Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25, Kembalinya selir kesayangan sang kaisar
Langit sore di istana tampak keemasan. Udara berembus lembut membawa aroma bunga mawar yang mekar di taman timur.
Tapi bagi Elara, wangi itu tidak menenangkan. Itu aroma yang dulu selalu dipakai oleh Selir Valen.
Suara derap langkah halus terdengar dari ujung lorong. Para pelayan membungkuk dengan gugup.
Ketika sosok itu muncul, seluruh udara seolah menegang.
Valen telah kembali.
Gaunnya berwarna merah darah, dihiasi permata hitam yang memantulkan cahaya seperti bara.
Langkahnya ringan tapi mantap, dan senyum di bibirnya seperti racun yang dibungkus madu.
“Sudah lama, Yang Mulia Permaisuri,” ucap Valen dengan nada manis yang menusuk.
“Istana tampak... berubah. Tampaknya kau menikmati posisimu sekarang.”
Elara menatapnya tanpa ekspresi.
“Perubahan selalu diperlukan, Valen. Beberapa bunga harus layu agar taman bisa tumbuh kembali.”
Valen tersenyum kecil.
“Kau selalu pandai bicara. Tapi aku heran... apakah kau juga pandai mempertahankan sesuatu yang bukan milikmu?”
Tatapan mereka bertemu dua wanita berbeda dunia, tapi sama-sama berbahaya.
Satu dengan kekuatan otot dan keberanian dari dunia modern.
Satu lagi dengan kecerdikan lama dan pesona yang nyaris mistik.
Sore itu, Kaisar Kaelith menerima Valen di aula kecil.
Elara melihat dari kejauhan melalui jendela terbuka, tanpa emosi di wajahnya, tapi jantungnya berdebar cepat tanpa alasan yang ia pahami.
Valen berlutut dengan anggun.
“Yang Mulia… terima kasih telah mengizinkanku kembali. Aku berjanji tak akan lagi mencampuri urusan istana.”
Kaelith menatapnya dingin.
“Aku tidak mengizinkanmu kembali untuk bicara manis. Kau masih berguna itu saja.”
Senyum Valen tipis, tapi matanya memantulkan kilatan tajam.
“Kalau begitu, izinkan aku menjadi berguna untukmu lagi, seperti dulu.”
Kata “seperti dulu” bergema di kepala Elara.
Ia menatap tangan Kaelith yang bertumpu di sandaran kursi dingin, tak bergerak, tapi ada getaran kecil di ujung jari.
Dan itu cukup untuk membuat Elara tahu: ada bagian dari masa lalu yang belum sepenuhnya mati.
Malamnya, Elara duduk di ruang baca pribadinya, menatap selembar laporan.
Kaen berdiri di sisi meja, wajahnya serius.
“Dia kembali bukan hanya untuk Kaisar,” kata Kaen. “Ada kabar bahwa Valen membawa sejumlah surat izin dari bangsawan utara. Dan beberapa pejabat yang dulu mendukungmu… mulai goyah.”
Elara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap lilin yang bergetar.
“Aku sudah menduga. Dia tidak akan kembali tanpa senjata.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
Elara tersenyum tipis.
“Aku akan biarkan dia merasa menang. Tidak ada yang lebih bodoh dari musuh yang terlalu percaya diri.”
Kaen mengerutkan kening.
“Kau yakin tidak akan berbahaya?”
“Kaen,” Elara menatapnya tajam, “aku tumbuh di dunia di mana satu kesalahan berarti mati. Istana ini jauh lebih lembut dari ring tinju.”
Kaen terdiam, lalu tersenyum samar.
“Kau benar. Tapi lembut bukan berarti tidak mematikan.”
“Itu sebabnya aku takkan tertidur, Kaen.”
Di ruang pribadinya, Valen membuka kotak kecil berisi cincin perak hadiah lama dari Kaisar Kaelith, simbol kasih yang dulu membuatnya sombong.
Ia mengusapnya pelan dan berbisik,
“Kau mungkin mencintainya sekarang, Kaelith. Tapi kau akan kembali padaku. Karena hanya aku yang tahu bagaimana membuatmu tunduk.”
Dan di tempat lain, Elara berdiri di balkon, menatap langit malam dengan tatapan dingin.
“Kalau kau pikir aku akan menyerah pada nostalgia, kau salah besar, Valen.”
Angin malam berhembus, membawa wangi bunga mawar yang sama
dua wanita, dua api, dan satu takhta.
Pertarungan mereka baru saja dimulai.
Langit malam di istana tampak megah malam itu.
Ratusan lentera menggantung di taman utama, memantulkan cahaya keemasan ke permukaan kolam yang tenang.
Bunyi musik lembut terdengar, diselingi tawa para bangsawan yang berpura-pura bahagia.
Tapi di balik semua kemewahan itu, dua matahari bersiap untuk saling membakar.
Elara melangkah masuk dengan gaun hitam berkilau sederhana, tapi mencolok karena keberaniannya.
Tidak ada perhiasan berat di tubuhnya, hanya kalung perak tipis dan sepasang anting kecil berbentuk tetes darah.
