Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MASIH BERGANTUNG
Akbar menjalani operasi dengan lancar, kali ini aku memilih sesuai kelas saja. Aku tak mau mengeluarkan uang banyak demi cecunguk ini, apalagi keluarganya tak ada ramah-ramahnya sama aku. Apalagi soal klaim jasa raharja, padahal aku dibantu Dika untuk mengurus surat kepolisian, saat dari rumah sakit daerah pun aku meminta surat keterangan karena memang sudah disarankan oleh Dika agar mudah untuk mengurusnya. Tapi ternyata mertua yang bersemangat untuk klaim jasa raharja tersebut.
"Biar kamu tidak sibuk ke sana, Mir. Fokus sama kantor dan aku aja," begitu mas Akbar memberi pengertian padaku soal ibu dan kakak ipar yang mengurus klaim kecelakaan.
Aku mengangguk saja tak masalah. Ujung-ujungnya uang juga diambil mereka, dan aku tak mau ribut. Benar saja, setelah proses klaim dan tak sampai seminggu, uang santunan itu cair. Posisi Mas Akbar sekarang tinggal di kontrakanku.
Sempat berdebat juga karena Mas Akbar mau tinggal di rumah ibu mertua, namun aku menolak.
Harusnya kamu dong menuruti suami kamu, dia lagi sakit. Kontrakan kamu kecil, Akbar jelas tak leluasa.
Loh silahkan saja Mas Akbar mau dirawat siapa, Bu. Hanya saja kalau tinggal di rumah ibu, ya saya sanggup merawat saat weekend, karena saya harus bekerja. Uang Mas Akbar sudah 0 rupiah, kalau untuk terapi dan lain-lain mengandalkan uang siapa?
Pakai uang dari klaim santunan kan bisa, ucap Mas Akbar, mungkin dia keceplosan sehingga Ibu mertua langsung kasih izin dia pulang ke kontrakanku.
"Kamu masih punya uang, Mir?" tanya Mas Akbar dengan berusah duduk di ranjang, setelah ke kamar mandi. Sekarang ia sudah bisa pakai kruk, dan kamar mandi di kontrakan sangat dekat dengan kamar tidur jadi dia tak perlu diantar.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Aku harus bayar cicilan motor, sedangkan gajiku dipending dulu kata mandor!" ucapnya tak enak hati.
"Bisa pakai uang dari jasa raharja kan, minta ke ibu saja!" saranku, karena aku yakin uang itu sudah cair, tapi aku tak diberi tahu atau dikasih cipratan sebagai ganti biaya rumah sakit, gak sama sekali. Wajah Mas Akbar tiba-tiba pias.
Sudah bisa kuduga, pasti sudah dipakai oleh mertua.
"Sudah dipakai ibu, Mir."
"Buat?"
"Katanya beli gelas emas, dan untuk DP mobil."
"Wah! Keren."
"Maaf ya, kamu gak dikasih."
"Gak pa-pa sudah biasa kok."
"Aku terlalu banyak salah ke kamu, Mir. Tega banget ya, dan ujung-ujungnya hidupku justru bergantung sama kamu."
"Yah mau gimana lagi. Niatnya sih mau bercerai sajalah kalau tak bisa menghargai satu sama lain."
"Kamu tega ninggalin aku, Mir?"
"Apa alasanku tidak tega?"
"Ya kan kita saling cinta."
"Kita? Mas aja mungkin, kalau aku sudah mati rasa."
"Maksud kamu?"
"Intinya gini, Mas. Saat kamu senang, kamu gak menganggap aku ada. Tapi ketika kamu terkena musibah, aku kamu libatkan bukan hanya uang tapi tenaga juga."
"Ya kan itu kewajiban kamu sebagai istri."
"Nah itu yang aku pikirkan, kewajibanku sebagai istri di saat suami lagi sakit. Makanya aku gak menggugat kamu. Tapi saat urusan nafkah yang jadi kewajiban kamu, tak pernah terbayar hampir 7 bulan. Bahkan uang klaim asuransi pun aku gak dikasih. Terus aku harus bertahan karena apa? Sedangkan aku memenuhi kebutuhanku saja sendiri."
"Maaf, Mir."
"Gak perlu minta maaf, cukup akuin saja kalau kamu memang gak menafkahi aku selama pernikahan ini." Aku sengaja memancing dengan kalimat ini, karena aku berniat merekamnya. Aku pura-pura kirim chat, nyatanya sedang setting rekaman suara.
"Maaf, kalau selama 7 bulan ini aku gak pernah kasih kamu nafkah, justru aku yang minta dibayari cicilan motor dan biaya rumah sakit."
