NovelToon NovelToon
ANTARA CINTA DAN DENDAM

ANTARA CINTA DAN DENDAM

Status: tamat
Genre:Mafia / Balas Dendam / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Tamat
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Tengah malam itu, keheningan di dalam kamar losmen terasa sangat dalam, hanya diselingi suara jangkrik dari luar.

Bima berbaring di samping Sania. Meskipun ia memeluk istrinya erat, ia tidak bisa tidur nyenyak.

Kakinya terasa sakit, dan kata-kata Sania beberapa jam lalu terus terngiang, menusuk hatinya.

Tiba-tiba, Bima merasakan tubuh Sania mulai tegang. Genggaman Sania di kemejanya menguat, dan napasnya mulai tersengal-sengal.

"Jangan, jangan sentuh aku..." bisik Sania, suaranya parau dan penuh ketakutan. Ia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, lalu terisak pelan.

"Pergi, kumohon... flashdisk..."

Bima langsung tahu. Sania sedang terjebak di dalam mimpi buruk yang menghidupkan kembali trauma yang baru ia ceritakan.

"San? Sayang?" panggil Bima lembut, mengusap bahu Sania, berusaha membangunkannya tanpa membuatnya terkejut.

Sania meronta sedikit, matanya tertutup rapat, air mata mengalir di pelipisnya.

"Tidak! Aku tidak mau..."

Bima segera menyalakan lampu tidur kecil di samping ranjang.

Cahaya redup menyinari wajah Sania yang dipenuhi keringat dingin. Ia meraih wajah Sania dengan kedua tangannya.

"Sania! Bangun, Sayang. Itu hanya mimpi," ucap Bima sedikit lebih tegas, mengguncang tubuh istrinya perlahan.

Sania tersentak, matanya terbuka lebar. Ia menatap Bima dengan pandangan kosong, penuh kengerian.

Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada.

Ia menjerit tertahan, tubuhnya mundur hingga punggungnya membentur sandaran kepala ranjang.

"Bima? Di mana dia?" Sania bertanya, suaranya panik, tangannya meraba-raba seolah mencari senjata atau perlindungan.

Bima segera memeluknya lagi, menarik tubuh Sania yang gemetar ke dalam pelukannya yang hangat.

"Aku di sini, Sayang. Aku di sini," Bima berbisik, mencium puncak kepala Sania berulang kali.

"Kita aman. Kita di losmen, jauh dari siapa pun. Tidak ada Salvatore di sini. Itu hanya mimpi buruk, Sayang."

Sania memeluk Bima sekuat tenaga, menenggelamkan wajahnya di dada suaminya, menangis tersedu-sedu.

Gemetarnya perlahan mereda setelah ia menyadari bau tubuh Bima, merasakan detak jantung suaminya, dan mendengar suara Bima yang menenangkan.

"Aku takut, aku sangat takut, Bi," Sania terisak.

"Aku tahu. Aku tahu," Bima memejamkan mata, menahan rasa sakit di hatinya.

Ia mengusap punggung Sania dengan lembut. "Tapi kamu tidak sendirian. Jangan takut. Aku di sini, dan aku tidak akan pergi ke mana-mana. Kita akan melewati semua ini bersama."

Bima terus memeluk Sania hingga tangisnya mereda dan napasnya kembali normal.

Malam itu, ia tidak mengizinkan Sania tidur sendiri, memastikan sentuhan dan kehadirannya menjadi benteng nyata yang melindungi Sania dari mimpi buruk dan bayangan masa lalu.

Setelah Sania merasa sedikit tenang, ia melepaskan pelukan Bima.

Mereka berdua duduk bersandar pada sandaran ranjang, kelelahan mental dan fisik terasa nyata. Sania meraih tangan Bima, memain-mainkan jarinya dengan gelisah.

"Bim," Sania memulai, suaranya pelan dan ragu-ragu.

"Bagaimana kalau kita serahkan saja flashdisk itu ke kantor polisi?"

Bima yang tadinya menatap lurus ke depan, langsung menoleh cepat ke arah Sania.

Ia menatap istrinya, lalu perlahan menggelengkan kepalanya.

"Tidak, San," jawab Bima, suaranya terdengar dingin dan tegas.

Sania meremas tangan Bima. "Tapi, kenapa tidak? Itu isinya bukti kejahatan Salvatore. Kalau polisi punya, kita tidak perlu dikejar-kejar lagi. Kita bisa..."

"Kita tidak bisa percaya siapa pun saat ini, Sania," potong Bima, tatapannya tajam.

"Kamu pikir kenapa kita bisa lari sejauh ini tanpa ada yang membantu? Salvatore punya mata dan telinga di mana-mana, termasuk di kepolisian. Mungkin bukan semua, tapi cukup untuk membuat flashdisk itu hilang sebelum sempat diselidiki."