Ia tidak butuh permata. Tatapannya saja sudah cukup tajam untuk memotong udara.
Dari sisi lain ruangan, Selir Valen berjalan masuk dengan gaun merah gelap, disambut tepuk tangan lembut para bangsawan yang dulu menjadi pengikutnya.
Di lehernya tergantung kalung berlian hadiah dari Kaisar di masa lalu.
Senyumnya lembut, tapi setiap langkahnya seolah mengatakan: “Aku kembali untuk merebut yang seharusnya milikku.”
Kaisar Kaelith berdiri di tengah aula, mengenakan jubah hitam keemasan.
Ia menatap keduanya sejenak lama, diam, tanpa ekspresi yang bisa ditebak.
“Perjamuan ini untuk merayakan keberhasilan reformasi perdagangan,” ucap Kaelith datar. “Kita berdiri di era baru. Mari rayakan tanpa dendam.”
Namun kata “tanpa dendam” justru menyalakan bara yang tak terlihat.
Musik mulai dimainkan.
Para bangsawan menari, berbicara, tertawa.
Tapi seluruh ruangan tahu pusat perhatian bukan pada mereka melainkan pada dua wanita di dekat Kaisar.
Elara duduk anggun di sisi kanan, sementara Valen di kiri.
Keduanya sama-sama tersenyum, namun udara di antara mereka terasa seperti kawat tajam.
Valen lebih dulu bicara, suaranya lembut tapi menyengat.
“Yang Mulia tampak sehat akhir-akhir ini. Kudengar Permaisuri sangat memperhatikan jadwal makan Kaisar?”
Elara tersenyum kecil.
“Tentu. Karena aku tahu seseorang pernah memberinya anggur beracun berkadar ringan, mengira itu tonik. Aku hanya memastikan hal serupa tak terulang.”
Valen menahan napas sejenak, tapi tetap tersenyum.
“Ah… aku lupa, kau dulu belajar dari tabib istana, bukan? Betapa rajinnya.”
“Rajin itu perlu,” balas Elara, “apalagi untuk menjaga agar yang berharga tidak diambil orang lain.”
Kata-kata itu jatuh seperti pisau halus dan Kaisar Kaelith, yang duduk di antara mereka, hanya menatap tanpa bicara, namun jarinya mengetuk sandaran kursi pelan tanda bahwa ia menahan emosi.
Saat jamuan mencapai puncak, seorang pelayan membawa anggur baru dari utara hadiah dari bangsawan yang baru diangkat.
Valen segera berdiri, mengambil piala emas.
“Izinkan aku menuangkan anggur untuk Kaisar,” katanya lembut.
“Sudah lama aku tak melakukan ini.”
Elara menatap, tak bereaksi.
Tapi ketika Valen hampir menuangkan, ia menepuk pelan meja.
“Tunggu.”
Semua mata tertuju padanya.
Elara tersenyum sopan.
“Boleh aku mencicipinya dulu? Tradisi baru di istana semua yang disajikan untuk Kaisar harus diuji lebih dulu.”
Valen menatapnya dingin.
“Kau meragukan aku?”
“Tidak,” jawab Elara lembut, “aku hanya tidak mau kehilangan siapa pun malam ini. Termasuk kau.”
Kaisar terdiam.
Lalu perlahan, senyum tipis muncul di bibirnya samar tapi jelas.
Valen akhirnya meletakkan piala itu, dan pelayan lain segera menggantinya dengan anggur baru.
Setelah jamuan usai, Elara berjalan di taman, langkahnya pelan tapi penuh perhitungan.
Kaen mendekat dari balik bayangan.
“Kau baru saja mempermalukan Valen di depan semua orang,” katanya.
“Aku tahu,” jawab Elara datar. “Dan dia tahu juga.”
“Dia akan membalas.”
“Tentu. Tapi dia lupa sesuatu.”
“Apa?”
Elara menatap ke arah aula yang mulai sepi, tempat Valen masih berdiri menatap Kaisar.
“Aku tidak bermain untuk menjadi yang dicintai. Aku bermain untuk menjadi yang tak bisa disingkirkan.”
Kaen menatapnya lama.
“Dan kalau Kaisar mulai benar-benar mencintaimu?”
Elara berhenti berjalan.
Hening.
Lalu ia berkata pelan —
“Maka itu justru akan lebih berbahaya.”
Di dalam aula, Valen menatap piala kosong di tangannya, bibirnya mengerut.
Ia tahu Elara tidak sekadar ingin mempermalukannya tapi memperingatkannya.
Namun ia tidak gentar.
“Kau mungkin bisa mengambil tahtaku, Elara,” bisiknya, “tapi tidak hatinya.”
Di luar, angin malam berembus membawa aroma mawar.
Elara berdiri di bawah cahaya bulan, matanya menatap langit dengan tenang.
“Kau salah, Valen,” bisiknya pelan. “Aku tidak butuh hatinya. Aku hanya butuh kekuasaannya.”
Dan di kejauhan, Kaisar Kaelith berdiri di balkon atas, menatap Elara dari bayangan diam, tapi matanya memantulkan sesuatu yang belum bisa ia akui,kekaguman yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam.