Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
25
Bara mondar-mandir di kamar penginapan yang sempit itu. Ransel dan kopernya tergeletak di lantai. Bara terlihat tegang, tangannya sering menyentuh keningnya. Bara berdiri di depan cermin, menatap pantulannya. Ia melihat dirinya yang lusuh, tidak rapi dan panik—jauh dari penampilan pria yang bersama Kania tadi.
“Aku bodoh. Seharusnya aku mendengarkan Laras. Aku harusnya tidak perlu ke kota, aku harusnya berada di tempat di mana aku adalah seseorang. Di sini, aku hanya seorang pria yang memohon belas kasihan, sementara dia sudah bahagia dengan pria yang memberinya semuanya.”
Bara mengambil ponselnya. Ia membuka riwayat panggilan ke Radit, siap menelepon untuk memesan tiket pulang ke Desa Ranu Asri. Bara memejamkan mata. Ia bisa mencium aroma kopi yang ia rindukan. Bara membayangkan udara dingin Desa Ranu Asri, damai, tanpa kebisingan dan tanpa bayangan pria itu.
“Aku harus pulang…sekarang.”
Namun, sebelum ia menekan tombol panggil, Bara teringat wajah Ibunya.
“Jangan hanya menunggu…Tunjukan padanya bahwa kamu rela meninggalkan semua kenyamananmu di sini demi meminta maaf dengan tulus.”
Bara menjatuhkan ponselnya ke tempat tidur. Ia terduduk, frustasi. Bara menggebrak kasur dengan tinjunya. “Aku kesini bukan untuk memenangkan dia! Aku kesini untuk memperbaiki kesalahan.”
Bara menyadari bahwa rasa sakit yang ia rasakan sekarang cemburu dan takut—sama persis dengan alasan mengapa Kania meninggalkannya dulu—karena ia tidak mempercayainya dan membiarkan kecemburuan menguasai dirinya.
“Kania bahagia, dan itu bagus. Itu adalah konsekuensi yang harus di terima Bara. Tapi aku datang bukan untuk mengklaimnya, melainkan untuk meminta maaf atas ketidakpercayaannya. Aku harus melangkah melampaui kecemburuan ini. Aku harus membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa memercayainya, bahkan jika ia bersama pria lain.”
Bara berdiri. Ia mengambil handuk, membasahi wajahnya dengan air dingin. Ia menatap cermin sekali lagi. Tekad di matanya kembali. Bara mungkin akan di tolak, ia mungkin tidak akan mendapatkan Kania kembali, tetapi ia harus menyelesaikan misinya. Ia harus meminta maaf.
“Aku tidak akan lari lagi.”
Bara mengatur jam alarm. Besok, ia akan menemui Kania.
Besok paginya, Bara berhasil mendapatkan akses setelah meyakinkan Satpam bahwa ia adalah teman jauh dari Kania dan akan menunggu di luar. Ia kini berdiri di area taman depan, di dekat teras rumah mewah Kania. Rumah itu tampak besar, modern, dan penuh privasi—jauh dari kesederhanaan Desa Ranu Asri.
Bara menarik napas dalam-dalam, menguatkan hati. Ini adalah momen yang ia persiapkan setelah meninggalkan segalanya di Desa Ranu Asri. Bara berjalan ke teras dan mengetuk pintu utama.
Terdengar suara ketukan pelan di pintu kayu yang tebal.
Kania membuka pintu. Ia mengenakan pakaian yang rapi, siap untuk working from everywhere. Raut wajahnya berubah total dari terkejut menjadi dingin dan tidak percaya.
“Bara, apa yang kamu lakukan di sini?” Kata Kania datar dan waspada.
Bara melihat Kania. Di depan rumah mewahnya ini, Kania terlihat jauh lebih mapan dan tak terjangkau.
Suara Bara serak, menahan emosi. “Aku…aku datang menemuimu.”