"Ya aku berharap kalau kamu tidak memberiku nafkah, ya jangan merepotkanku, khususnya soal uang."
Selepas itu, Mas Akbar minta pulang, maka aku mengantarkannya. Mobil baru sudah terparkir rapi di halaman rumah. Mas Akbar makin tak enak hati.
Kebutuhan logistik dan obatnya pun sudah aku tata serapi mungkin di nakas agar ia tak kesulitan mencari. Aku pamit pulang ke kontrakan, dia pun mengizinkan.
"Istri jahat ya begitu, suami sakit malah disuruh rawat ibunya!" begitu ucapan ibu yang kembali mengatai aku saat pamit. Tak kubalas, aku hanya mengulurkan tangan untuk salim, namun tak dibalas. Ya sudah.
Aku tak berniat mencari tahu kabar Mas Akbar, kalau dia chat maka akan ku balas, tapi kalau tak ada aku juga tak berniat mencari tahu kabarnya. Toh di rumah sekarang ada mobil, untuk mengantar terapi juga gak masalah. Aktivitasku masih sama, kantor, kontrakan atau kantor rumah ibu.
Bahkan sekarang aku berkonsultasi dengan Dika soal perceraian, aku hanya bertanya bagaimana tahapannya. Hanya via chat, karena aku belum punya keberanian untuk bertemu secara langsung pada Dika. Keinginanku untuk bercerai masih 70%, dan aku merasa belum ada hal kuat yang menyebabkan aku bisa mudah bercerai. Perkara nafkah 7 bulan yang tak diberi Akbar karena ia tak mau aku bekerja, sedangkan aku ngotot bekerja, mungkin bisa selesai di tahapan mediasi nanti. Berujung pernikahan ini bisa saja berjalan. Terlebih Mas Akbar jelas tak mau dia bercerai.
Kembali lagi aku mengumpulkan bukti lebih kuat lagi agar bisa langsung verstek, tanpa sidang yang panjang. Tiap hari berdoa agar ada kejadian yang bisa memutuskanku dengan Mas Akbar, aku tak mau banyak perdebatan, justru nanti dia memojokkanku dengan segala macam cara.
Doaku terkabul saat aku pulang kantor, Mas Akbar tersenyum melihatku pulang kerja. Batinku tumben bisa tersenyum, dan dia sudah sehat, bisa naik motor, hanya saja motor matic dan aku tak mau tahu status motor kemarin. Dia membawa tas kecil entah apa isinya, biasanya ke sini juga bawa diri doang.
Begitu aku pamit mandi, dia berinisiatif membuatkanku minuman, sungguh aneh tapi aku tak mau ambil pusing, suka-suka dia. Begitu aku selesai mandi, tiba-tiba ekspresinya berubah. Aku heran, bisa begitu ya. Tadi senyam-senyum gak jelas malah sekarang cemberut.
"Apa ini?" tanyanya sembari menunjukkan sebuah kotak pil KB. Aku tadi pagi lupa tidak mengembalikan kotak itu ke tempat biasanya, aku taruh di nakas, dan aku pikir aman toh Mas Akbar sudah lama tidak ke kontrakan.
"Pil KB!" jawabku cuek.
Kotak itu langsung dilempar ke wajahku. Spontan hatiku berteriak yes, sepertinya ada adegan pertengkaran yang aku tungguh nih, gila ya aku.
Ku lirik area CCTV yang aku pasang di pojok atap atas lemari, sehingga bisa menyorot ke seluruh kamar. "Maksud kamu apa minum pil KB?" tanyanya mulai emosi, dengan mata yang menyalak.
Aku tersenyum saja. "Pil KB buat apa kalau gak menunda kehamilan."
"Jadi selama ini kamu minum pil KB biar kamu gak punya anak dari aku?" spontan aku mengangguk. Dia meremas kepalanya, kemudian menatapku dengan tatapan tajam. Tapi aku justru bermain ponsel seolah tak peduli kemarahannya, sengaja menyalakan rekaman suara, agar ucapan pertengkaran kita terekam juga.
"Heh, jawab aku yang jelas!" baru lah aku taruh ponselku di atas meja, kulirik sebentar dari rekaman suaranya ternyata sudah on.
"Iya aku minum pil KB!"
"Sialan kamu, kamu memang gak mau serius menjalani rumah tangga ini," Akbar mulai mengeratkan lenganku dengan keras, sakit tapi aku tahan, bahkan aku sengaja mengarahkan diri agar tampak jelas di CCTV.
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.