Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 — Retakan di Cermin Jiwa
Ruang meditasi di Sekte Langit Tenang selalu terasa hening, bahkan bagi mereka yang datang dari gunung terpencil. Lilin-lilin kristal menebar cahaya lembut, memantul pada dinding batu dan kolom kayu tua, menciptakan bayangan yang bergoyang perlahan. Shen Wuyan berdiri di tengah ruangan, kaki menapak di lantai dingin, tangan terentang di depan cermin batu yang selalu menjadi pusat latihan para murid.
Cermin itu bukan sekadar alat refleksi, tapi titik fokus energi roh yang membantu menstabilkan Hun dan Po. Shen Wuyan menutup mata, memusatkan diri pada aliran qi yang merambat di tubuhnya, mencoba menggabungkan fragmen-fragmen jiwanya yang mulai bergetar tak stabil.
Ruang meditasi terasa semakin sunyi, bahkan napasnya sendiri terdengar menembus hening. Hun mengalirkan kesadaran logis, Po menyalurkan naluri gelap yang selama ini tersembunyi. Ia merasakan energi bayangan yang semalam berbisik di pikirannya, mengikuti setiap gerakan, setiap napas, setiap pikiran.
Saat ia mulai menyalurkan qi ke cermin batu, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Energi yang sebelumnya terkendali mendadak memuncak, pecah di dalam dirinya. Hun mencoba menenangkan, Po mendorong, dan energi itu bertemu di cermin dengan tekanan luar biasa. Retakan tipis muncul, melintang dari sudut bawah ke tengah permukaan.
Shen Wuyan membuka mata perlahan. Retakan itu seakan hidup, menyala samar di cahaya lilin. Ia menelan ludah, jantung berdebar. “Ini… tidak mungkin.” Energi yang terpecah di cermin bergetar, memantul kembali ke tubuhnya, mengguncang kesadaran.
Murid lain yang berada di ruang meditasi merasakan aura yang berbeda. Beberapa mundur selangkah, mata mereka melebar. Bisik-bisik terdengar: “Itu aura iblis…”
Wuyan menoleh. Murid-murid lain menatapnya dengan ketakutan dan ketidakpercayaan. Aura yang sebelumnya tersembunyi kini tampak, samar tapi cukup untuk menimbulkan jarak sosial. Rasa terasing itu menusuknya lebih dalam daripada retakan di cermin itu sendiri. Ia merasakan tatapan mereka seperti duri yang menembus daging, membuat setiap napas terasa berat.
Ia mencoba menjelaskan, suaranya hampir tak terdengar: “Aku… aku tidak sengaja—” Tapi tidak ada yang mendengar. Mereka menjauh satu per satu, seolah takut tertular oleh energi yang belum ia pahami sepenuhnya. Ruangan itu kini terasa lebih luas, tapi kosong secara sosial. Hanya Shen Wuyan dan retakan yang memantulkan cahaya lilin, seperti simbol fragmentasi internalnya sendiri.
Ia menunduk, menatap serpihan cermin yang berkilau samar. Fragmen itu memantulkan bayangan wajahnya sendiri, tapi berbeda. Ada senyum samar yang tidak ia kenali, mata yang seolah menatapnya dengan intensitas yang asing. Wuyan menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. Hun menuntunnya menahan ketakutan, Po mendorongnya menghadapi fragmentasi itu.
“Ini… retakan jiwa…” bisiknya sendiri. Ia merasakan gelombang energi yang berulang, seperti detak jantung yang terpecah. Setiap fragmen cermin memantulkan sisi lain dari dirinya, sisi yang belum pernah ia lihat atau terima. Wajah di cermin tersenyum, tapi bukan senyum biasa. Ada sesuatu yang menantang, menyiratkan rahasia yang menunggu untuk diungkap.
Shen Wuyan menutup mata lagi, mencoba memusatkan diri. Hun mencoba menyatukan logika, Po menenangkan naluri yang mulai kacau. Ia merasakan bayangan yang semalam berbisik, kini bergerak di dalam retakan cermin, menunggu untuk berinteraksi. Fragmentasi ini bukan sekadar fisik, tapi psikologis; retakan itu menjadi simbol ketidakstabilan jiwa yang harus ia hadapi.
Di sudut ruangan, murid lain tetap menjaga jarak. Mereka berbisik satu sama lain, menebak-nebak maksud Wuyan, sebagian takut, sebagian penasaran. Aura iblis yang mereka rasakan adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, tapi nyata. Shen Wuyan bisa mendengar mereka, tapi setiap kata terasa seperti lontaran batu ke dalam kesadarannya sendiri. Ia merasa semakin terisolasi, semakin terasing, tetapi di dalam isolasi itu, ada kesadaran baru yang mulai tumbuh.
