Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisa Cahaya diLangit
Sudah setahun berlalu sejak dunia ini terbentuk — dunia tanpa batas waktu.
Kadang aku masih tidak percaya bahwa aku hidup di tempat di mana sejarah dan masa depan berjalan berdampingan.
Di jalan desa, orang mengenakan kimono dan kacamata digital; anak-anak belajar menulis huruf kanji di layar hologram, sementara kakek-kakek bercerita tentang perang seratus tahun lalu yang kini jadi legenda baru.
Semuanya hidup berdampingan, seolah waktu akhirnya belajar berdamai dengan dirinya sendiri.
Dan di tengah semua itu, aku hanya seorang tabib, menulis catatan tentang kehidupan sehari-hari di dunia yang disebut orang-orang sebagai Tanah Cahaya.
Pagi itu, aku duduk di atap rumah, menatap langit biru muda yang dihiasi awan lembut.
Di langit itu, sering terlihat jejak cahaya panjang — seperti aurora kecil yang bergerak perlahan.
Orang-orang bilang itu fenomena alam baru.
Tapi aku tahu lebih baik.
Itu bukan aurora.
Itu sisa waktu.
Sisa dari cinta dan pengorbanan yang menyatukan dunia ini.
Akira bilang setiap kali cahaya itu muncul, dunia sedikit bergetar — seolah waktu mengingat sesuatu yang ia cintai.
“Seperti detak jantung dunia,” katanya suatu malam.
Dan malam itu juga aku sadar, mungkin waktu memang punya hati.
Sore itu, aku pergi ke kota bawah bersama Akira.
Kota itu penuh kehidupan: pasar dengan lentera kertas yang digantung di bawah papan neon, aroma makanan tradisional bercampur dengan bunyi mesin kendaraan listrik.
Anak-anak berlari sambil membawa bunga plum, simbol dunia baru kami.
Akira membeli dua mochi dari pedagang tua dan menyerahkan satu padaku.
“Lucu,” katanya, “dulu kau datang dari dunia yang penuh mesin, dan aku dari dunia yang hanya punya dupa dan pedang. Tapi sekarang kita makan mochi di tengah lampu neon.”
Aku tertawa kecil. “Mungkin ini benar-benar dunia impian.”
Dia menatapku lama. “Atau mungkin… ini hadiah dari waktu.”
Kami berjalan beriringan melewati jembatan kaca yang membentang di atas sungai yang dulu menjadi gerbang waktu pertama.
Airnya kini tenang, tapi memantulkan cahaya biru samar setiap kali matahari tenggelam.
Aku berhenti di tengah jembatan, menatap permukaan air.
“Akira,” bisikku, “pernahkah kau berpikir kalau waktu akan memanggil kita lagi?”
Dia menatap ke langit, diam sebentar, lalu berkata, “Kalau waktu memanggil, aku akan mendengarnya. Tapi kali ini, aku tidak akan pergi. Dunia ini… sudah cukup.”
Aku tersenyum. “Kau benar. Untuk pertama kalinya, aku tidak ingin ke mana-mana lagi.”
Beberapa hari kemudian, hujan turun untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan.
Hujan yang lembut, dengan aroma tanah yang manis.
Aku berdiri di depan rumah, membiarkan tetesnya jatuh di wajahku.
Dan di langit, cahaya biru muncul lagi, tapi kali ini bentuknya berbeda — bukan garis panjang, tapi lingkaran sempurna, seperti gerbang.
Aku menatapnya lama, napasku tercekat.
Cahaya itu berputar perlahan, dan dari tengahnya muncul suara lembut.
“Penjaga waktu…”
Aku memejamkan mata.
Aku mengenal suara itu.
Riku.
“Terima kasih karena sudah menjaga dunia ini. Tapi waktu masih berputar. Akan ada generasi baru yang butuh bimbinganmu.”
Aku menatap langit. “Kau… masih di sana?”
“Aku tidak pernah pergi. Aku hanya menjadi bagian dari arus waktu. Tapi sebentar lagi, sisa energi lama akan lenyap. Dunia ini harus belajar berjalan sendiri.”
Air mataku menetes tanpa kusadari. “Jadi… ini perpisahan?”
“Tidak. Ini kelanjutan. Dunia baru tidak butuh penjaga… tapi butuh kenangan.”