“Kamu tidak seharusnya berada di sini. Aku sudah bilang, aku tidak akan menemuimu lagi.”
“Aku tahu. Tapi aku tidak bisa—aku harus menemuimu. Bisakah aku bicara sebentar? Kumohon.”
Kania menghela napas, menyadari Bara tidak akan pergi. Ia melangkah sedikit ke teras, menjaga jarak. “Bicaralah..”
Bara berdiri di teras rumah yang luas itu. Bara tidak mencoba melangkah lebih jauh.
“Aku meninggalkan Ranu Asri. Aku meninggalkan kedai, aku titipkan kebun ke Radit. Aku datang ke sini, ke duniamu.”
“Dan kamu pikir itu akan membuat semua yang kau lakukan termaafkan? Kau meninggalkan kenyamananmu? Itu pilihanmu, Bara.”
Bara menghela napas, dan menundukkan kepala. “Aku tahu. Aku tidak datang ke sini untuk memohon kamu kembali, Kani. Aku datang ke sini untuk mengakui.” Bara mengangkat kepalanya, matanya di penuhi penyesalan yang besar.
“Aku meminta maaf. Aku egois, aku pengecut. Aku tidak memercayaimu. Aku membiarkan kecemburuan butaku merusak semua yang kita bangun. Kamu memberiku ketulusan dan aku membalasnya dengan keraguan. Kamu benar-benar pantas pergi. Dan, aku pantas menderita.”
Bara diam, membiarkan kejujurannya membasahi keheningan pagi.
“Kamu bebas. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, stabilitas, kenyamanan, dan kebahagiaan yang tidak bisa kuberikan. Jika kamu sudah menemukan itu di sini, aku…aku akan mundur. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku sangat menyesal. Aku sungguh mencintaimu, dan karena itu, aku akan membiarkanmu bahagia, meskipun bukan bersamaku.”
Kania menatap Bara. Air matanya mulai menggenang, karena akhirnya, Bara datang dengan kejujuran, penyesalan, dan tanpa pembelaan.
Suara Kania bergetar. “Kenapa kamu tidak mengatakan itu saat aku masih di Ranu Asri, Bara?”
“Karena aku egois, cemburu yang tidak beralasan. Aku minta maaf, Kani.”
Bara mengangguk perlahan. Ia berbalik, siap untuk pergi, menyadari misinya telah selesai. Saat Bara mengambil langkah pertamanya untuk pergi, Kania memanggilnya. “Bara!”
Bara berhenti, tapi tidak berbalik. “Aku bertemu, dia…”
Bara membeku di ambang pintu gerbang taman. Ia perlahan berbalik, matanya menatap Kania dengan campuran keterkejutan dan luka lama yang terbuka.
“Dia..masa lalu-mu?”
Bara sudah tahu, ia melihat pria itu kemarin saat mengantar Kania.
Kania melihat Bara. Ia melihat kebingungan, kecemburuan, dan ketakutan lama yang kini kembali muncul di mata Bara. Kania tahu ini adalah ujian terakhir untuk Bara.
Nada suara Kania tenang. “Dia mantan kekasihku. Kami tidak sengaja bertemu lagi. Dia menawakanku kembali bersamanya. Dia tidak akan pernah membuatku merasa tidak berharga.”
Kania berhenti. Ia menatap Bara dengan tatapan penuh tantangan. “Dia, Satya, menjemputku tadi malam. Aku makan malam dengannya. Dan sekarang, aku sedang mempertimbangkan tawarannya.”
Jantung Bara berdebar kencang. Naluri lamanya, Bara yang cemburu dan tidak percaya, berteriak menyuruhnya untuk marah, menuduh, dan mempertanyakan kesetiaan Kania. Bara mengepalkan tangannya. Ia ingat malamnya yang penuh penyiksaan di kamar penginapan. Bara datang ke sini untuk membuktikan bahwa ia telah berubah.
