir," sumpahnya dalam hati. "Aku harus menemukan cara. Aku melakukan ini, demi menyelamatkan Ibu, setelah itu aku akan menghilang dari Jefry dan agensi ini untuk selamanya."
Ia meraih tas tangannya, memastikan bahwa kartu identitasnya, yang menampilkan nama samaran profesional, tersimpan di dalamnya. Saat taksi berhenti di lobi yang berkilauan, Ayesha menarik napas panjang.
Dia melangkah keluar, wajahnya kaku, menampilkan senyum tipis yang terlatih. Dia adalah Ayesha yang profesional, bersiap untuk naik ke suite 3205.
~~
Arsha baru saja menyelesaikan zikir ba'da salat Isya. Ketenangan spiritual yang baru ia raih seketika terusik oleh getaran ponsel yang berulang kali memecah keheningan kamar. Ia menghela napas panjang, lalu beranjak menuju nakas di samping tempat tidurnya.
"Ada apa dengan Prasetyo? Tidak biasanya dia menelepon berkali-kali di waktu seperti ini," gumam Arsha. Firasat kurang baik mulai menyelinap di benaknya.
Ia meraih ponsel tersebut, dan benar saja, nama Prasetyo berkedip di layar, menandakan panggilan yang mendesak. Arsha menggeser tombol jawab dengan gerakan yang tetap tenang namun terukur.
"Assalamualaikum, Pras. Ada apa? Kau tahu ini waktu saya untuk ber-muraqabah," suara Arsha terdengar lembut namun berwibawa, meski terselip nada khawatir yang halus.
Di seberang sana, suara Prasetyo terdengar terengah-engah, jauh dari ketenangan profesionalnya yang biasa. "Wa'alaikumussalam, Gus. Maafkan kelancangan saya, tapi ini keadaan darurat!"
Mata Arsha seketika menajam. "Tenangkan dirimu. Katakan langsung pada intinya."
"Saya baru saja mendapatkan informasi mengenai tekanan Jefry kepada Nona Ayesha. Ternyata ada denda kontrak sebesar Rp 500.000.000 jika ia menolak klien secara mendadak. Dan yang paling krusial..." Prasetyo mengambil napas sejenak, "Jefry menelepon Nona Ayesha sore tadi. Ia mengancam Nona Ayesha untuk menemui klien yang baru saja tiba dari Timur Tengah malam ini, di Suite 3205 Hotel Gading!"
Mendengar nama Ayesha bersanding dengan ancaman dan tempat tersebut, ketenangan Arsha seolah diuji hingga batas maksimal. Wajahnya yang biasanya teduh seketika mengeras. Tatapannya menjadi sangat tajam, memancarkan wibawa yang dingin dan tak terbantahkan.
"Hotel Gading... Suite 3205," ulang Arsha dengan nada rendah yang mengandung peringatan berbahaya. Ia menggenggam tasbih di tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
"Benar, Gus. Saya menduga Jefry memanfaatkan denda itu untuk memaksa Nona Ayesha, karena dia tahu Nona Ayesha sangat membutuhkan biaya operasi ibunya. Klien itu bernama Sheikh Khalid Al-Rashid, klien lama Jefry yang dikenal sangat menuntut. Pertemuan dijadwalkan pukul delapan malam, Gus. Dan... Nona Ayesha sudah berada di sana."
Jantung Arsha berdenyut kencang. Ini sudah hampir pukul delapan. Hanya tersisa sedikit waktu sebelum marwah wanita yang ia lindungi terancam.
"Astaghfirullah..." Arsha beristighfar, namun suaranya kini terdengar sangat tegas dan dingin. "Pras, dengarkan instruksi saya dan jangan dibantah. Batalkan semua agenda saya malam ini tanpa terkecuali."
Ia berdiri tegak, memancarkan aura kepemimpinan yang mutlak. "Siapkan wanita lain dari kalangan profesional untuk menggantikan posisi Ayesha di sana. Pastikan dia aman dan siapkan dana berapapun untuk menyelesaikan urusan ini secara materi. Lakukan sekarang juga, jangan ada kesalahan!"
"Baik, Gus! Saya laksanakan segera!" jawab Prasetyo sebelum memutus sambungan.
Arsha meletakkan ponselnya kembali. Tidak ada ruang untuk keraguan. Baginya, menyelamatkan kehormatan seseorang adalah kewajiban yang melampaui segalanya. Ia mengambil kunci mobil dan mengenakan jasnya dengan gerakan cepat.
"Tunggu saya, Ayesha," bisiknya dengan nada yang sangat dalam. "Demi Allah, saya tidak akan membiarkan seorang pun menyentuhmu atau merendahkan martabatmu. Jefry, kau telah melampaui batas."
Arsha melangkah keluar dengan langkah yang mantap dan terburu-buru. Sesampainya di basement, ia segera memacu kendaraannya membelah jalanan kota menuju Hotel Gading. Pikirannya hanya tertuju pada Ayesha, wanita yang tampak begitu rapuh namun berusaha memikul beban dunia sendirian.
Amarahnya bukan amarah yang meledak-ledak, melainkan amarah yang dingin dan terarah. Ia tidak peduli dengan uang lima ratus juta itu. Baginya, menyelamatkan Ayesha dari lubang hitam itu adalah harga mati.
"Bertahanlah, Ayesha," desisnya sambil menambah kecepatan. "Setelah malam ini, saya pastikan tidak ada lagi tangan-tangan kotor yang bisa menjangkaumu."
...----------------...
Next Episode.....
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.