Cermin batu terus bergetar lembut. Setiap retakan memantulkan bayangan yang berbeda, membentuk wajah-wajah yang seolah hidup, tersenyum samar, menunggu pengakuan. Shen Wuyan menelan ludah, menyadari bahwa ini adalah ujian batin yang lebih berat daripada latihan fisik apapun. Hun dan Po bersatu, mencoba menstabilkan energi, namun fragmentasi jiwa yang muncul dari retakan cermin menuntut lebih.
Ia menunduk lebih dalam, merasakan tiap fragmen jiwa bergetar, menanyakan identitasnya sendiri. “Siapa aku…?” suara batin itu bergetar, tapi tidak terdengar oleh murid lain. Bayangan dalam retakan menjawab dengan senyum yang tidak bisa ia pahami, menembus setiap lapisan kesadarannya.
Lampu kristal bergetar, cahaya lilin menari di dinding. Suasana menjadi semakin dramatis. Bayangan di cermin mencondongkan kepala, seolah ingin berbicara, tapi tetap diam. Shen Wuyan menelan ludah lagi, merasakan ketegangan yang memuncak di seluruh tubuh. Fragmentasi ini bukan hanya soal cermin, tapi tentang dirinya sendiri — Hun yang sadar, Po yang naluriah, dan sisi gelap yang kini muncul tanpa bisa ia kontrol sepenuhnya.
Shen Wuyan tetap menunduk, tubuhnya tegang, napasnya berat. Retakan di cermin seolah menatapnya, hidup dan bergerak mengikuti setiap getaran jiwa. Hun berusaha menenangkan logikanya, mencoba menyatukan pecahan energi yang berantakan. Po menyalurkan naluri gelapnya, menuntut keberanian, menuntut Wuyan menghadapi sisi gelap yang selama ini disembunyikan.
Ia menarik napas dalam, merasakan energi berputar di seluruh tubuh, seperti pusaran halus yang menekan tapi sekaligus menenangkan. Bayangan di cermin tersenyum lebih lebar, dan kali ini, seakan menyalurkan kehendak yang berbeda dari dirinya sendiri. Shen Wuyan merasakan gelombang ketegangan, rasa takut yang mendalam bercampur dengan keingintahuan yang tak bisa dibendung.
Di sudut ruangan, murid-murid lain saling berpandangan. Mereka menjaga jarak, takut tertular aura yang belum bisa mereka pahami. Bisik-bisik terdengar, namun tidak jelas, seperti bayangan suara yang menempel pada udara. “Dia… apa itu… iblis?”
Wuyan menelan ludah. Suasana ini menekannya lebih dalam daripada retakan cermin itu sendiri. Ia merasa terisolasi, sendirian dalam ruang meditasi yang seharusnya menjadi tempat damai. Namun di balik rasa terasing itu, ada dorongan baru: untuk memahami, bukan melawan; untuk menerima, bukan menolak.
Ia menutup mata lebih erat, memusatkan seluruh kesadarannya pada fragmentasi Hun dan Po. Hun menuntunnya menilai logika, menata kesadaran, menahan ketakutan. Po menyalurkan naluri, menyalakan energi gelap yang selama ini tersembunyi, mendorongnya menghadapi ketidakseimbangan. Shen Wuyan merasakan keseimbangan rapuh terbentuk di antara fragmentasi itu, tapi retakan di cermin tetap ada, menunggu untuk diuji lagi.
Serpihan cermin memantulkan cahaya lilin, membentuk bayangan yang tampak hidup. Wuyan merasakan setiap fragmen energi itu menempel pada dirinya, seperti menuntut pengakuan. Ia menelan ludah, jantung berdegup lebih cepat, tapi rasa takut mulai berubah menjadi kesadaran. “Aku… harus menghadapimu,” bisiknya pada bayangan di cermin, pada sisi gelap yang tidak bisa ia hindari.
Bayangan tersenyum, mencondongkan kepala seakan mengerti. Tidak ada kata-kata, hanya keheningan yang menekan, membuat setiap napas terasa lebih berat, setiap detak jantung terasa lebih cepat. Wuyan merasakan gelombang energi yang keluar dari dirinya, mengalir ke retakan cermin, memantul, dan kembali, menciptakan interaksi batin yang mencekam.
Ia menatap serpihan cermin, melihat pantulan yang berbeda dari dirinya sendiri. Mata-mata itu menembus lapisan kesadarannya, menantang, menggoda, menuntut pengakuan. Hun menenangkan, Po menuntut keberanian, dan Wuyan merasakan aliran energi yang menyatukan semua fragmentasi, membentuk kesadaran baru yang rapuh tapi nyata.