Bima menarik napas dalam-dalam, menahan rasa frustrasinya.

"Kalau kita berikan ke polisi sekarang, itu sama saja dengan menyerahkannya ke Salvatore. Kita akan kehilangan kartu AS kita, dan mereka akan tahu di mana mencari kita. Tidak ada perlindungan, San. Tidak ada yang bisa kita percaya."

Bima menggenggam tangan Sania erat, berusaha meyakinkannya.

"Buktinya ada pada kita. Hanya kita yang tahu isinya. Dan hanya kita yang bisa menggunakannya untuk menghancurkannya. Kita harus menyimpannya sampai kita mencapai titik aman di mana kita benar-benar bisa menggunakannya sebagai senjata, bukan sebagai umpan."

Sania menunduk, mengangguk perlahan, mengakui kebenaran pahit dalam ucapan suaminya.

"Lalu, kita mau ke mana, Bi?"

"Ke tempat yang tidak akan pernah terpikirkan olehnya. Tempat yang sangat jauh dan sangat sepi," jawab Bima, matanya kini memancarkan tekad yang membara.

"Tapi sebelum itu, aku harus pastikan kamu tenang. Kita tidak akan bergerak sampai kamu siap, Sayang."

Sania menuruti perkataan suaminya. Ia tahu Bima benar. Dalam situasi yang penuh pengkhianatan ini, menyerahkan bukti kepada pihak berwenang mungkin sama saja dengan bunuh diri.

Ia bersandar di dada Bima, merasakan kehangatan dan kekuatannya, dan perlahan, mereka kembali tertidur, kali ini dengan pelukan yang lebih erat, menawarkan perlindungan dari mimpi buruk.

Keesokan paginya, Bima terbangun dengan rasa nyeri di kakinya yang sedikit membaik. Ia melihat Sania sudah tidak ada di sisinya.

"San?" panggilnya pelan.

Tidak ada jawaban.

Bima menghela napas, mengasumsikan Sania sedang ke kamar mandi atau mengambil sarapan ringan yang sudah ia siapkan.

Ia berpegangan pada pinggiran ranjang, bersiap untuk berdiri.

Sementara itu, Sania keluar dari kamar losmen. Udara pagi terasa dingin, dan ia berjalan menuju lorong sepi yang mengarah ke area parkir belakang, tempat ia ingin menghirup udara segar.

Tiba-tiba, jantungnya seakan berhenti.

Di ujung lorong, di dekat tumpukan kardus dan tempat sampah, Sania melihat seorang wanita sedang berbicara di telepon dengan suara pelan dan gestur yang terburu-buru.

Wajah yang tak mungkin ia lupakan. Pelaku pembunuhan Adam.

Wanita yang bertanggung jawab atas segala kekacauan ini, yang membuka jalan bagi Salvatore untuk menjebak Bima.

Nalurinya langsung berteriak waspada. Bagaimana mungkin Sisil ada di losmen kecil terpencil ini? Pasti ada hubungannya dengan Salvatore. Sisil pasti mata-mata atau sedang menjalankan tugas.

Wajah Sania langsung berubah dingin, semua ketakutan yang ia rasakan semalam menguap, digantikan oleh amarah murni dan tekad yang kuat. Ini adalah kesempatan.

Sania berjalan mengendap-endap. Beruntung, ia masih mengenakan jaket yang sama, tempat ia menyimpan flashdisk dan sebuah botol kecil berisi cairan bius yang ia ambil secara diam-diam dari persediaan di klinik dokter, sebagai tindakan jaga-jaga.

Sisil masih sibuk berbicara, memunggunginya, tidak menyadari kehadiran Sania.

Sania bergerak seperti bayangan. Ia melepas topi jaketnya, menutup sebagian wajahnya, dan menarik napas dalam-dalam.

Dengan langkah seringan mungkin, ia mendekati Sisil dari belakang.

Tepat ketika Sania berada di belakang Sisil, ia dengan cepat menyentakkan tangan ke depan, membius Sisil dengan cairan yang sudah ia siapkan. Sania menahan napasnya sendiri untuk menghindari bau bius.

Tubuh Sisil langsung lemas. Ponsel yang dipegangnya terjatuh ke tanah.

Sania dengan sigap menangkap tubuh Sisil agar tidak menimbulkan suara gaduh, lalu menyeretnya ke belakang tumpukan kardus, menyembunyikannya dari pandangan.

Sania berdiri terengah-engah, adrenaline membanjiri tubuhnya.

Ia menatap wajah Sisil yang tak sadarkan diri. Permainan baru saja dimulai.

Ia kini memiliki sandera, dan mungkin, kunci untuk memecahkan semua masalah mereka.

1
kalea rizuky
buat pergi jauh lahh sejauh jauhnya
kalea rizuky
biadap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!