Bara mengambil napas dalam-dalam, suaranya pelan. “Aku…aku melihatnya tadi malam” Bara memejamkan matanya sejenak, melawan iblis kecemburuannya.
Bara membuka mata, menatap Kania dengan tatapan baru, penuh penerimaan. “Itu tidak masalah, Kani. Kamu bebas, kamu berhak memilih, dan kamu berhak memilih pria yang tidak akan pernah meragukanmu.”
Bara melangkah mundur. Ia memilih untuk percaya pada Kania, pada pilihannya, bahkan jika pilihan itu menghancurkannya.
“Aku datang kesini untuk meminta maaf dan menebus kesalahanku. Dan bagian dari penebusan itu adalah mempercayaimu sepenuhnya. Percaya bahwa kamu akan membuat pilihan terbaik untuk dirimu sendiri. Aku mencintaimu, Kani. Aku minta maaf. Dan aku akan mendukung kebahagiaanmu, apapu bentuknya.”
Bara mengangguk, kali ini tanpa keraguan. Misinya benar-benar telah selesai. Ia berbalik, melangkah pergi dengan langkah yang jauh lebih mantap daripada saat ia datang.
Kania terdiam. Air matanya kini tumpah, bukan karena sedih, tetapi karena ia melihat perubahan yang ia nantikan selama ini. Bara telah melepaskan dirinya dari ketidakpercayaan.
Suara Kania tercekat. “Bara…”
Bara tidak berhenti. Ia terus berjalan menuju gerbang, meninggalkan rumah mewah itu.
Kania berlari ke ujung teras, dan berteriak. “Aku belum memilih, Bara!”
Bara berhenti di gerbang, punggungnya menghadap Kania.
“Aku makan malam dengannya karena aku ingin tahu apakah bisa menambal lubang yang kamu tinggalkan! Tapi penyesalanmu…permintaan maafmu…kepercayaanmu padaku sekarang…” Kania terengah. “Itu adalah hal paling jujur yang kamu katakan padaku..”
Bara berbalik perlahan, hatinya berdebar tidak percaya. Kania berlari menghampirinya dengan air mata mengalir deras. Kania tiba di hadapan Bara, terengah-engah. Ia meraih lengan Bara, menghentikannya.
“Jangan pergi, mas. Aku…aku..”
Bara menatap Kania, matanya penuh cinta dan penerimaan. “Kamu sudah memilih kebahagiaan lain. Dan aku menerimanya.”
Kania menggeleng kuat. “Tidak. Kamu salah, mas. Satya—dia memang menawariku lembaran baru. Tapi aku sadar, aku tidak bisa bersama nya lagi.”
Kania memegang kedua tangan Bara.”Saat kamu datang hari ini, meninggalkan semua yang kamu cintai, hanya untuk meminta maaf dan memilih untuk mempercayaiku meskipun kamu melihat aku bersama pria lain…” air mata Kania semakin deras. “Aku masih menyayangimu, mas..”
Bara tidak bisa menahan perasaannya lagi. Ia tersenyum lega, penyesalannya kini tergantikan oleh harapan.
Suara penuh haru Bara. “Kamu memberiku kesempatan lagi? Setelah semua yang sudah kulakukan?”
“Aku tidak memberimu kesempatan kedua, mas. Aku memberi kita awal yang baru. Tapi kali ini, kamu harus berjanji. Kepercayaan adalah yang utama.”
Bara menarik Kania ke dalam pelukan yang erat dan tulus. Pelukan itu dipenuhi penyesalan, penebusan, dan cinta. “Aku janji. Aku bersumpah. Tidak akan ada lagi, keraguan, keegoisan.”
Mereka berdua saling menatap, dan Bara mencium Kania dengan lembut. Mereka kembali bersatu, bukan karena ketergantungan lama, melainkan karena keputusan sadar yang di bangun di atas kejujuran.