Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Late Night Scene
Menjelang dini hari, hujan tiba-tiba turun, begitu deras disertai petir yang menggelegar. K menggeliat dari dalam selimut, sekujur tubuhnya menggigil. Kelopak matanya terasa berat, dipaksa terbuka dan tangannya meraba meja di samping kasur, mencari keberadaan remot AC. Usai didapat, ditekannya tombol merah hingga AC perlahan-lahan tertutup.
Tetapi masalahnya tidak selesai hanya karena suhu udara di kamarnya mulai menghangat. K merasakan tenggorokannya kering, dan saat melihat gelas yang selalu disediakannya di atas meja, gelas itu dalam keadaan kosong. Dia mendesah malas. Bimbang benaknya antara turun ke dapur dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, atau kembali tidur. Bertahan sebentar lagi, menahan kering di tenggorokan sampai pagi datang betul-betul.
Namun ternyata haus yang melanda tidak bisa dikalahkan dengan mudah. K terdorong bangun dari posisi rebah, duduk bersila sebentar sambil mengumpulkan serpihan nyawanya yang masih bercecer di sekitar. Usai dirasa penuh, kakinya turun perlahan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai yang nyaris beku, bulu halus di tubuhnya serempak berdiri, bergidik ngeri. K menggosok kedua lengannya, mencoba menciptakan kehangatan untuk dirinya sendiri. Baru setelahnya dia menyambar gelas kosong di atas meja, membawanya keluar kamar.
Ketika pintu kamar baru terbuka, K disambut oleh keadaan ruang tengah yang gelap gulita. Cahaya hanya datang dari layar laptop yang masih menyala di atas meja. Sementara di sofa, Angger tidur meringkuk seperti janin dalam kandungan. Cahaya dari layar laptop jatuh ke wajahnya, membuat K bisa melihat raut wajah lelahnya yang tak enyah meski empunya tengah terlelap.
K terdiam di depan pintu untuk waktu yang cukup lama. Memperhatikan bahu Angger bergerak naik turun dengan gerakan halus, menunjukkan aliran napasnya yang teratur. Melihat ke hari-hari lalu, K jadi teringat momen saat Angger bekerja keras mencari kebenaran di balik kematian papa dan kakak perempuannya. Waktu itu Angger juga seperti ini. Memeras tenaga, terjaga hingga larut, bahkan sering pula melewatkan jam makannya.
Dulu K hanya bekerja sebagaimana diperintahkan, menjalani perannya sebagai tangan kanan tanpa banyak melibatkan perasaan. Tetapi kini keadaannya sudah banyak berubah. K tidak bisa menutup mata, mematikan sisi manusiawinya. Jadi alih-alih melengos dan lanjut ke dapur demi menuntaskan dahaga, K putar balik. Lemari pakaiannya dibuka, K menarik selimut bersih dari sana, lantas membawanya kembali ke ruang tengah.
K letakkan gelas kosongnya di meja, lalu merentangkan selimut ke atas tubuh Angger. Gerakannya hati-hati, tidak ingin mengusik tidur bosnya yang mungkin juga belum terlalu nyenyak. Kemudian, K beralih pada laptop yang ikutan diforsir tenaganya. Layar benderang masih menunjukkan daftar rencana, menggambarkan betapa kuat tekad Angger untuk memperjuangkan keselamatan Kertapati sekeluarga. Meski itu sama sekali bukan tanggung jawabnya.
"Kehilangan memang sepedih itu, ya, Chief," gumamnya, seraya menggerakkan kursor ke sudut kanan bawah, mencari opsi shutdown.
Layar yang semula terang, berangsur padam, titik-titik kecil membentuk lingkaran berputar di sana selama beberapa detik, sebelum akhirnya lenyap dan layar sepenuhnya hitam. K menutup laptop, mendorongnya ke sisi meja yang lebih dalam.
Tepat saat K hendak menegakkan kembali tubuhnya, ponsel Angger yang tergeletak juga di meja, menyala. Satu notifikasi muncul, berupa pengingat bahwa hari ini, adalah hari di mana dunia Angger runtuh bertahun-tahun yang lalu. Hari peringatan kematian kakak perempuannya, yang masih terus diingat dan ditandai oleh Angger. Hari yang datang satu kali selama setahun, yang akan membuat suasana hati Angger berubah mendung.
K tidak pernah tahu akan butuh berapa lama untuk menyembuhkan luka yang Angger derita. Yang bisa dia lakukan, sebagai tangan kanan pria itu, hanyalah mematuhi perintah agar bosnya tidak mendapatkan luka baru di saat yang lama belum sembuh.
"Tenang, Chief," katanya, seraya menoleh ke arah Angger yang masih geming dalam posisi tidurnya. "Saya pastikan Nona Kertapati aman sampai akhir. Nyawa saya taruhannya."
...✨✨✨✨✨...