Murid-murid lain tetap menonton dari kejauhan, wajah mereka tegang. Aura iblis yang mereka rasakan membuat mereka menjauh, tapi mereka tidak bisa menahan rasa penasaran. Beberapa mencoba mendekat, tapi langkah mereka berhenti di udara tipis, takut mendekat lebih jauh. Shen Wuyan sadar bahwa kesalahpahaman ini akan menjadi beban sosial yang harus ia tanggung, namun malam ini, fokusnya hanyalah pada cermin dan bayangan yang menantangnya.
Ia menelan ludah lagi, menutup mata sejenak, dan membiarkan energi mengalir bebas. Retakan cermin memancarkan cahaya lembut, memantulkan wajah lain yang tersenyum padanya — wajah yang bukan miliknya, tetapi juga bukan bayangan biasa. Ia merasakan Po bergetar, naluri gelap menuntutnya untuk menerima, Hun menuntun kesadarannya untuk tetap jernih.
Suasana semakin tegang. Lilin kristal menari, bayangan di dinding bergoyang seiring energi yang berputar. Shen Wuyan menunduk, mencoba menstabilkan diri. Ia menyadari fragmentasi ini bukan akhir, tapi awal dari pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri, tentang Hun, Po, dan sisi gelap yang selama ini tersembunyi.
Tiba-tiba, serpihan cermin bergerak sendiri, berputar perlahan di udara, memantulkan cahaya lilin ke seluruh ruangan. Wuyan menatap pantulan itu, dan wajah yang tersenyum di serpihan cermin mencondongkan kepala, menatapnya dengan intensitas yang menekan. “Aku… harus menghadapi ini,” pikir Wuyan, menelan ludah, merasakan energi yang terus berputar di tubuhnya.
Bayangan itu tetap diam, tapi kehadirannya terasa menembus setiap fragmen kesadaran Wuyan. Ia merasakan ketegangan yang membakar, rasa takut yang menekan, dan kesadaran bahwa fragmentasi ini bukan hanya soal Hun dan Po, tapi tentang identitas yang mulai retak. Setiap gerakan cermin, setiap pantulan wajah yang tersenyum, menuntutnya untuk mengakui sisi dirinya yang tersembunyi.
Shen Wuyan menutup mata, menarik napas panjang, dan merasakan energi mengalir dari cermin ke dirinya, dari dirinya ke cermin, menciptakan simfoni batin yang mencekam tapi memikat. Ia merasakan Hun dan Po bersatu untuk pertama kali secara rapuh, menstabilkan sebagian fragmentasi, tapi retakan tetap ada, sebagai pengingat bahwa jiwanya belum utuh.
Lampu kristal bergetar pelan, bayangan di dinding semakin panjang dan dramatis. Murid-murid lain tetap menjaga jarak, beberapa menunduk, takut menatap langsung aura yang kini menempel pada Wuyan. Rasa terasing itu semakin dalam, tapi Shen Wuyan mulai menyadari bahwa kesendirian ini adalah bagian dari perjalanan, bagian dari latihan untuk memahami jiwanya sendiri.
Serpihan cermin terakhir bergerak, memantulkan wajah lain yang tersenyum padanya. Senyum itu mengandung misteri, ancaman halus, dan janji yang belum terungkap. Shen Wuyan menelan ludah, merasakan kombinasi rasa takut dan penasaran, menyadari bahwa malam ini adalah awal dari ujian yang jauh lebih dalam.
Ia menunduk, menarik napas panjang, dan membiarkan energi mengalir tanpa hambatan. Retakan di cermin menjadi simbol fragmentasi jiwa, bayangan yang tersenyum menjadi pengingat bahwa identitas dan kesadaran bukanlah sesuatu yang pasti, tapi teka-teki yang harus dihadapi dan dipecahkan perlahan.
Di tengah keheningan ruang meditasi, Shen Wuyan membuka mata perlahan. Bayangan di cermin tetap tersenyum, murid-murid lain tetap menjaga jarak, dan lilin kristal menebar cahaya lembut yang menari di serpihan cermin.
Dengan suara batin yang tenang namun tegas, Wuyan berkata pada dirinya sendiri, “Aku akan menghadapi ini… dan aku akan menyatukan jiwaku, meskipun dunia menolakku.”
Dan di pantulan serpihan cermin, wajah lain itu tetap tersenyum, seolah menunggu langkah Wuyan berikutnya, meninggalkan ketegangan yang menggantung dan membangun rasa penasaran untuk bab selanjutnya.