Cahaya di langit bergetar pelan, lalu perlahan menghilang.
Hanya hujan yang tersisa, jatuh pelan di tanah yang mulai hijau lagi.
Aku menatap ke arah langit yang mulai gelap.
“Selamat tinggal, Riku,” bisikku. “Semoga waktu memelukmu dengan damai.”
Malamnya, aku duduk bersama Akira di balkon.
Kami hanya diam, menikmati suara hujan dan aroma bunga plum.
“Cahaya di langit itu,” katanya tiba-tiba, “menandakan sesuatu berakhir.”
Aku menatapnya. “Atau sesuatu baru saja dimulai.”
Dia menatapku lama, lalu tersenyum. “Kau tahu, aku pernah bermimpi aneh semalam. Aku melihat dunia yang sama ini, tapi seribu tahun ke depan. Orang-orang masih menyebut nama kita.”
Aku tertawa kecil. “Mungkin mereka menulis kisah ini jadi legenda.”
“Dan siapa tahu,” katanya sambil menatap hujan, “mereka akan bilang: dunia lahir karena dua orang yang menolak menyerah pada waktu.”
Aku meletakkan kepala di bahunya. “Kedengarannya indah.”
“Karena itu nyata,” jawabnya lembut.
Beberapa minggu kemudian, bunga plum mekar lebih cepat dari biasanya.
Orang-orang bilang itu pertanda tahun baru waktu.
Setiap orang menulis doa mereka di kertas putih dan menggantungnya di pohon plum.
Dan untuk pertama kalinya, aku juga menulis doa — bukan untuk meminta, tapi untuk berterima kasih.
“Untuk waktu yang pernah menghancurkan,
tapi akhirnya mengajarkan arti mencintai.”
Kertas itu kutinggalkan di cabang paling tinggi.
Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga dan suara tawa dari kejauhan.
Aku menatap ke langit, di mana sisa cahaya biru masih samar-samar tampak di antara awan.
Malam terakhir musim itu, aku dan Akira berjalan ke tepi sungai.
Airnya memantulkan bulan bulat sempurna, dan di bawahnya, aku hampir bisa melihat bayangan masa lalu — Reina, Ryou, Riku, bahkan Permaisuri Mei.
Mereka semua tersenyum.
“Lihat,” kata Akira sambil menunjuk ke langit.
Cahaya biru itu kembali muncul, tapi kali ini lebih lembut, membentuk jalur spiral yang perlahan memudar.
“Waktu akhirnya tidur,” katanya.
Aku menggenggam tangannya. “Dan kita… tetap di sini.”
Kami berdiri lama tanpa bicara, hanya mendengarkan suara air dan angin malam.
Dan di tengah keheningan itu, aku berbisik pelan:
“Waktu sudah berhenti menghukum kita. Sekarang, dia hanya mengingat.”
Akira menatapku. “Dan apa yang dia ingat?”
Aku tersenyum. “Cinta.”
Dia tersenyum kembali, lalu menunduk mencium keningku.
“Kalau begitu,” katanya lembut, “biarkan dunia ini jadi kenangan waktu yang paling indah.”
Hari berganti tahun.
Anak-anak lahir, desa tumbuh menjadi kota, dan kisah kami berubah jadi cerita rakyat.
Mereka menyebutku Mika Sang Penjaga Waktu, dan Akira sebagai Pewaris Cahaya.
Tapi di balik legenda itu, kami hanya dua manusia biasa yang pernah menolak berpisah.
Sekarang, setiap kali hujan turun, orang-orang bilang itu “hujan istana”—tetesan dari cinta dua jiwa yang pernah menembus waktu.
Dan aku?
Aku hanya tersenyum dari jendela, menatap dunia yang kini berjalan dengan damai.
Di langit, masih ada sisa cahaya.
Biru lembut, berdenyut seperti detak jantung.
Mengingatkanku bahwa cinta tak pernah benar-benar hilang.
Ia hanya berubah menjadi bagian dari langit, mengawasi dunia yang dulu diperjuangkan dengan air mata dan keyakinan.
“Selama waktu masih berputar,” bisikku,
“selama hujan masih turun,
cinta kita akan tetap menulis langit.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak menunggu apa pun lagi.
Karena aku tahu, di dunia tanpa waktu ini — aku, Akira, dan cinta kami telah menjadi bagian dari keabadian itu sendiri.