Perkara setan masih saja membuat Amy kepikiran. Alhasil, dia menolak pulang. Bersikukuh menginap di rumah Nuansa meski sang empunya mencak-mencak memintanya enyah. Tetapi semakin Nuansa mencak-mencak, semakin pula Amy yakini bahwa perempuan itu memang sedang kerasukan. Amy mengeluarkan seluruh tenaga untuk tetap tinggal. Jiwa laki-laki yang terpendam dalam diri, dimunculkan kembali hanya demi menang dalam perdebatan. Sampai akhirnya Nuansa tidak punya pilihan, dan terpaksa membiarkan mereka tidur satu ranjang.
Ya, satu ranjang. Karena Amy takut tidur sendirian. Di apartemennya sendiri, dia punya kawan. Perempuan juga, anak kuliah yang kebetulan butuh teman patungan menyewa hunian.
"Geser," kata Nuansa, penuh penekanan. Matanya sudah terpejam sejak tadi, tetapi tidak juga kunjung bisa terlelap. Apalagi, setelah hujan turun disertai petir dan angin kencang. Makin-makin saja Nuansa tidak bisa tidur. Untung besok weekend, jadi dia tidak perlu bangun pagi-pagi.
"Eyke udah di ujung, Nuansay cantik," balas Amy. Kalimatnya terdengar manis, tetapi nada suaranya penuh geram.
Nuansa membuka mata, menoleh secepat kilat. "Apanya yang di ujung?" tembaknya, "tangan lo aja nemplok di perut gue!"
Mata Amy pun juga terpejam. Dia berbaring miring, memeluk posesif perut Nuansa. "Ssstt ah. Yey nih banyak bicara, ya. Kita harus tidur, tahu. Walaupun besok weekend, kita tetap harus--"
"Gue nggak bisa tidur karena lo kekep!" potong Nuansa.
Detik itu, Amy membuka mata, dan langsung cemberut. "Yey kan tahu eyke nggak bisa bobo sendiri."
"Nggak usah sok cantik," ketus Nuansa. Mata Nuansa melotot, bola matanya sampai nyaris copot. Momen itu, dia tampak seperti pemeran antagonis dalam sebuah drama. Tengah merundung sang protagonis yang lemah tak berdaya.
"Nuansay!" protes Amy, nadanya manja dan main-main. Tubuhnya tersentak cepat, duduk dengan kedua tangan langsung terlipat di depan dada. "Jangan begitu sama eyke. Eyke bela-belain tidur di sini buat jagain yey, tahu. Yey kan bilang lagi ditempeli hantu."
"Ya emang lagi ditempelin hantu!" Nuansa ikut duduk. Matanya menyipit, kemudian kepalanya meneleng sedikit. Berlagak seolah tengah melihat sesuatu, yang menempel di belakang Amy. "Tuh, setannya nempel di punggung lo sekarang. Lidahnya keluar, mau jilat leher lo sampai basah kuyup dan bau anyir. Terus--"
"Stop!" Amy menggeleng ribut, menutup telinga dengan tangan. "Yey jangan begitu! Eyke takut!"
"Ya makanya," cetus Nuansa, disibakkannya selimut dengan gerakan menyentak yang kasar. "Jangan deket-deket sama gue. Emangnya lo mau setannya pindah nempel ke lo?"
"Nggak mau!" Gelengan Amy makin keras. Ya kali, masa sih dia jadi harus ketempelan setan gara-gara mau menjaga Nuansa? No, no, ya!
"Udahlah, gue mau tidur di kamar sebelah!" Nuansa melompat turun dari kasur. Sebelum langkahnya terayun, dia berbalik dan menunjuk wajah Amy. Mimik mukanya serius. "Jangan ikutin gue." Dia memperingatkan.
Amy mencebik sedih. "Eyke takut...." rengeknya.
"Siapa suruh ngeyel. Udah gue suruh pulang, malah kekeuh buat nginep."
"Kan eyke khawatir sama yey."
Tangan Nuansa mengibas di udara. "Udah, thanks buat niat baiknya. Sekarang gue butuh tidur, dan gue nggak bisa tidur kalau lo kekep. Jadi lo diam di sini, dan gue tidur di kamar sebelah. Jangan coba-coba bangunin! Gue mau bangun sebangun-bangunnya jiwa gue aja! Bye!"
Setelah merepet, Nuansa kabur meninggalkan Amy untuk pergi ke kamar sebelah. Amy sendiri juga tidak punya pilihan. Mau pulang ke apartemen pun sudah kepalang tanggung. Akhirnya dia cuma bisa pasrah, menarik selimut sampai menenggelamkan seluruh tubuh, dan mencoba untuk tidur. Tak lupa merapal doa, mantera, atau apa pun itu yang mudah-mudahan saja berhasil mengusir setan yang sedang membayangi hidup Nuansa.
Sementara Nuansa, alih-alih langsung masuk ke kamar sebelah, malah membelokkan langkahnya ke dapur. Dia membuka kulkas, mengambil air dingin dari sana untuk kemudian ditenggak sampai tandas. Tetapi itu adalah keputusan yang salah. Karena saat hendak menutup kembali pintu kulkas, dia malah melihat....
Bersambung.....